Belajar dari Kelomang

Imam Sudrajat
Social, Politic, Economic Enthusiast. Lulusan Administasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, sekarang berprofesi sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan jasa energi.
Konten dari Pengguna
9 Juli 2021 17:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Sudrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok.pri
zoom-in-whitePerbesar
Dok.pri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kok bisa kelomang diajak tidur bareng, dipeluk, sekaligus sama wadah-wadahnya?”: gumam saya, yang tercenung ketika melihat adik saya tidur sambil memeluk wadah kelomang berbahan plastik, lantas saya mengambil dan menaruhnya di atas aquarium.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, dua hari lalu, ketika terik mentari berada di atas kepala, kami melihat seorang penjaja mainan anak-anak, tengah berteduh di bawah pohon rangdu, saya yang tatkala itu sedang bermain-main dengan Fais, mendekatinya, ternyata adik saya familiar dengan penjaja itu, “Mang Riu” katanya, dia adalah penjaja mainan anak-anak yang sama di depan sekolah sang adik, yaitu sekolah terpadu, "semenjak corona dan sekolah libur saya keliling" tutur Mang Riu.
Walhasil saya membeli gula-gula, dan lima ekor kelomang yang imut-imut, menggemaskan itu untuk adik saya. Toh, tak ada salahnya juga, supaya dia belajar mengenal binatang itu.
Lagi pula, semenjak pandemi dan munculnya berbagai varian covid-19 yang baru, praktis membuat ia dan teman-temannya semakin jarang bertemu, untuk bermain, belajar, atau sekadar untuk bersenda gurau.
ADVERTISEMENT
Kasihan memang, apalagi adik saya baru menginjak SD kelas satu, masa-masa yang mana masih butuh bermain, sembari belajar ilmu-ilmu dan pengetahuan yang baru.
***
Entah siapa yang rindu suasana sekolah dulu, antara saya, adik ataukah pedagang kelomang itu?.
Ketika zamannya saya dulu, sekitar dua dekade yang lampau, sebelum adanya gempuran gadget yang muncul bertubi-tubi, seumur sang adik, saya kerap mengeksplor hal-hal baru, kadang mencari kelomang di pantai, mencari kijing di sungai, berburu burung di pekarangan, bahkan sampai memanjat pohon mangga, kersem hingga jambu di pekarangan atas seizin zamindar.
Dengan cara itulah kami belajar, berinteraksi dengan alam dan makhluk di sekitar, membuat kami paham bahwa di bumi ini ada makhluk selain bangsa manusia, yakni tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan yang mestinya hidup bersama.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, saya tak pernah sampai terlelap bersama kelomang. Saya hanya sebatas bermain, kadang berlomba dengan teman-teman sebaya saya saat itu, "meniup-niup kelomang dan Haahh!, ketika kelomangnya keluar cangkang, lantas hewan itu berjalan menuju garis finish yang ditentukan. Hahaha, yang menang mendapatkan hadiah kue susu!"
***
Mari kita melompat ke beberapa tahun silam, disaat Albert Bernhard Frank, lalu Heinrich Anton de Bary menemukan makna simbiosis, yakni kertergantungan antara dua mahkluk hidup yang saling menguntungkan.
Idealnya memang begitu, makhluk hidup itu walaupun berbeda, mestinya bisa hidup bersama, baik manusia, hewan, tumbuhan, dengan kata lain tidak saling merugikan, saling menginjak, membungkam bahkan saling melenyapkan, tapi sebaiknya kita saling membantu, menjaga, dan gotong royong untuk mencapai keberlangsungan hidup yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, saya membelikan sang adik kelomang, agar ia belajar mengasihi, merawat, dengan cara selalu membersihkannya, lalu mengganti airnya secara berkala, terus memberikan makanan irisan jambu dan rupa-rupa lainnya. “Tepatnya, ia perlu belajar ngopeni, peduli dan bertanggungjawab!”.
Ihwal ini akan sangat berguna untuknya, untuk belajar hidup bersama dan berbagi, memupuk kepekaan dan solidaritasnya, untuk menghadapi situasi pandemi saat ini, dan juga peristiwa-peristiwa lainnya, yang akan dihadapinya kelak.
Di saat pandemi dan kegiatan dibatasi, saya menyadari bahwa adik saya juga rindu akan kesehariannya yang dulu, yaitu: bersua, belajar dan bermain dengan teman-temannya di sekolah, saya yakin Mang Riu juga rindu berjualan di tengah keramaian anak-anak sekolah, terlihat dari mimik wajahnya, yang mengisyaratkan kerinduannya mendengar kata-kata indah “Bang beli bang!” dari anak-anak sekolah yang kini menjadi suara langka baginya, sedangkan ia harus menyukupi kebutuhan keluarganya.
