Konten Media Partner

Organisasi Gereja Ini Ikut Ambil Bagian Cegah Kepunahan Bahasa Daerah

6 November 2024 18:22 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Pucuk Pimpinan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), Gbl. Francky Londa,
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Pucuk Pimpinan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), Gbl. Francky Londa,
ADVERTISEMENT
MANADO - Ancaman kepunahan bahasa asli Minahasa, rupanya telah menjadi perhatian tersendiri organisasi Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM). Sejak awal, mereka memang telah mengupayakan pelestarian bahasa daerah di gereja-gereja di bawah naungan KGPM.
ADVERTISEMENT
Ketua Pucuk Pimpinan KGPM, Gbl. Francky Londa, secara khusus menjelaskan bahwa selama ini KGPM memang telah menaruh perhatian pada isu kebudayaan, termasuk memberikan concern dalam berbagai forum pertemuan gerejawi internal KGPM.
Berbagai tindakan nyata pun turut dilakukan mulai dari penggunaan Tata Ibadah khusus berbahasa daerah, hingga hal lain yang berkaitan dengan kebudayaan.
“Sikap dan peran KGPM perlu adanya upaya pelestarian bahasa daerah dengan cara menggunakan tata ibadah khusus berbahasa daerah, juga pakaian khas daerah dan simbol kearifan lokal dalam kegiatan peribadatan,” ungkap Francky.
Kepedulian terhadap warisan budaya itu, dikatakan Francky dilakukan bukan tanpa alasan. Dia menyebutkan jika hal itu sejalan dengan upaya penguatan berteologi kontekstual.
Sehingga selain memberikan ruang dalam penggunaan bahasa daerah dan kearifan lokal lain saat beribadah, pihaknya juga membuka diri untuk terlibat pada upaya penerjemahan Alkitab berbahasa daerah
ADVERTISEMENT
“KGPM juga ikut berperan aktif serta memfasilitasi upaya penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah dalam skema kerja sama dengan lembaga misi baik dari dalam maupun luar negeri,” ujar Francky menambahkan.
Sebelumnya, Balai Bahasa Sulawesi Utara (Sulut), menyebut ada empat bahasa asli Minahasa yang terancam punah. Keempat bahasa itu yakni bahasa Ponosakan, Tonsawang, Tonsea, dan Tontemboan.
“Ada kecenderungan orang tua sudah tidak lagi mewariskan bahasa daerah pada anak, sehingga semakin ditinggalkan. Ada pula anggapan kalau berbahasa daerah itu kuno dan stigma-stigma lain yang serupa itu,” kata Kepala Balai Bahasa Sulut, Januar Pribadi.