Konten dari Pengguna

Kasus Kekerasan Seksual Mulai Bermunculan ke Permukaan, Rugi Korban atau Pelaku?

Manda Eka Azaria
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Desember 2021 22:10 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manda Eka Azaria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
“Halah lebay! Jagalah dirimu kalau ga mau kena kekerasan seksual.”
ADVERTISEMENT
Apakah teman-teman menyadari bahwa belakangan ini media seringkali menyebarkan berita tentang kasus kekerasan seksual? Ya! Akhir-akhir ini, media sering memberitakan kasus kekerasan seksual dan menuai berbagai respons dari masyarakat. Awalnya, media sosial ramai memperbincangkan peristiwa bunuh diri oleh seorang mahasiswi asal Mojokerto di samping pusara ayahnya. Berdasarkan pernyataan yang ditulis oleh korban di akun Quora pribadinya dan thread di akun Twitter rekan korban, dapat disimpulkan jika korban bunuh diri karena tidak sanggup menjalani hidup. Bagaimana tidak? Korban diperkosa oleh pacarnya yang merupakan anggota kepolisian dan telah hamil selama beberapa kali. Setiap hamil, korban selalu dipaksa untuk aborsi oleh pelaku dan ibu dari pelaku. Selain itu, keluarga yang harusnya memberikan dukungan, justru turut menyudutkan korban.
ADVERTISEMENT
Tanggapan dari masyarakat sangat beragam, mulai dari mendukung hingga menyalahkan. Orang-orang yang menyalahkan korban berargumen jika hal tersebut terjadi karena salah korban sebab ia mau melakukan berhubungan seksual. Padahal, kita tidak tahu di balik peristiwa tersebut ada paksaan atau tidak. Berdasarkan bukti yang ada, jelas sekali jika korban diberikan obat tidur oleh pelaku. Bukankah hal tersebut termasuk ke dalam pemerkosaan?
Bagaikan gayung bersambut, setelah kasus tersebut mendapatkan banyak dukungan dan diproses secara hukum, semakin banyak kasus kekerasan seksual lain yang muncul ke permukaan, lho! Contohnya adalah bertambahnya korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Dosen Unsri hingga pemerkosaan terhadap 21 santriwati oleh seorang guru ngaji di Bandung. Hal tersebut membuktikan bahwa kebanyakan pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat dan tidak pandang profesi, teman-teman.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kasus kekerasan seksual banyak terjadi, namun hanya sedikit yang terdata karena banyak korban yang takut akan ancaman atau balasan dari pelaku, takut kehilangan pekerjaan, kurang percaya laporannya akan ditindaklanjuti, dan sebagainya (Sbraga & O’donohue, 2000). Kemudian, korban kekerasan seksual dalam rumah tangga jarang sekali melapor karena keterbatasan pengetahuan dan takut melanggar norma. Data SIMFONI-PPA menunjukkan bahwa kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan dengan laporan terbanyak, yaitu sebanyak 7.791 kasus. Ini hanyalah kasus yang terdata. Semakin banyak korban atau saksi yang berani melapor, jumlah kasus ini akan bertambah, ‘kan?
Apakah kekerasan seksual berbeda dengan pelecehan seksual?
Mungkin beberapa dari kita masih bingung akan hal ini. Maka dari itu, simak penjelasannya, yuk!
ADVERTISEMENT
Winarsunu (2008) menjelaskan, pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku bernuansa seksual yang dilakukan tanpa persetujuan dari salah satu pihak. Apakah teman-teman bisa memberikan contoh pelecehan seksual? Catcalling! Catcalling merupakan salah satu jenis pelecehan seksual, lho! Kita pasti sering menjumpai bahkan mengalami, namun hal tersebut masih dianggap sepele dan dinormalisasi. Selain itu, jenis pelecehan seksual lainnya adalah menyentuh atau meraba bagian tubuh tanpa persetujuan, lelucon seksis, diskriminasi gender, permintaan bernuansa seksual, dan lain-lain.
Sedangkan kekerasan seksual adalah segala perilaku yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya terkait penyaluran hasrat seksual seseorang secara paksa atau tanpa persetujuan. Menurut Komnas Perempuan, ada 15 bentuk kekerasan seksual yang telah dikenali, di antaranya yaitu pemerkosaan, pemaksaan aborsi, intimidasi seksual (ancaman atau percobaan perkosaan), dan pelecehan seksual. Jadi, keduanya merupakan hal yang berbeda, namun pelecehan seksual termasuk jenis kekerasan seksual (Harris dkk., 2019).
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual menimbulkan banyak dampak bagi korban. Apa saja dampaknya? Ayo kita bahas!
