Refleksi Nakhoda dalam Masa-Masa Darurat

Imam Sudrajat
Social, Politic, Economic Enthusiast. Lulusan Administasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, sekarang berprofesi sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan jasa energi.
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2021 15:49 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Sudrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Imam Sudrajat
zoom-in-whitePerbesar
Imam Sudrajat
ADVERTISEMENT
Pada masa-masa darurat dan krisis menjalar ke berbagai tempat, saya hanya ingin berlayar untuk memancing atau pergi ke tempat-tempat terpencil, menikmati keindahan pulau-pulau dan lautan luas sejauh mata memandang. Alih-alih saya teringat ketika berlayar ke Selat Makassar.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, kami berlayar di bawah langit gelap tanpa bintang-gemintang. Tak dinyanah perahu yang kami sewa dengan mesin yang sebatang kara itu tiba-tiba berhenti sendiri. Ngadat!.
Mula-mula ketenangan nakhoda saat itu cukup menenangkan kami, kami membantunya mengengkol mesin secara bergantian, sudah hampir tiga-perempat jam lamanya kami terombang-ambing di tengah lautan.
Sebuah kemelut di tengah laut pun datang ketika air laut mulai merembes masuk ke lambung perahu. Melihat itu, saya berusaha mengeluarkan air itu dengan peralatan seadanya.
Kami melihat nakhoda masih berusaha mengengkol mesin, seraya ia berkata: “Pakei coba antu timbaya ri palkaya, coba pakai gayung yang ada di palka!!”. Ujarnya memerintahkan kami mengambil gayung untuk mengeluarkan air laut yang masuk ke lambung perahu. Saya bergegas mengambil gayung di palka.
ADVERTISEMENT
Hampir satu jam lamanya kami terus berusaha, dimensi perahu bak sebutir bubuk abate di tengah kolam renang standar olimpiade, menyadarkan kami yang hanya makhluk kecil, terlampau kecil ketimbang luasnya lautan.
Satu jam sudah berlalu, kami masih terombang-ambing di tengah lautan itu, nahasnya tak nampak satupun nelayan untuk dimintai pertolongan, kami hanya berharap ada keajaiban.
Tragis ketika ombak dan angin kian lama kian kencang, kadang-kadang tanpa tedeng aling-aling ia datang menghantam. Perahu nyaris terbalik!, andai saja kami lengah sepersekian detik, naganaganya lautan bisa mencekik!.
Nakhoda kembali berkata: “Cobaki seimbangkangi kapalka, biar ndak berat sebelah!!!”, dia menyuruh kami untuk membantu menyeimbangkan perahu yang terombang-ambing-terputar-putar itu. Nakhoda masih mencoba menghidupkan mesin, meskipun kami tahu dia juga sudah lelah, sekujur tubuh kami tampak basah, kami menengadah seraya berdo'a.
ADVERTISEMENT
Selang sekian menit pada saat-saat kami hampir pasrah, tiba-tiba saja keajaiban itu datang, secercah harapan muncul ketika kami mendengar suara mesin perahu itu mulai menyala walaupun agak tersendat-sendat.
Sampai akhirnya mesin itu benar-benar bisa hidup kembali, membawa kami pergi mengarungi lautan di malam hari.
***
Sebenarnya kejadian tragis dalam keadaan darurat tadi bukan satu-satunya pengalaman saya, akan tetapi yang membuat saya selalu ingat adalah bagaimana otoritas nakhoda dan hubungan kita dengannya yang senantiasa memunculkan kesadaran-kesadaran berlandaskan nalar, nurani dan kemanusiaan, selain tentu senantiasa mengingat Tuhan.
Baru saja saya membaca halaman-halaman pertama buku Erich Fromm yang berjudul Perihal Ketidakpatuhan. Tentu saja saya sependapat dengan Erich, bahwa hubungan dalam keadaan darurat semestinya terjalin atas kesadaran humanistik, yakni kesadaran yang didasarkan pada fakta bahwa sebagai manusia, kita memiliki pengetahuan intuitif tentang apa yang manusiawi dan tidak manusiawi, apa yang kondusif dan destruktif bagi kehidupan.
ADVERTISEMENT
Kesadaran ini boleh dikatakan kemampuan untuk menjadi dan menilai diri sendiri. Ia yang selalu mengimbau kita untuk kembali ke diri kita sendiri, yaitu kemanusiaan kita, alih-alih kesadaran otoriter yang muncul karena adanya paksaan dan sanksi-sanksi.
Lalu bagaimana jika ada yang bertentangan antara dua kesadaran itu?, maka yang bisa kita pakai dalam kondisi demikian adalah kesadaran nurani. Alangkah baiknya pemimpin itu laksana nakhoda tadi, nakhoda yang memiliki otoritas rasional, hubungan mereka dengan manusia yang ikut bersamanya mutlak karena kesadaran humanistik.
