Pengangguran Meningkat vs Post-Pandemicpreneur

Imam Sudrajat
Social, Politic, Economic Enthusiast. Lulusan Administasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, sekarang berprofesi sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan jasa energi.
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 5:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Sudrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi stres karena pandemi. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stres karena pandemi. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya berpikir bagaimana jika selepas pandemi, stakeholders memberikan stimulus yang lebih masif, untuk mencetak pengusaha muda dan mengatasi permasalahan pengusaha khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia? Apalagi setelah mengetahui prediksi gelombang pengangguran yang semakin meningkat antara 7,7%-9,1%, dari sebelumnya sekitar 9,77 juta orang, pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu tatkala pandemi berakhir, seharusnya stakeholders memberikan stimulus yang lebih masif, baik untuk pengusaha eksisting, maupun untuk mencetak pengusaha muda, karena jika pengusaha semakin banyak, maka akan muncul kreativitas, inovasi dan ide-ide baru dalam menghasilkan suatu barang atau jasa, yang bisa memberi keuntungan untuk lingkungan sekitarnya. Lagi pula, Indonesia saat ini masih membutuhkan 10,1 persen pengusaha lagi, jika ingin menjadi negara maju.
***
Secara simpelnya begini, seharusnya selepas pandemi stakeholders menciptakan ekosistem untuk merangsang gairah masyarakat dalam berwirausaha, misal: dimulai dengan menggalakkan dropshipper, yaitu jenis pengusaha tanpa modal, yang hanya berbekal foto produk dan postingan yang bisa menarik customer, sudah bisa menjual sebuah produk.
Selanjutnya selepas pandemi, stakeholders seyogianya memberikan stimulus yang lebih masif untuk mencetak pengusaha muda, dalam bentuk permodalan, pembinaan, pelatihan teknis dan manajerial: sumber daya manusia, keuangan, operasi, pemasaran, baik untuk perorangan maupun kelompok, jika kelompok pengembalian modalnya dilakukan dengan cara tanggung renteng.
ADVERTISEMENT
Apalagi saat ini, permodalan untuk mencetak pengusaha masih sangat minim, kecuali permodalan untuk usaha eksisting, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Seharusnya selepas pandemi, KUR atau sejenisnya bisa menyasar calon pengusaha, tentunya disertai dengan pembinaan usaha rintisan tersebut.
Di samping itu, seharusnya selepas pandemi stakeholders bersinergi untuk menjadi sumber permodalan dalam mencetak pengusaha, seperti: perusahaan, asosiasi pengusaha, lembaga pendidikan, masyarakat dan investor lainnya.
Permodalan dari perusahaan bisa melalui program Corporate Social Responsibility, dan jika di BUMN ada Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), seyogianya selepas pandemi program-program tersebut, tidak hanya untuk pengusaha eksisting, melainkan juga berfokus pada penciptaan kemandirian pengusaha baru.
Lembaga pendidikan, asosiasi pengusaha dan para ahli pun, seyogianya semakin gencar dalam menggaungkan semangat kewirausahaan, kepada masyarakat, mahasiswa maupun siswa-siswi di sekolah, pesantren, melalui berbagai loka karya, seminar, pelatihan dan lomba kewirausahaan di berbagai daerah, dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi.
ADVERTISEMENT
Malahan belakangan muncul, beberapa pilihan yang tidak mainstream, untuk memberikan permodalan dan pembinaan kepada para calon pengusaha maupun pengusaha eksisting, salah satunya adalah Crowdfunding yang saat ini menjadi tren baik di skala nasional maupun global. Jika tidak percaya, silakan googling.
Crowdfunding adalah suatu metode yang digunakan, demi meningkatkan modal dengan cara kolektif, yang berasal dari teman, keluarga dan investor dengan berbasis internet, pada platform atau sosial media crowdfunding. Manfaat crowdfunding ini bisa untuk meningkatkan modal, dalam memulai bisnis atau dalam merilis produk baru, dengan crowdfunding pengusaha bisa memiliki jaringan investor yang luas.
