PEGIDA: Wajah Kelam Jerman di Era Demokrasi Modern

Konten dari Pengguna
19 Juli 2018 13:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Malvino Aprialdy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Indonesia yang relatif baru memiliki budaya demokrasi, negara-negara di Eropa sudah memiliki sejarah demokrasi yang lebih panjang dan budaya demokrasi yang sudah mapan, salah satunya Jerman.
ADVERTISEMENT
Walaupun Jerman sudah memiliki budaya demokrasi yang panjang dan dianggap merupakan sistem politik yang paling ideal, demokrasi tidak selalu melahirkan rezim yang demokratis, lihat saja Hitler dengan Nazi-nya dalam sejarah Perang Dunia II. Hitler? Demokrasi? Ya, Hitler adalah produk demokrasi, banyak orang mengatakan in desperate times, democracy can produce monster.
Dalam era demokrasi modern ini, setidaknya dalam beberapa waktu terakhir, alam demokrasi di barat tidak lepas dari pertumbuhan gerakan-gerakan sayap kanan ekstrem (far right movement). Gerakan sayap kanan ekstrem biasanya memiliki ciri-ciri: politik identitas (SARA), anti-golongan tertentu, cenderung diskriminatif, dan memegang teguh nilai tradisional atau anti-perubahan.
Untuk Jerman, salah satu bentuk kemunculan gerakan sayap kanan ekstrem ditandai dengan munculnya gerakan PEGIDA (Patriotische Europäer Gegen die Islamisierung des Abendlandes), atau dalam terjemahan bebasnya Gerakan Patriotik Eropa melawan Islamisasi di Barat. PEGIDA muncul sebagai penampung aspirasi dan keresahan kelompok radikal nasionalis terhadap gelombang imigran Islam yang datang ke Jerman.
ADVERTISEMENT
Gerakan ini mulai berdiri pada Oktober 2014 dan berpusat di kota Dresden. Gerakan ini muncul sebagai respon dari derasnya arus gelombang imigran muslim dari wilayah Timur Tengah, khususnya dari Suriah dan Irak. Sampai dengan tahun 2018, Jerman telah menerima lebih dari 10 ribu pengungsi dari kawasan Timur Tengah, jumlah ini merupakan yang terbanyak di wilayah Eropa. Kebijakan pemerintahan Merkel (Kanselir Jerman) untuk menerima pengungsi ini dianggap sebagai PEGIDA sebagai pintu masuk islamisasi di Jerman.
Narasi yang dibangun PEGIDA meliputi nasionalisme dan menjaga nilai tradisional (Kristen), narasi ini banyak mendapat simpati, khususnya di kawasan timur Jerman yang memang dikenal basis konservatif. Dalam perkembangannya, gerakan PEGIDA semakin menjurus kepada penyebaran kebencian kepada kelompok Islam, kedatangan imigran dari Timur Tengah yang membawa nilai-nilai Islam dianggap sebagai ancaman. PEGIDA membentuk opini publik bahwa para imigran Islam akan melakukan islamisasi di Jerman yang akan menghilangkan identitas tradisional Jerman. Sebagai akibatnya, seruan PEGIDA ini juga diartikan sebagai gerakan anti imigran.
Foto: Demontrasi oleh massa PEGIDA di Dresden tahun 2015 (Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini gerakan massa PEGIDA terbesar adalah pada tahun 2015, di mana sekitar 25 ribu pendukung PEGIDA turun ke jalan kota Dresden. Walaupun dipusatkan di Dresden, propaganda anti-islam PEGIDA terasa kuat di kota-kota lainnya. Saya masih ingat ketika itu beberapa orang yang saya kenal memilih untuk melepaskan jilbabnya sementara untuk menghindari adanya ancaman terhadap dirinya. Singkat cerita, terjadi intimidasi secara sosial kepada minoritas.
Propaganda PEGIDA ini sedikit banyak telah menimbulkan islamophobia dan juga streotyping terhadap komunitas muslim. Salah satu bentuk bahwa PEGIDA telah berhasil membentuk opini publik terhadap Islam adalah peristiwa tahun 2016 dimana viral rekaman seorang wanita didorong sampai terjatuh di tangga oleh seorang lelaki tidak dikenal stasiun U-Bahn (kereta bawah tanah). Tepat setelah kejadian itu, publik menganggap pelaku merupakan imigran Timur Tengah, belakangan terbukti pelaku merupakan warga dari kawasan Eropa Timur. Opini publik telah terbentuk, kebencian terhadap kelompok Islam sudah terlanjur tersebar.
ADVERTISEMENT
Anti-PEGIDA
PEGIDA banyak mengangkat narasi-narasi yang memunculkan islamophobia dengan mengaitkan Islam dengan terorisme dan juga narasi anti-imigran. Hal ini memunculkan gerakan-gerakan anti-PEGIDA yang tidak kalah besar, khususnya di wilayah barat Jerman.
Kanselir Jerman Merkel juga secara tegas menyatakan penolakannya terhadap ide-ide yang dimunculkan oleh PEGIDA dan dianggap telah menyebar kebencian dan menanam benih perpecahan terhadap multikulturalisme di Jerman. Tentu saja pembubaran PEGIDA bukanlah opsi bagi pemerintah Jerman karena lahirnya PEGIDA merupakan salah satu bentuk freedom of opinion yang dijamin oleh konstitusi.
Foto: Demontrasi oleh Anti PEGIDA (Wikimedia Commons)
Saat ini setiap gerakan massa PEGIDA hampir selalu dibarengi dengan gerakan massa anti-PEGIDAH. Hebatnya tidak ada konflik di antara kedua kelompok tersebut. Apa penyebabnya? Adanya kesadaran hukum dan penegakan hukum yang sudah mapan, kedua hal tersebut telah meredam adanya potensi konflik di antara masyarakat.
ADVERTISEMENT
Walaupun PEGIDA secara rutin melakukan aksi massa, gerakan ini banyak diprediksi secara perlahan akan kehilangan dukungannya. Narasi-narasi yang memecah belah multikulturalisme dianggap tidak akan bertahan lama di tengah-tengah masyarakat Jerman.
Lesson learned bagi Indonesia
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan intisari Pancasila merupakan realitas keadaan masyarakat Indonesia yang sudah tumbuh kuat, bahkan sebelum kemerdekaan. Tentunya sangat disayangkan bahwa saat ini politik identitas dan isu-isu bermuatan SARA muncul dan mengancam multikulturalisme di Indonesia.
Gerakan PEGIDA di Jerman tentunya dapat menjadi lesson learned bahwa di alam demokrasi pun ancaman terhadap multikulturalisme tetaplah nyata. Dengan alam demokrasi Indonesia yang relatif muda, semakin penting bagi masyarakat Indonesia untuk menegaskan kembali kebhinekaannya, bukan hanya sekedar lisan, tetapi dalam perbuatan sehari-hari. Lebih jauh, Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi solusi dunia untuk pemeliharaan multikulturalisme.
ADVERTISEMENT
“….Kami Putra Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia..” (Sumpah Pemuda)