Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Panggil Aku Haji Cukup Sekali Saja
10 Agustus 2023 13:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Maman Abdurahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Para jemaah Haji Indonesia sudah kembali ke rumahnya masing-masing, setelah sekitar 40 hari menunaikan ibadah haji di negeri para Nabi itu.
ADVERTISEMENT
Sudah lazim di masyarakat Betawi, mungkin juga di tempat lain, saudara, para tetangga dan sahabat berdatangan ke rumah orang yang baru pulang haji untuk mendengarkan cerita perjalanan hajinya dan meminta didoakan.
Begitu pun yang terjadi pada saya dan istri waktu pulang haji. Saudara dan tetangga berdatangan ke rumah untuk sekadar mendengar cerita proses haji kami dan meminta didoakan.
Karena konon ada keterangan agama bahwa doanya orang yang pulang haji diijabah selama 40 hari dari kepulangannya.
Di sela-sela kunjungannya, salah seorang tetangga bertanya kepada saya:
"Bagaimana sebaiknya saya memanggilnya, Pak haji atau apa?" tanyanya meminta kepastian.
"Soalnya, ada juga orang yang baru pulang haji tapi gak mau dipanggil haji atau hajjah," katanya melanjutkan.
ADVERTISEMENT
"Saya terserah saja. Mau manggil haji silakan. Tidak manggil haji juga gak apa-apa," jawab saya dengan santainya.
Saya jadi teringat seorang teman yang juga tidak mau dipanggil haji. Waktu itu ia baru pulang haji. Sebagai teman, saya menyambutnya dengan berkirim pesan via WA.
"Assalamualaikum Pak Haji... Selamat datang lagi di Indonesia. Berkah, selamat dan mabrur," kata saya.
"Gak usah panggil pak haji euyyy...Belum pantas...masih banyak aib di sana sini," jawabnya.
Sejak itu, saya pun tidak memanggil haji lagi kepadanya. Kecuali keceplosan.
Pada WA group haji, seorang anggota group mengirim video yang isinya cuplikan ceramah seorang Mubalighah ternama di sebuah TV.
Dalam video tersebut ada seorang jemaah yang akan curhat. Ia menyebutkan nama dirinya diawali dengan hajjah. Secara langsung penceramah itu memotong pembicaraan jemaah tersebut.
ADVERTISEMENT
"Hei...hei...dengerin ya...jangan sombong udah haji. Siapa yang pengin haji, ngacuuuung? Semua umat Islam pengin haji. Tidak ada dalam Islam pulang haji dipanggil haji, sombong. Apakah kita pulang salat dipanggil salat?" katanya, telak.
Intinya, penceramah tersebut berpendapat tidak perlulah memanggil orang yang sudah berhaji dengan panggilan Pak Haji atau Ibu Hajjah.
Apalagi menyebut diri haji atau hajjah. Alasannya karena orang selesai salat juga tidak dipanggil Pak Salat atau Bu Salat, bukan?
Saya jadi teringat pernah menulis tentang asal-usul gelar haji. Dalam tulisan tersebut saya menyinggung ada keterkaitan gelar haji dengan kolonialisme Belanda.
Belanda melihat waktu itu para pejuang kemerdekaan Indonesia di antaranya adalah orang-orang yang pulang dari haji.
Karena itu mereka ingin mengontrol para haji itu dengan sebutan "haji" dan pakaian atribut haji seperti peci putih, baju gamis dan sorban. Sehingga mereka dengan mudah menandai haji-haji itu. Kalau mereka macam-macam tinggal ciduk saja. Begitu kasarnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini zaman sudah berbeda. Kolonialisme fisik sudah tidak ada lagi. Belanda sudah ngacir dari tanah air. Tapi penyebutan haji dan hajjah sebagai sebuah budaya ini masih berlaku nyaris di semua wilayah Indonesia.
Seorang jemaah haji di group WA haji berkomentar setelah membaca ajakan seorang jemaah untuk tidak perlu memanggil haji atau hajjah.
"Ada baiknya sebutan haji dan hajjah di depan namanya agar menambah kesyukurannya. Dan bukan menambah kesombongannya. Bismillahirrahmanirrahim. Karena ini mahal biaya dan perjuangannya memenuhi undanganNYA. Ya dipakai juga TDK apa-apa," katanya.
Betul juga, pikir saya.
Haji berbeda dengan salat, puasa, atau zakat. Haji membutuhkan persiapan yang lama, masa tunggu juga sangat lama, biaya juga sangat mahal. Pelaksanaannya juga penuh perjuangan yang tidak mudah. Tidak semua orang mampu menjalankannya.
ADVERTISEMENT
Tidak berlebihan juga kalau orang yang pulang haji dipanggil Pak Haji atau Bu Hajjah.
Ulama sekaliber Buya Abdul Malik Karim Amrullah yang karyanya sangat banyak seperti Tafsir Al-Azhar, Tasauf Modern, Tenggelamnya Kapal Van ver Wijck, Di Bawah Lindungan Kaah dan banyak lainnya menyematkan gelar haji di depan namanya Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang disingkat menjadi HAMKA.
Gelar haji bukan gelar sembarangan. Karena di dalamnya sarat dengan makna.
Pertama, secara ekonomi orang yang berangkat haji dipandang oleh masyarakat sebagai orang mampu, orang berkecukupan.
Kedua, secara keberagamaan dan spiritualitas, para haji dan hajjah itu dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang alim, berpengetahuan dan praktik beragama yang lebih dari masyarakat umum.
Ketiga, secara moral juga dipandang sebagai orang yang taat dan patuh menjaga norma-norma agama.
ADVERTISEMENT
Karena itu, tidak sedikit orang yang memanfaatkan gelar hajinya sebagai modal sosial untuk maju di gelanggang politik. Meskipun gelar dan harapannya tidak sesuai.
Dengan sederet pandangan dan harapan masyarakat kepada orang yang haji tersebut maka tidak sedikit orang yang sudah berhaji tetapi tidak mau dipanggil Pak haji atau Bu hajjah. Mungkin, terlalu berat menanggung beban moralnya.
Padahal bisa juga gelar haji yang agung itu disematkan di namanya sebagai penjaga kehormatan dirinya.
Dengan gelar haji yang menempel di namanya ia menjadi sangat berhati-hati dalam berpikir, berbicara, berperilaku dan bersikap.
Gelar haji jadi motivasi untuk berbuat lebih baik lagi. Jangan sampai gelar haji yang agung itu dipanggil orang dua kali.
"Haji-haji kok jadi rentenir. Haji-haji kok korupsi. Haji-haji kok jarang ke masjid, haji-haji kok bla...bla...bla.," karenanya, “panggil aku haji cukup sekali saja," kata seorang haji.
ADVERTISEMENT