Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Duka Pencari Suaka: 20 Tahun Tanpa Kewarganegaraan, Disetopnya Bantuan
16 Februari 2019 16:25 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:04 WIB
Tulisan dari Tim Manado Bacirita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kematian Sajjad Yaqub (24), seorang pencari suaka asal Afghanistan, mengungkap kondisi para pencari suaka setelah keluar dari negara mereka dan tidak memiliki kewarganegaraan.
ADVERTISEMENT
Sajjad pergi demi mendapatkan harapan hidup yang lebih baik di tempat lain, tapi semua itu sirna usai ia membakar diri bersama pamannya, Muhammad Rahim, dan tewas sepekan setelahnya pada Kamis (14/2).
Para pencari suaka ini terpaksa harus menjadi orang dengan status tanpa kewarganegaraan. Ironisnya, status tidak punya kewarganegaraan ini sudah disandang Sajjad dan 12 keluarga besarnya sejak 20 tahun lalu, saat transit di Indonesia. Mereka berencana ke Australia.
Selama 20 tahun itu, keluarga Sajjad harus tinggal di Rumah Detensi Imigran (Rudenim). Selama 13 tahun, ia bermukim di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat; dan 7 Tahun di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Keberadaan mereka menjadi sorotan setelah Sajjad bersama dengan pamannya membakar diri pada 5 Februari 2019. Pamannya masih dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou karena komplikasi luka bakar dan diabetes yang dideritanya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Aqila dan Amira--ibu dan bibi Sajjad--melakukan aksi mogok makan, setelah pihak Rudenim tak lagi memberikan 'kebebasan' untuk keluar dari bangunan Rudenim karena pihak United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengirimkan surat telah menyetop bantuan untuk keluarga asal Afghanistan tersebut.
"Kami tidak protes ke Indonesia, kami sayang Indonesia yang begitu baik kepada kami. Kakak saya bereaksi seperti itu karena ada upaya yang lain akan diambil kepada kami," kata Amar, adik sepupu Sajjad, ditemui di Masjid Ulil Albab Kampus Universitas Sam Ratulangi, Jumat (15/2).
Taliban dan Mereka yang Terusir dari Tanah Air
Muhammad Yaqub (62) tampak tertatih saat hendak masuk ke dalam Masjid Ulil Albab Kampus, tempat sementara mereka tinggal, usai kematian Sajjad. Dibantu oleh Yahya, anak yang lahir saat mereka melakukan perjalanan pengungsian, Yaqub bersusah payah untuk bisa bertumpu naik ke ubin masjid yang memang sedikit lebih tinggi dibandingkan halaman masjid.
ADVERTISEMENT
Yaqub yang seorang guru di Afghanistan mengatakan, dirinya mengungsi karena Taliban mulai merebut seluruh wilayah pada tahun-tahun tersebut. Ketakutannya beralasan, karena di mata orang-orang keturunan Suku Hazara seperti dirinya, Taliban adalah teroris dan sering memperlakukan mereka dengan tidak baik.
Diceritakan Yaqub, melihat kondisi di negaranya yang serba tidak nyaman, dirinya memilih untuk mengungsi. Orang bersenjata lengkap, tentara, dan situasi yang mencekam, dinilainya akan membuat psikologis keluarganya terganggu.
"Keluarga putuskan untuk pindah tahun 2000. Kami berjalan kaki selama satu bulan ke Pakistan. Malam kami berjalan dan kalau siang kami memilih berlindung di rumah warga," tutur Yaqub.
Harapan indah sempat menghampiri keluarga Yaqub saat mereka dibuatkan paspor oleh kenalan mereka di Pakistan. Mereka pun terbang ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, mereka naik bus ke Bali untuk melanjutkan perjalanan ke Australia menggunakan kapal.
ADVERTISEMENT
Perjalanan keluarga Yaqub tak berakhir manis. Kapal yang mereka tumpangi menuju Australia dari Bali rusak di tengah laut. Saat dihantam ombak itulah, istrinya--Aqila--melahirkan anak ketiga mereka yang diberi nama Yahya.
Yaqub dengan 100 imigran lainnya akhirnya terdampar di Sumbawa Barat dan harus tinggal di Rudenim di wilayah tersebut, sebelum dipindahkan ke Kota Manado pada 27 April 2011, dan bermukim hingga saat ini.
Bantuan dari Masyarakat Indonesia
Selama 19 tahun hidup di Indonesia, keluarga Yaqub merasakan bagaimana tulusnya orang Indonesia membantu mereka yang tidak memiliki kejelasan status kewarganegaraan. Bantuan demi bantuan diterima keluarga Yaqub. Bahkan, seluruh keluarga Yaqub bisa menempuh pendidikan formal hingga lulus menjadi sarjana di berbagai bidang.
"Kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia dan tentunya masyarakat di Indonesia. Kami merasakan begitu besar bantuan yang diberikan kepada kami," tutur Amar, anak kedua dari Muhammad Rahim dan Amira Mustafa, sepupu Sajjad.
ADVERTISEMENT
Amar menceritakan bagaimana perjalanan keluarganya saat hidup selama 11 tahun di Rudenim Sumbawa dan 8 tahun di Rudenim Manado. Termasuk ketika bantuan dari UNHCR disetop selama dua tahun saat masih di Rudenim Sumbawa.
"Dua tahun, ayah kami bekerja serabutan di masjid dan pemukiman warga untuk bisa menghidupi kami yang sudah disetop bantuan oleh UNHCR. Waktu itu tahun 2009-2011, dapat makan nasi sama telur saja itu begitu bahagia," tutur Amar, dengan Bahasa Indonesia yang sangat lancar.
