Cerita Para Pemulung Remaja di TPA Sumompo, Manado

Konten Media Partner
13 Oktober 2019 12:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pemulung remaja di Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA), Sumompo, Kota Manado, Sulawesi Utara.
zoom-in-whitePerbesar
Para pemulung remaja di Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA), Sumompo, Kota Manado, Sulawesi Utara.
ADVERTISEMENT
Sebuah kendaraan pick up putih berhenti di depan pintu masuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada di Sumompo, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara. Kendaraan tersebut membawa berkarung-karung sampah gulungan kabel yang akan dibuang.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba sejumlah remaja berusia 12-16 tahun langsung menghampiri kendaraan tersebut. "Om, nda usah buang di dalam TPA jo. Kase turun di sini jo, nanti torang yang angka akang (Om tidak usah dibuang dalam TPA. Nanti turunkan di sini saja, biar kami yang angkatkan)," tutur remaja ini.
Pengemudi pick up putih tersebut pun mengiyakan. Hampir sepuluh menit, karung-karung diturunkan. Setelah itu, pengemudi pick up, merogoh sakunya dan memberikan para remaja tersebut, masing-masing Rp 10ribu.
"Uangnya untuk ucapan terima kasih saja ke anak-anak ini, karena saya tidak perlu capek masuk ke dalam TPA lagi," kata pengemudi tersebut sembari berlalu.
Remaja yang membantu pengemudi pick up tersebut adalah Angga, Tita, Julius, dan Marthen dan dua anak lagi yang enggan menyebut nama mereka. Keenam sekawan ini adalah para pemulung anak yang biasa mangkal di TPA Sumompo.
Angga (16), satu-satunya pemulung remaja yang mengaku bisa membaca dan menulis, menyebutkan jika dirinya sudah 2 tahun terakhir menjadi pemulung aktif bersama dengan ibunya. Ia pun mengaku berhenti sekolah saat kelas 1 SMA, karena ingin mencari uang.
ADVERTISEMENT
Menurut Angga, sebenarnya menjadi pemulung sudah dilakoninya sejak kecil karena ikut bersama dengan ibunya. Namun, 2 tahun terakhir inilah, dia benar-benar full untuk menjadi pemulung.
"Per hari saya bisa dapat Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Kadang juga lebih sedikit atau lebih banyak," tutur Angga.
Jika Angga pernah merasakan bangku sekolah hingga bisa lulus SMP, beda lagi dengan Julius Dalekes. Remaja satu ini memang tak pernah mengecap bangku sekolah, sehingga dirinya tidak pernah tahu membaca dan menulis.
"Tapi saya bisa menghitung dan tahu tentang uang. Mana lebih banyak dan sedikit," kata Julius sembari tertawa.
Hal demikian juga dengan Marthen Puasa. Dirinya mengaku jika menjadi pemulung untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Marthen bilang, sekolah bukanlah tempat untuk bisa menghidupi kehidupannya. "Kalau tidak kerja, tidak makan," kata Marthen.
ADVERTISEMENT
Para pemulung berusia muda ini sendiri mengaku punya keinginan untuk sekolah seperti anak-anak seusianya. Namun, ketika sekolah, mereka tetap harus bisa bekerja agar punya uang yang akan digunakan mereka.
"Kalau bilang mau sekolah, kami ini memang suka sekolah. Tapi yang mau bayar siapa. Terus kalau tidak kerja mau makan apa," kata mereka kompak.
manadobacirita