Vaksinasi dan Rekonsiliasi Desa

Imam Sudrajat
Social, Politic, Economic Enthusiast. Lulusan Administasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran, sekarang berprofesi sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan jasa energi.
Konten dari Pengguna
30 Juni 2021 15:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Imam Sudrajat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok.Pri
zoom-in-whitePerbesar
Dok.Pri
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa saat lalu saya melihat Mas Iwang, yang tengah menyibak lembaran-lembaran, maklumlah kali ini ia diamanahi menjadi pencatat blangko pendaftaran vaksinasi, di samping menjadi pamong desa sekaligus sebagai tetangga kami di RT 11, Desa Sugihkarang, “angel tanggae pada kewedien divaksin kuh, susah tetangga pada ketakutan divaksin”, ujarnya, menjawab pertanyaan saya, “pada kemana warga RT 11 mas?”
ADVERTISEMENT
Setelah menunggu bertalu-talu, akhirnya desa kami kebagian giliran vaksinisasi, saya berharap agar gugus tugas dan petugas medis senantiasa sabar dan semangat dalam melakukan sosialisasi vaksinasi kepada warga.
Di kejauhan saya melihat Mas Ikin bersama keluarganya, mereka warga RT 12, meskipun beda RT, dia kalau lagi santai main ke RT kami, mereka tercerahkan setelah bertubi-tubi saya jejali informasi vaksin. Walhasil ia sekarang berada di aula balai desa, padahal mulanya ia tak acuh, dan berdalih persis seperti anggota parlemen ‘so called’ itu. “Sudah disuntik bos?”: tanya saya, “sudah sekarang lagi observasi dan nunggu kartu vaksin” timpalnya.
Tak butuh waktu lama, kini giliran saya untuk divaksin, saya pun lega akhirnya keluarga dan keluarga Mas Ikin sudah divaksin, motivasinya agar kita sama-sama saling menjaga.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, saya teringat obrolan kami kemarin-kemarin, yang dipenuhi soalan vaksin, mulai dari group whatsapp sampai di warung, saung-saung di desa kami. Berbagai respon pun dikemukakan.
“Gak ah!!, jadwalnya bentrok sama kerjaan; ah vaksinasi kan bisnisnya orang kesehatan lagian anak saya lagi sakit gak bisa ditinggal”, malam itu Mas Udin, Mas Heru dan kawan-kawan lainnya bersikeras menolak vaksinasi. Alih-alih Mas Sam juga menyambar: “ada imbalannya gak?!!”.
Sejemang teori Clifford Geertz, Antropolog asal Amerika itu pun menyelinap, yang mengungkapkan sangat beragamnya kondisi bangsa kita ini, merupakan persoalan yang cukup rumit, apalagi tak ada triger yang mengikat, seperti di Eropa lantaran syarat datang ke stadion untuk menyaksikan pertandingan Euro, mereka harus mengeluarkan bukti sudah divaksin.
ADVERTISEMENT
Agaknya teori itu termanifestasi secara gamblang pada kondisi pandemi saat ini. Tambah pula, komunikasi yang porak-pranda antar para pemangku kepentingan, mulai dari pusat sampai ke desa dalam berbagai kebijakan dan programnya: dari mulai protokol kesehatan, pembatasan sosial, larangan mudik, hingga vaksin.
Kentara dari sorot mata Mas Iwang saja, terlihat pasrah, karena para tetangganya tak datang untuk vaksin. meskipun ia sudah menginformasikan warga pakai mobil inventaris desa lewat toa yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa.
Sepulang vaksin, saya pun sontak kemukakan masalah sepinya minat vaksin masyarakat di group whatsapp teman-teman paguyuban, alih-alih ada dokter juga. Salah satu kawan berkomentar, “Ya kamu tetangganya, kasih tau mereka dong?!”.
Lah saya ini juga sudah mengajak mereka vaksin, memaparkan bagaimana enaknya kalau sudah divaksin: lihat saja stadion-stadion di eropa yang riuh penonton, bahkan warga disana sudah bebas melakukan berbagai kegiatan. Walhasil, keluarga Mas Ikin bersedia divaksin.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan komunal lain yang tak bisa saya jangkau?. Apakah akan di dar der dor atau mengedepankan tindakan represif?, jika demikian, saya kurang setuju, karena berpotensi memunculkan bahaya laten berupa gelombang perlawanan yang baru.
