Undang-undang KIA Dinilai Masih Lemah dan Berpotensi Rancu dalam Implementasi

Konten Media Partner
29 Juni 2024 23:03 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi ibu hamil. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu hamil. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
MANADO - Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, menilai jika Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang belum lama ini disahkan, masih lemah dan berpotensi adanya kerancuan pada implementasi nantinya.
ADVERTISEMENT
Sejumlah catatan kritis juga diberikan oleh Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender ini, seperti UU KIA belum inklusif karena tak melindungi ibu rumah tangga, perempuan adat, perempuan petani, perempuan nelayan, buruh migran, pekerja di sektor informal, termasuk pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan.
Padahal data yang ada, jumlah tenaga kerja di sektor informal telah mencapai sekitar 82,67 juta orang (55,9 persen), dan didominasi oleh perempuan.
Narahubung Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender, Dian Septi Trisnati, dalam rilisnya menyatakan walaupun UU KIA ini membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan 6 bulan untuk ibu, namun hal ini tidak mudah diimplementasikan karena ibu akan mendapat hak cuti tersebut jika terjadi kondisi khusus terkait kondisi kesehatan ibu dan/atau anak.
ADVERTISEMENT
"Pada kenyataannya hak cuti melahirkan selama tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan (sekarang menjadi UU Cipta Kerja) sulit implementasinya dan belum maksimal karena lemahnya pengawasannya," ujar Dian Septi dalam rilisnya.
Lanjut dijelaskan, pada kenyataan di lapangan untuk mendapatkan cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh. Ironisnya, banyak buruh perempuan yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.
Dengan adanya cuti melahirkan enam bulan, ada potensi pihak perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil, dan bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.
"UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada buruh perempuan ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang," kata Dian Septi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga beberapa catatan lain yang didapatkan oleh Jaringan Masyarakat Sipil terkait dengan pasal-pasal dalam UU KIA. Untuk itu ada beberapa rekomendasi yang diberikan terkait UU yang disahkan DPR RI pada 4 Juni 2024 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19.
Berikut rekomendasi Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender terkait UU KIA:
ADVERTISEMENT
manadobacirita