ADVERTISEMENT
Lantas saya juga teringat bahwa pengalaman saya dulu memelihara kelomang telah memberikan saya banyak hikmah, terlebih selama WFH, bekerja dari rumah.
Entah apa kelebihan kelomang dari hewan piaraan lainnya?, memelihara kelomang bukan berarti sekadar saling peduli dan menyayangi saja, melainkan juga belajar agar hidup kita semakin tertata, jika ingin terus hidup, kita harus memulai dari diri sendiri, demi mencapai sesuatu yang besar, kita bisa memulainya dari hal yang terkecil dulu. Dengan menerapkan disiplin, kebersihan diri, kejernihan hati dan pikiran, yang termanifestasi ketika mengganti air dan membersihkan habitatnya setiap hari.
Lalu, layaknya hidup dalam sebuah kebhinekaan, hewan yang memiliki sepuluh kaki, tapi peran dan fungsi kakinya berbeda-beda, namun tetap seirama, untuk mencapit, keluar masuk cangkang, dan berjalan, hebatnya, kesemua kakinya tak pernah miss komunikasi, malahan bisa menciptakan sinergi dan harmoni.
ADVERTISEMENT
Terus, cangkangnya yang selalu dibawa kemana-mana, memberikan kita hikmah akan pentingnya keteduhan jiwa, rasa syukur, kesabaran, dan keuletan. Bahkan ketika kelomang beranjak dewasa, cangkangnya tak lagi bisa memuat tubuhnya, secara instingtif ia mustahak mencari cangkang.
Ihwal ini seakan-akan mengajarkan kita, bahwa keadilan seyogianya harus sesuai porsinya, tidak condong ke salah satu pihak, sesuai dengan haknya tidak lebih dan tidak kurang, dan memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang diperbuat, proses mencari dan membuat cangkang ini, sekaligus menyadarkan kita agar senantiasa gigih, berdikari dalam menggapai mimpi.
Selain itu, kelomang juga mengalami proses ganti kulit, atau “molting”, seolah-olah ini mengajarkan kita bahwa manusia juga harus selalu menjadi lebih baik. Lalu, meskipun perutnya cenderung lunak.
ADVERTISEMENT
Justru, tidak menjadi kekurangan baginya, ia kemudian berkreasi, dengan kelunakan perutnya, ia dengan mudah keluar masuk cangkangnya, mestinya ini menjadi contoh manusia dalam berinteraksi. Namun ketika prinsip hidupnya diusik, dia dengan gagah berani mempertahankan diri.
Baru-baru ini saya membaca halaman-halaman akhir buku karya McCullough, M.E. yang berjudul Counting Blessing Versus Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well Being in Daily Life.
Tentu saja saya sepakat dengan McCullough, bahwa aspek kebersyukuran, kesabaran, dan penerimaan merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan positif atas limpahan anugerah yang telah diterima, dan berkembang menjadi suatu sikap serta kebiasaan yang akhirnya memengaruhi seseorang dalam bereaksi terhadap lingkungannya.
Karena itu, manusia tentu mengalami rupa-rupa dinamika, baik suka-duka, getir- gembira, normal-abnormal, semua-muanya harus kita jalani, layaknya seekor kelomang, ditengah keterbatasannya, tak dinyanah ia senantiasa beryukur, sabar, dan menerima, lebih-lebih lagi ternyata ia luwes, ulet, kreatif, bisa bersinergi, peka dan dermawan, selain itu ia juga adil dan berani, serta berusaha menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
ADVERTISEMENT
Jika tidak demikian, mungkin kelomang tidak akan bertahan hidup, bahkan punah, lantaran tidak punya herd immunity terhadap seleksi alam, jika tidak menjaga dan menjalani semua kebiasaannya itu. Tambah pula banyak manusia, yang membawanya pulang ke rumah, lalu ditelantarkan, lantas dibuang begitu saja. Padahal sebagai bagian dari ekosistem, seharusnya kita menjaga dan memeliharanya, sembari memetik hikmah darinya.
Naganaganya, jika melihat cangkang kelomang bagaikan rumah-rumah mereka, seolah-olah ia mengajarkan kita, investasi property sebagai salah satu yang bisa dipilih dan masih mengamini hukum permintaan dan penawaran dalam buku ekonomi.
Lalu, apakah ada manusia yang perangainya tidak lebih baik dari kelomang?