Belakangan Mbak Nani seorang tenaga medis di puskesmas juga bercerita bahwa: “Pak Marno, dan masyarakat di Desa Anu lho mas, sampai dijemput dijelaskan oleh tenaga medis, mereka tetap bersikukuh gak mau divaksin; “Ogah!, gak mau pokoknya!!”, sembari menuduh-nuduh segala katanya.
Dari dulu kita tahu, pendidikan dan pemahaman sebagian besar masyarakat kita berbeda dengan bangsa-bangsa di luar sana. Ada kalangan yang mudah paham, namun tak sedikit juga yang susah paham, bahkan bebal.
Oleh karena itu, untuk mengharapkan pendidikan tentang kesehatan, dan membentuk masyarakat yang sadar kesehatan bakal membutuhkan waktu lama, namun demikian, kita tahu setiap orang pasti punya guru, orang yang disegani oleh dirinya. Yang nampaknya ia hanya akan terpengaruh, jika diajak oleh orang itu.
ADVERTISEMENT
Di desa kami contohnya, ada Ki Lani, pemuka agama, disusul beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh pendidikan lainnya. Yang jika disinergikan bisa menjadi motor penggerak program dan kebijakan pemerintah.
Kemudian beberapa saluran-saluran informasi yang bisa diberdayakan, misalnya: masjid, mushola, pos ronda, bahkan group-group whatsap komunitas.
Apalagi dari kasusnya Mas Udin, kakaknya Mas Ikin, ia menolak vaksin sebenarnya karena ia adalah tim sukses rival Kades definitif pada pemilihan kepala desa bulan Juni lalu.
Biar pun saya menjelaskan sampai berbusa-busa, tetap saja dia berkilah, dengan berbagai alasan yang dikemukakan. Lalu berapa banyak orang di Indonesia yang karena situasi politik desa, sampai tidak mau divaksin?
Saya bukan bermaksud menyarankan supaya vaksinasi tidak dilakukan di balai desa, akan tetapi sebaiknya kita bermuhasabah dulu, apa tujuan kita berbangsa dan bernegara kita?
ADVERTISEMENT
Rekonsiliasi dan integrasi antar kubu dan seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan, apalagi di daerah yang baru saja menyelenggarakan pilkades dan pilkada, untuk itu saya sependapat dengan Weiner, untuk mencapai integrasi, para elit merekam aspirasi masyarakat, menghindari jurang pemisah antara masyarakat dan pemimpin, serta melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Sampai saat ini saya masih percaya, bersama kesulitan pasti ada kemudahan, jika tidak di balai desa, masih banyak alternatif tempat vaksinasi lainnya yang bisa digunakan, dengan mempertimbangkan keterjangkauan dan kepraktisan warga.
Misalnya posko posyandu, masing-masing RW, tempat yang mempermudah masyarakat untuk datang, karena tidak semua balai desa, dekat dengan pemukiman penduduknya, hal ini juga rasanya bisa memperkecil kerumunan dan penularan atau bahkan menciptakan klaster vaksin, jika memungkinkan, mengapa tidak?.
ADVERTISEMENT
Lantas pertanyaannya, apakah vaksinasi di luar balai desa, bisa lebih smooth ketimbang di balai desa?, untuk itu perlu kesadaran bersama akan pentingnya vaksinasi dan tujuan kita berbangsa dan bernegara, kesampingkan egosentris yang naganaganya malah membuat bangsa Indonesia paling lama menghadapi pandemi.
Seiring sebangun dengan manajemen hidup bersama yang tujuannya menciptakan kepekaan, ketanggapan, dan kreativitas sosial dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai dan kreatif.
Perihal ini senada dengan meningkatkan solidaritas antar warga, sembari menyadari bahwa vaksinasi adalah kepentingan bersama, agar bisa meningkatkan antibody, memperkecil efek penularan agar semua kegiatan bisa segera pulih seperti sedia kala, atau memilih menunggu giliran terkena virus sialan ini?.
Walaaaahh!!, sembari saya menulis ini rasa lapar tiba-tiba melanda, berdasar keterangan dokter di tempat vaksin tadi, memang lapar salah satu kipinya, makanya, bolehlah kali ini saya pesan, pindang gombyang favorit yang tak jauh dari rumah, sebagai reward karena tubuh saya sudah divaksin, Hahaha!. Alhamdulillah..
ADVERTISEMENT