Amar yang seorang Sarjana Pertanian Agribisnis ini mengaku jika dirinya dan keluarganya di Rudenim Indonesia, tak pernah sedikit pun ingin menyalahkan siapapun, terutama Pemerintah Indonesia yang menurutnya justru sangat baik.
Yang mereka cari adalah kejelasan status mereka yang nyaris 20 tahun tak pernah mendapatkan kepastian apapun. Dirinya begitu berharap jika Pemerintah Indonesia bisa menjadi fasilitator untuk persoalan yang tengah mereka hadapi, usai putusnya bantuan UNHCR untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Rignolda Djamaludin, Dosen di Universitas Sam Ratulangi yang mendampingi keluarga Yaqub usai Sajjad bakar diri, menyebutkan jika saat ini pihaknya masih fokus pada pelaksanaan pengurusan pasca-kematian Sajjad dan juga pemulihan kesehatan anggota keluarga yang sempat protes mogok makan.
"Kami meminta agar keluarga diberikan keleluasaan dalam menggelar takziah untuk Sajjad. Selain itu, proses kesembuhan dari paman Sajjad yang ikut terbakar jadi prioritas. Begitu juga dengan bibi Sajjad yang menurun kondisinya pasca-melakukan aksi mogok makan. Selama proses itu, keluarga ini kami yang urus," tutur Rignolda, Jumat (15/2).
Menurut Rignolda, anak-anak yang bersekolah juga bisa melanjutkan aktivitas. "Jadi, kesepakatannya tidak ada pembatasan untuk sekolah bagi anak-anak. Tidak ada juga penahanan walaupun bantuan UNHCR masih disetop," kata dosen yang juga dikenal sebagai aktivis kemanusiaan di Sulawesi Utara ini.
ADVERTISEMENT
Lanjut menurut Rignolda, dirinya bersama dengan beberapa dosen serta pihak yang ingin membantu bakal berbicara dengan keluarga Yaqub saat kondisi mereka sudah mulai stabil. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diketahui dan digali sebelum melangkah lebih jauh untuk meminta Pemerintah Indonesia ikut campur secara langsung terkait status keluarga tersebut.
"Kita bantu sebisa mungkin. Tapi, harus tahu dulu semua latar belakangnya. Saat ini kita masih membantu secara kemanusiaan. Untuk lebih jauh, kita butuh data-data yang lengkap," ujar Rignolda.
Sajjad: Orang Indonesia Baik kepada Kita
Dengan emosional, Amar, adik sepupu Sajjad, menceritakan pesan yang selalu disampaikan oleh kakaknya kepada dirinya dengan adik-adiknya yang lain.
"Kak Sajjad selalu bilang, orang Indonesia itu sangat baik kepada kita. Makanya, kita tak boleh susahkan mereka. Kalau, kita terpikir mau bikin susah, ingat lagi kebaikan yang orang Indonesia lakukan untuk kita," kata Amar.
ADVERTISEMENT
Amar menceritakan, jika selama bekerja sebagai teknisi televisi dan handphone, Sajjad tidak pernah meminta bayaran harga yang tinggi, karena prinsipnya tidak ingin menyusahkan orang yang telah membantu dia dan keluarganya selama ini.
"Mungkin naif, tetapi kata almarhum (Sajjad), kurang apa kebaikan orang Indonesia untuk kita," ujar Amar menceritakan tentang kakaknya.
Selama tinggal di Indonesia, seluruh anak-anak asal Afghanistan ini bisa mengenyam pendidikan dengan baik. Dari keluarga Muhammad Yaqub dan Aqila, Sajjad merupakan lulusan Teknik Informatika. Anak keduanya Zahra, lulusan Teknik Arsitektur, dan Yahya kini masih bersekolah di SMA Negeri 4 Manado.
Sementara, dua anak yang diberi nama Tahanan PBB dan Tahanan PBB Nomor 2, masing-masing mengenyam pendidikan di SMP Negeri 2 Manado dan di SD Negeri 54.
ADVERTISEMENT
Sementara Ali, sepupu mereka dari keluarga Muhammad Rahim dan Amirah, kini mengenyam pendidikan di Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi. Ammar telah lulus Sarjana Pertanian Agribisnis dan Fatimah yang tengah menempuh kuliahnya di Universitas Sam Ratulangi.
"Kami bersekolah dibantu oleh sumbangan-sumbangan," ujar Amar.
Amar sendiri menceritakan, walaupun bukan Warga Negara Indonesia dan juga bukan warga negara manapun, kecintaan mereka akan Indonesia sudah tidak bisa diragukan lagi. "Makanya saya selalu berkeinginan, apa yang saya peroleh dari dunia pendidikan bisa saya abdikan kepada negara ini," tutur Amar.
Kecintaan Sajjad terhadap Indonesia sendiri tertuang dalam tulisannya di www.change.org, saat membuat petisi dukungan kebebasan untuk dirinya dan keluarganya. Dalam petisi yang diunggahnya dua pekan lalu, Sajjad tidak pernah sekalipun menyalahkan Indonesia. Dirinya berterima kasih kepada Indonesia yang membantu mereka selama ini.
ADVERTISEMENT
Dalam petisi yang ditujukan untuk UNHCR itu, Sajjad menceritakan dukanya menjadi pencari suaka yang tidak pernah ada kejelasan status.
Isa Anshar Jusuf