Konten dari Pengguna

Maraknya Pengemis Badut Anak-anak di Indonesia

Manda Septina
Bachelor of Arts (Sociology), Universitas Airlangga Transformation Officer at Save The Children Indonesia
24 April 2023 5:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manda Septina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Badut.  Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Badut. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anak sebagai harta yang paling berharga. Ya, bagi sebagian orang tua. Tidak berlaku, bagi sebagian orang tua yang lain. Anak tak lagi dimaknai sebagai berkat atau anugerah dari Sang Pencipta, melainkan sebagai beban keluarga. Pergeseran makna 'anak' sebagai manusia yang memiliki HAM, menjadi manusia rentan dan prekariat, dan tidak terhindarkan dari kegiatan komersial anak.
ADVERTISEMENT
Adagium yang digaungkan "banyak anak, banyak rezeki" tidak dipahami secara holistik mampu menghasilkan tafsiran yang fatal sehingga memiliki sumbangsih besar terhadap anak yang dikaryakan menjadi pekerja anak.
Hak anak yang seharusnya belajar, bermain, mendapatkan gizi yang cukup serta penghidupan yang layak dirampas seketika saat dirinya terpaksa terjun menjadi pekerja anak. ILO mendefinisikan pekerja anak sebagai anak yang bekerja pada segala jenis pekerjaan dengan risiko tinggi terhadap fisik, mental, intelektual dan moral.

Maraknya Pengemis Badut

Ilustrasi Pengemis. Foto: Shutterstock
Keberadaan anak-anak dengan kostum badut di setiap persimpangan jalan bagaikan sebuah magnet untuk memikat rasa iba bagi setiap mata yang memandang. Mulai dari melakukan atraksi-atraksi menarik hingga hanya sekedar menyodorkan kotak kosong yang diharapkan akan terisi penuh dengan uang.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan menjadi pengemis badut menjadi alternatif bagi mereka yang merasa kekurangan dari segi finansial. Keberadaannya melonjak ketika pandemi Covid-19 menyerang, hingga saat ini jadi sebuah pola kebiasaan baru untuk mengais rezeki.
Dilansir Infogresik.id, jumlah pengemis berkostum badut terus bertambah pada setiap sudut jalan di Gresik Kota Baru. Tidak jarang terlihat anak kecil yang kelelahan dan tidur di trotoar jalanan dengan melepaskan bagian kepala kostumnya. Tak hanya kelelahan secara fisik, tetapi anak-anak ini berpotensi besar mengalami kecelakaan, karena jalanan di GKB menjadi jalur antar pabrik, sehingga dilewati banyak truk dan kontainer besar.
Oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab sengaja menjadikan anak sebagai alat pemikat keuntungan besar dari hasil mengemis menjadi badut jalanan. Secara langsung, mereka telah merenggut apa yang menjadi hak anak. Kesadaran para oknum terhadap hak anak yang telah tercantum pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, layaknya sebuah aturan yang keberadaannya memang untuk dilanggar.
ADVERTISEMENT

Upaya Penanganan

Ilustrasi Pengemis. Foto: Shutterstock
Berbagai upaya telah ditempuh baik secara preventif maupun represif. Upaya represif, seperti penugasan untuk para petugas Satpol PP daerah setempat untuk melakukan patroli di daerah yang sering dijadikan tempat mangkal.
Namun, tidak menutup peluang bagi mereka mengambil celah pada saat petugas tidak sedang ada jadwal patroli. Upaya preventif berupa memberikan pelatihan keterampilan baru yang difasilitasi pemerintah guna menghasilkan kreativitas yang bernilai jual untuk mengisi waktu luang anak-anak seusai sekolah. Namun, hal tersebut seringkali tidak diminati oleh anak-anak, dan memiliki untuk mendapatkan uang dari hasil mengemis menjadi badut.
Segala upaya di atas akan menjadi sia-sia dan percuma, bilamana tidak ada perubahan pola pikir dari si anak, orang tua, dan orang-orang dewasa yang berada di sekitarnya. Perubahan pola pikir akan tercipta dari kualitas pendidikan yang diperoleh, serta keterjangkauan terhadap setiap akses fasilitas publik yang diperlukan. Inilah yang menjadi akar dari rantai kemiskinan masyarakat, bagaikan lingkaran setan yang sulit terputus.
ADVERTISEMENT