Tidak mengherankan jika otoritas nakhoda yang saya ceritakan tadi, sejatinya bisa diterima kita sebagai penumpang, alih-alih ABK. Hubungan dan tindakan kami waktu itu tentu berlandaskan nalar yang universal, bisa diterima tanpa harus menghamba diri, cara paksa atau pun sugesti.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana caranya hubungan nakhoda dengan pengikutnya, ter-refleksi dalam kehidupan kita sehari-hari?. Bagaimana hubungan kita sebagai pemimpin dengan orang-orang yang kita pimpin?. Dan bagaimana pula, hubungan kita dengan para pemimpin kita ketika dalam kondisi darurat?.
Dalam keadaan darurat, alangkah baiknya kita memiliki pemimpin dengan otoritas rasional, yakni yang mampu menumbuhkan kesadaran humanistik di lingkungan sekitar, untuk mengelola dan mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang sudah-sedang-dan yang akan terjadi?
Dalam skala kecil, misalnya seorang kepala keluarga, pada masa darurat semestinya ia menumbuhkan kesadaran humanistik berlandaskan nalar para anggotanya, misalnya: anak yang diperintahkan belajar setiap hari, menumbuhkan minat baca tanpa ada paksaan, menumbuhkan kesadaran yang mengakar dalam diri anak bahwa membaca itu penting untuk membuka wawasan dan sebagai jendela dunia. Bukan karena ketakutan-ketakutan anak terhadap bapaknya, melainkan bagaimana agar anak belajar dan membaca secara sukarela lebih-lebih bisa menjadi hobi-nya.
ADVERTISEMENT
Dalam komunal yang lebih besar dari keluarga, misalnya pada lingkungan RT, dalam keadaan darurat, ketua RT menumbuhkan kesadaran para anggotanya untuk turut menjaga keamanan lingkungan, kebersihan lingkungan dan pentingnya solidaritas di dalam lingkungan, seperti: ronda, kerja bakti dan kegiatan-kegiatan lain yang bisa mempererat solidaritas komunal.
Sebenarnya di lingkungan mana pun, pada situasi apa-pun, alangkah baiknya jika seorang pemimpin bisa menumbuhkan kesadaran humanistik dan kesadaran nurani kepada orang yang dipimpinnya. Yaitu kesadaran yang bersemayam dalam diri setiap manusia dan tidak bergantung pada bentuk-bentuk sanksi dan penghargaan dari luar.
Mungkin ada sebagian orang-orang yang sulit sekali untuk bisa digerakkan oleh sesuatu gagasan dan memahami kebenaran, karena itu, kita perlu mengatasi resistensi inersia yang sudah terlanjur mendarah daging. Suatu gagasan yang baru tidak cukup hanya dengan membuatnya familiar dan memperkenalkannya pada semua orang, walaupun seberapa benar dan meyakinkannya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, tetap saja ia akan berpengaruh besar pada diri manusia, apabila sudah diberi nyawa dan dihayati oleh orang yang mengajarkannya. Misalnya: kepala keluarga tadi yang ingin anaknya gemar membaca, ia harus memberikan contoh bahwa ia juga gemar membaca; seorang anggota parlemen ia membuat peraturan untuk warga, ia juga harus menjadi teladan yang patuh terhadap aturan; seorang politikus yang mengkampanyekan anti-korupsi ia juga harus anti-korupsi.
Selain itu, otoritas-otoritas rasional seperti nakhoda terdapat pula pada guru dan murid, meskipun ada kepentingan masing-masing dari pihak guru dan murid, karena mereka berada pada arah yang sama. Si guru akan merasa puas jika ia berhasil membuat siswanya semakin pintar dan maju, jika ia gagal maka kegagalan itu karena kesalahannya dan si murid.
ADVERTISEMENT
Sebagian kita pasti mendamba sosok pemimpin yang memiliki otoritas rasional laksana nakhoda perahu yang saya ceritakan tadi, ia bertindak sebagai pemimpin pada saat genting, kita menerima dia sebagai pemimpin yang mampu membawa kita mencapai tujuan bersama, ia memiliki wibawa dan kecakapan, dia yang menunjukkan contoh dengan perilakunya, yang membuat kita secara sukarela berkontribusi dengan apa yang bisa kita lakukan, tanpa terpengaruh penghargaan dan sanksi-sanksi, namun lebih karena kesadaran humanistik, nalar dan nurani.
Saya menulis ini seraya bersyukur, saya masih diberikan kesempatan hidup, seandainya saja perahu itu tidak mempunyai nakhoda yang rasional dan mampu menyinergikan nalar, nurani dan kesadaran humanistik saya dan teman-teman se-permancingan, tentu saya tidak mungkin bisa menulis dan membagikan cerita ini kepada Anda.
ADVERTISEMENT