Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukum Islam Mana yang Larang Nikah Beda Agama?
11 Agustus 2023 18:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Maman Abdurahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media online heboh. Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan pernikahan beda agama dan pencatatannya. Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Dalam kehebohan itu, saya iseng bertanya kepada orang yang mengerti tentang hukum via WhatsApp. Sebut saja namanya Pak AS. Ia seorang konsultan hukum pernikahan dan keluarga.
"Assalamu’alaikum. Apa kabar Pak AS? Mau tanya, apa pandangan Bapak tentang SEMA No. 2 tahun 2023?
Ia pun menjawab:
"Sudah jelas lah, Kang, kalo saya yang berpaham radikalis. Prinsip dasarnya kan sudah jelas. Perkawinan sah bila dilakukan berdasarkan agama masing masing. Artinya dalam 1 agama.”
Kemudian ia melanjutkan.
“Kalo kemudian ada aturan yang bertentangan dengan itu yaa harusnya gak bisa dan batal demi hukum. Itu norma hukum yang umum. Belum lagi kalo norma hukum masing-masing agama, fiqh Islam wabil khususnya, saya rasa juga sama 1 agama."
ADVERTISEMENT
Jawabnya panjang lebar. Kemudian ia melanjutkan.
"Jadi menurut saya, penghalalan atas yang jelas dilarangnya, walau sebatas administrasi negara."
Ia mencoba menanggapi banyaknya kasus pengadilan yang mengesahkan pernikahan beda agama untuk dicatatkan di Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Seperti hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan perkawinan pasangan beda agama yang disampaikan JEA (mempelai laki-laki) beragama Kristen dan SW (mempelai perempuan) beragama Islam.
Begitu juga, hakim tunggal PN Jaksel Arlandi Triyogo mengabulkan permohonan pasangan DRS yang bergama Kristen dengan JN yang beragama Islam.
Permohonan perkawinan beda agama juga pernah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang yang diajukan oleh AD dari Islam dan CM dari Kristen pada 13 Oktober 2022. Pengadilan Negeri (PN) Surabaya juga mengabulkan permohonan pernikahan beda agama antara pasangan berinisial RA dan EDS.
ADVERTISEMENT
Saya merespons.
"Hehe maksudnya yang jelas kehalalannya gimana? Karena justru ayat Al-Qur'an membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan ahli kitab," kata saya.
Pemahaman itu saya baca secara jelas dalam QS. Al-Maidah ayat 5 yang artinya berbunyi begini:
"Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
ADVERTISEMENT
Saya melanjutkan berkomentar dengan mengacu pada ayat di atas.
"Bukankah justru sebaliknya, mengharamkan sesuatu yang jelas halalnya," kata saya.
Ayat di atas membolehkan seorang muslim menikahi perempuan ahli kitab.
Kemudian ia membalas lagi.
"Kalo ahlul kitab, sepemahaman saya yaa sebetulnya adalah orang-orang umat Islam juga, karena kitabnya adalah kitabullaah. Taurat, Zabur, dan Injil sebelum Al-Qur’an datang."
Saya langsung nyamber.
"Jadi boleh dong menikahinya?"
Ia menjawab lagi.
"Iya, karena intinya dia beriman sama Allah dan rasul-rasulnya yang membawa ajaran masing-masing kitab-kitab itu. Tapi kalo itu ditafsirkan dengan agama lain yang ada sekarang: Budha, Hindu, Kristen, Katolik, dll, menurut pendapat saya tidak boleh."
Saya bertanya lagi.
"Bukankah Kristen dan Katolik kitabnya Injil?"
ADVERTISEMENT
Ia menjawab lagi.
"Kalo mereka beriman sama Injil, dan Rasulnya, mustahil tauhidnya menyimpang dari ajaran Nabi Isa AS."
Diskusi berhenti sampai di sini.
Pandangan bahwa Injil yang sekarang dipakai umat Katolik dan Kristiani itu bukan asli adalah pendapat yang umum pada umat Islam di Indonesia dan bahkan dunia.
Padahal, menurut Ustaz Hanif Luthfi, Lc., MA dari rumahfiqih.com, para fuqaha atau ahli fikih dari empat mazhab, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad—telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani.
Hanya saja, kata Ustaz Hanif, meskipun Imam Syafi'i—rahimahullah—termasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab. Beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil.
ADVERTISEMENT
Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nasrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
Pendapat Imam Syafi'i ini tidak mendapat banyak dukungan dari para ulama. Karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu.
Salah satu ulama kontemporer yang lebih menguatkan pendapat mayoritas ulama tentang kemutlakan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah Syaikh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu".
Lalu bagaimana bisa MUI, NU, dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam menghukumi haram dan tidak sah pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab, padahal Al-Qur'an dan mayoritas ulama membolehkannya?
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. Isinya sebagai berikut: Pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad adalah haram dan tidak sah.
Apa itu qaul mu'tamad?
Qaul Mu'tamad adalah pendapat yang disepakati oleh Imam An Nawawi dan Imam Rofi'i atau di-tarjih (diunggulkan) oleh salah satu dari keduanya.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa MUI lebih memilih qaul mu'tamad untuk mengharamkan dan menidaksahkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab ketimbang memilih Al-Qur’an dan pendapat jumhur (mayoritas) ulama yang membolehkan?
Ini perlu kajian tersendiri.
Tapi yang jelas, dalam pertimbangan hukumnya, MUI menyebutkan bawah fatwa ini untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Selain itu, MUI juga menggunakan kaidah Fiqh: Dar'ul Mafasid Muqaddamun 'ala Jalbil Mashalih yaitu mencegah kemafsadatan (kerusakan atau akibat buruk) lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.
Fatwa-fatwa ulama ormas ini yang mengharamkan pernikahan beda agama senada dengan pendapat hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dan pada akhirnya menjadi rujukan penetapan hukum Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974.
Pendapat para ulama itu seakan sudah menjadi menjadi sebuah hukum agama yang mengikat. Padahal itu hanya sebuah fatwa yang tentunya tidak mengikat ke seluruh umat Islam.
Seorang muslim berhak mempunyai pendapat hukum sendiri sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya. Sehingga tidak ada kesan monopoli dan hegemoni penafsiran terhadap Al-Qur'an.
So, mau nikah beda agama?
ADVERTISEMENT
Kalau mau, ubah dulu Undang-undang perkawinannya agar nikahnya bisa tercatat dan anak-anak yang dilahirkan nanti juga terdaftar dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara Indonesia.
Karena walaupun bagaimana, kita hidup di Negara hukum yang berlaku di negeri ini. Keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 2023 ini telah menutup celah-celah hukum nikah beda agama yang tadinya terbuka.
Wallahu a'lam bishawab.