Konten dari Pengguna

76 Tahun Merdeka, Indonesia Belum Bebas dari Penyeragaman Pendidikan

Manggala Wiriya Tantra
Pembelajar Seumur Hidup
17 Agustus 2021 8:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manggala Wiriya Tantra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "memberontak pendidikan terbuka" Foto: Indra Fauzi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "memberontak pendidikan terbuka" Foto: Indra Fauzi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
76 tahun merdeka, Indonesia belum bebas dari penyeragaman pendidikan. Upaya merdeka dari penyeragaman pendidikan mulai terasa sejak adanya kebijakan merdeka belajar, tapi praktik penyeragaman itu telah berakar kuat berpuluh-puluh tahun lamanya, sehingga tak mudah merubahnya seperti membalikkan tangan. Sesungguhnya apa bahaya dari penyeragaman pendidikan?
ADVERTISEMENT
Coba sejenak kita ingat saat masa sekolah. Suatu hari di sekolah, seorang guru menggelar ujian seni rupa dengan tema pemandangan. Sejak awal, sang guru sudah menginstrusikan semua siswa harus menggunakan spidol merek A. Seorang siswa dengan gembira menyambut ujian membuat pemandangan. “Jika menggambar pemandangan harus ada gunung, matahari, sawah, langit, dan burung.” Begitu ujarnya.
Sebaliknya, ada siswa lainnya sejak awal meminta izin untuk memakai pensil warna, namun sang guru tetap memaksanya memakai spidol merek A. Dia pun menggambar pemandangan dengan cara yang berbeda, bukan dua buah gunung dilengkapi dengan sawah dan matahari. “Aku pikir, yang namanya pemandangan itu bisa gedung perkantoran, danau atau pemandangan aktivitas masyarakat di pasar,” katanya.
Ketika tiba saatnya penilaian, siswa pertama mendapat nilai tinggi dan pujian. Sebaliknya kreativitas siswa kedua menterjemahkan makna pemandangan, tidak dianggap sama sekali. Bagi guru itu, pemandangan harus ada gunung, matahari, sawah, dan langit. Dari cerita ini saja kita bisa menilai betapa celakanya dampak penyeragaman itu, belum dengan cerita yang lain.
ADVERTISEMENT
Persis dengan apa yang tersirat dari makna gambar ilustrasi di atas. Ketika seorang anak bersama orang tuanya, lalu diantar masuk sekolah, hasilnya akan sama dengan siswa-siswa lain yang sedang duduk memperhatikan guru itu. Padahal, seorang anak itu datang dengan ciri yang unik dan tentunya punya kemampuan yang bisa saja berbeda.
Saya termasuk bagian dari orang yang senang akhirnya ujian nasional dihapus. Bukan tanpa kajian dan alasan, atau hanya sekadar membandingkan dengan negara barat, melainkan ada esensi mendalam bagi dunia pendidikan setelah dihapuskannya ujian nasional, bagi saya itu upaya terbaik menyelamatkan masa depan generasi bangsa. Mengapa demikian?
Begini, saya buatkan sebuah ilustrasi sederhana. Para siswa dididik selama bertahun-tahun oleh guru yang berbeda dan kemampuannya pun berbeda pula, dengan sejumlah mata pelajaran yang tidak sedikit. Lalu, di ujung tingkat para siswa diuji dengan beberapa mata pelajaran saja dan standar soal yang sama, ini jelas tidak adil, meskipun ada dalih “kan kurikulumnya sama? Jadi tidak salah dong kalau soalnya dibuat sama”? Pemikiran inilah yang sebenarnya menjadi cikal bakal terwujudnya sistem penyeragaman.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada pertanyaan berikutnya, “lalu bagaimana kita bisa mengukur indeks ketercapaian pendidikan kalau tidak dengan cara demikian tadi”? Menurut saya yang perlu diukur itu pemerataan akses dan fasilitas pendidikannya dulu, sudah merata atau belum, sudah tercukupi atau belum, apalagi negara kita ini negara kepulauan dan ada kesenjangan yang harus dituntaskan terlebih dulu. Kita bisa bayangkan betapa besar dampaknya jika anggaran ujian nasional itu digunakan untuk pemerataan akses dan fasilitas layanan pendidikan.
Lagipula jika berbicara esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka yang perlu dilakukan adalah memberdayakan seluruh peserta didik untuk mencapai kemajuan dalam bidang dan keahliannya masing-masing. Lalu bagaimana kurikulumnya? Bagaimana cara menilainya? Menurut saya dibuat simpel saja, saat pertama siswa masuk sekolah dilihat kemampuan mana yang bisa diasah, kemudian diasahlah sedemikian rupa hingga ahli di bidangnya masing-masih, sebagai bentuk penilaian diberikanlah catatan-catatan kemajuan sejak awal hingga akhir masa studinya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu negara ini tidak kekurangan orang-orang yang ahli di berbagai bidang dan jenjang pendidikan pun jadi lebih terintegrasi dengan baik, sehingga tidak lagi ditemukan istilah mahasiswa salah jurusan. Kesimpulannya adalah selama masih terjadi praktik penyeragaman pendidikan, maka secara perlahan mematikan kecerdasan, kreativitas dan juga kritisisme.