Selain itu, hal yang tidak kalah krusial pada pasca pandemi adalah memotivasi para pengusaha, agar usahanya bisa terus berkembang, berkelanjutan dan berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Karena, pada dasarnya sebuah usaha tidak selamanya bisa berjalan mulus, Sebab itu, motivasi juga diperlukan, dalam mencetak pengusaha yang bermental baja serta gigih dalam persaingan pasar. Mungkin perlu mencontoh kesuksesan Hendy Setiono, Bob Sadino, bahkan Steve Jobs dan pengusaha-pengusaha lainnya, yang meraih kesuksesan setelah melewati kegagalan demi kegagalan sebelumnya.
***
Zaman terus berubah, seiring waktu dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Kita yang sehari-harinya dimudahkan oleh akses informasi dan teknologi, seharusnya kita bisa memanfaatkannya untuk memasarkan produk para pengusaha, sehingga diharapkan bisa mengatasi permasalahan holistik pengusaha dalam memulihkan ekonomi Indonesia.
Kali ini saya sepakat dengan Kotler dan Keller, yang mengatakan bahwa pemasaran adalah art dan science, untuk memilih pasar sasaran serta mendapatkan, mempertahankan, nilai pelanggan yang unggul.
ADVERTISEMENT
Saat ini marketplace menjadi tren dalam pemasaran digital, riset Redsher 2020, menunjukkan 40 persen dari 12 juta pengguna marketplace baru, akan tetap mengandalkan marketplace, meski setelah pandemi berakhir.
Namun demikian, akhir-akhir ini muncul keluhan, karena merugikan para penjual, seperti: metode Cash On Delivery (COD), banyak fake order dan rentan penipuan kepada penjual, acapkali pembelinya tidak berada di rumah, alamatnya palsu, kalaupun ada pembelinya, pembeli itu serta-merta membatalkan pesanan, on the door di depan kurir, sehingga barang harus dikembalikan ke penjual. Ujung-ujungnya yang rugi penjual karena sudah memakan biaya, waktu, tenaga dan pikiran. Selain itu, penetapan member promo dan tarif biaya administrasi tanpa konfirmasi, dan banyak contoh kasus lainnya.
Jika selepas pandemi hal ini tidak segera dibenahi, khawatirnya jadi kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, stakeholders yaitu pemerintah, pengembang aplikasi, rekening bersama, pembayaran digital, kurir, penjual dan pihak-pihak terkait, perlu duduk bersama untuk membangun ekosistem bisnis online, yang solutif demi mengakselerasi pemulihan ekonomi,
ADVERTISEMENT
Misalnya: Solusi memperbolehkan COD, tapi dengan syarat DP (Down Payment) sekian persen, melalui platform pembayaran digital atau rekber, jika ada ketidaksesuaian produk, dilakukan mediasi, jika sesuai, pembeli bisa langsung melunasi.
Selanjutnya, pembentukan Lembaga Penjual semacam YLKInya untuk penjual. Bila hal ini sulit, alternatifnya penjual bisa memilih metode pembayarannya atau penghapusan sistem COD. Ujung-ujungnya yang rugi penjual lagi, nahasnya selepas pandemi, banyak penjual yang bermodal minim dan sekadar untuk menyambung hidup.
Kemudian pengembangan aplikasi yang bisa mendeteksi pembeli atau penjual palsu, dan terkoneksi dengan pihak kepolisian, selanjutnya pembenahan peraturan perundang-undangan, karena saat ini dalam UU ITE Pasal 28 Ayat 1, dan perubahannya tidak secara khusus mengatur tindak pidana penipuan terhadap penjual, sehingga memerlukan kejelian penyidik kepolisian untuk menindak pelaku penipuan terhadap penjual.
ADVERTISEMENT
Selain itu, membentuk perusahaan milik negara yang membidangi marketplace, sehingga pemerintah bisa mendapatkan tambahan devisa serta lebih leluasa mengatur kebijakan untuk menciptakan ekosistem bisnis online yang pancasilais setelah pandemi.
Jadi kesimpulannya, Post-Pandemicpreneur adalah suatu usaha solutif untuk menggerakkan ekonomi dan sosial masyarakat yang sempat terdampak pandemi, agar bisa segera pulih, bahkan lebih melesat dari kondisi sebelum pandemi. Apa ada yang bertanya, produk apa yang paling laku selepas pandemi? Jawabannya, “produk yang dijual, kalau tidak dijual ya tidak mungkin laku!”.