Dampak kekerasan seksual terhadap korban
Kekerasan seksual menimbulkan dampak pada fisik dan psikologis korban. Dampak-dampak yang kompleks tersebut mempengaruhi hidup korban. Pada artikel ini, kita akan fokus membahas dampak psikologis, ya, teman-teman. Pada umumnya, korban akan merasa cemas, takut, menangis hingga terisak, marah, dan lain-lain karena emosinya tidak stabil (Tavara, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Fuadi (2011) menunjukkan bahwa beberapa korban dibalut rasa marah, kesal, benci, bahkan dendam atas apa yang diterimanya.
Korban kekerasan seksual sangat berpotensi mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), lho, teman-teman! Hmm, apa itu PTSD? PTSD adalah munculnya sindrom cemas, emosi yang tidak stabil, dan bayang-bayang akibat stres dan kelelahan fisik di luar batas resiliensi normal. Apakah hanya korban kekerasan seksual yang mengalami PTSD? Tidak, setiap orang yang pernah mengalami peristiwa yang mengguncang dirinya dapat mengalami PTSD, seperti korban bencana alam ataupun perang. Korban akan dibayang-bayang dan merespons hal yang mirip dengan peristiwa yang membuatnya trauma secara berlebihan. Lebih berbahaya dibandingkan bayang-bayang mantan, ya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, korban rentan mengalami depresi. Depresi bukanlah sesuatu yang asing untuk kita karena saat ini banyak orang yang menyalahartikan bahkan self-diagnose. Lalu, bagaimana depresi yang sesungguhnya? Menurut Beck (1967), depresi adalah gangguan mental yang ditandai dengan sedih berlarut-larut, mood tidak stabil, subjective well-being rendah, disertai kondisi fisik yang buruk dan gejala pada kognitif. Jika subjective well-being-nya rendah, maka pola pikirnya menjadi negatif dan menghasilkan hal yang negatif karena sistem kerja kognitif dari subjective well-being sangat mempengaruhi perasaan, tindakan, dan kesehatan mental.
Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk memulihkan kondisi psikologis korban?
Teman-teman pasti senang, ‘kan, mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat ketika sedih atau terpuruk? Begitu pula dengan korban kekerasan seksual. Dukungan sosial dari orang-orang terdekat dan berbagai pihak berkorelasi positif dengan subjective well-being korban (Rigby, 2000). Seperti yang telah dikatakan di atas, jika individu membuat subjective well-being positif, maka akan menghasilkan hal positif.
ADVERTISEMENT
Korban dapat menggunakan problem-focused coping dalam proses pemulihan karena dengan strategi ini korban berusaha mengontrol emosinya. Dukungan sosial merupakan salah satu komponen penerapan problem-focused coping. Dengan adanya dukungan sosial, korban akan optimis untuk menjalankan hidupnya karena ia telah melakukan manipulasi kognitif dari tekanan yang dialami.
Selain itu, korban harus mendapatkan pendampingan dari pihak-pihak terkait, seperti lembaga bantuan hukum (LBH), lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun Komnas Perempuan. Korban pun harus mendapatkan layanan konseling dan terapi psikologis, ya, teman-teman. Kemudian, ketika korban menjalankan anamnesis, pastikan sudah ada persetujuan dan korban harus diberikan ruang aman serta dijaga privasinya.
Melihat banyaknya kasus dan dampak kekerasan seksual, kita harus terus berupaya untuk mencegah tindak kekerasan seksual, melindungi dan mendukung korban untuk bangkit, dan berhenti menyalahkan korban karena korbanlah pihak yang dirugikan. Bagaimana jika pakaiannya yang mengundang hasrat seksual atau hawa nafsu? Pakaian tidak dapat dijadikan alasan terjadinya kekerasan seksual karena perempuan dengan pakaian tertutup pun banyak yang menjadi korban, lho! Oleh karena itu, kitalah yang harus menahan hawa nafsu tersebut. Kita memerlukan payung hukum yang kuat untuk melindungi korban dan menghukum pelaku kekerasan seksual, contohnya adalah RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Selain itu, kita juga dapat mengedukasi teman-teman lainnya terkait dengan kekerasan seksual. Yuk, cegah upaya kekerasan seksual!
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Winarsunu, T. (2008). Psikologi Keselamatan Kerja. Malang: UMM Press.
Harris, K.L., McFarlane, M., & Wieskamp, V. (2019). The Promise and Peril of Agency as Motion: A Feminist New Materialist Approach to Sexual Violence and Sexual Harassment. Organization, 1–20.
Tavara, L. (2006). Sexual Violence. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology, 20(3), 395–408.
Sbraga, T.P. & O’donohue, W. (2000). Sexual Harassment. Annual Review of Sex Research, 11(1), 258–285.
Fuadi, M.A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi. PSIKOISLAMKA, 8(2), 191–208.
Rigby, K. (2000). Effects of Peer Victimization in Schools and Perceived Social Support on Adolescent Well-Being. Journal of Adolescence, 23, 57–68.