Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Moderasi Beragama dalam Agama Buddha
26 Juli 2021 20:10 WIB
Tulisan dari Manggala Wiriya Tantra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak tersentuh hatinya melihat foto seorang bhikkhu yang sedang membantu pria berwudu itu. Nampak jelas sekali perbedaan mereka berdua yang terlihat dari atribut yang mereka pakai, tapi di sisi lain terasa begitu kuat ikatan sosial mereka, praktik moderasi beragama yang menerobos sekat perbedaan yang ada.
ADVERTISEMENT
"Ya memang begitulah seharusnya, sejatinya perbedaan itu memperindah kehidupan, bukan menjadi benteng penghalang dan tidak mengenal kata mayoritas minoritas, karena dimanapun dan sampai kapanpun perbedaan itu akan tetap ada, yang harus dilakukan adalah menjaga dan merawatnya" ucap Manggala.
Karena saat kita lahir di dunia ini tidak bisa memilih, dimana dan seperti apa latar belakang keluarga kita. Dan sesungguhnya itu tidak menjadi masalah, asal kita mau menerima dan bisa mensyukurinya.
Dalam agama buddha terdapat satu teladan luhur yang mengajarkan betapa pentingnya menghargai perbedaan, peristiwa ini terjadi kala Buddha Gautama masih hidup.
Saat itu terdapatlah seorang bernama Upali datang menemui Sang Buddha, dan memohon untuk diterima sebagai murid. Namun, Buddha tidak langsung begitu saja menerimanya dan justru malah meminta satu syarat.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa syarat yang diminta Buddha? Karena Sang Buddha mengetahui bahwa Upali adalah pengikut keyakinan lain dan selama ini ia menjadi pendukung utamanya, maka dengan bijak Sang Buddha meminta kepada Upali agar terus berbuat baik dan memberikan bantuan kepada keyakinan yang dulu ia ikuti, serta harus tetap menghormati gurunya yang dulu.
Akhirnya, Upali pun menyetujui syarat yang diminta Sang Buddha, dan berhasil diterima sebagai murid-Nya. Peristiwa ini terdapat pada Kitab Suci Tripitaka, tepatnya di bagian Upali-Sutta.
Nasihat Buddha tersebut kemudian diadaptasi dan dimanifestokan oleh Asokha, seorang raja yang memerintah berdasarkan ajaran buddha, membuat suatu maklumat yang dituliskan pada Prasasti Batu Kalingga No. XXII, Abad ke-3 SM.
Maklumat tersebut singkatnya berbunyi “memuji agama dan keyakinan sendiri, tetapi mencela agama dan keyakinan orang lain, justru akan merugikan agama dan keyakinan sendiri. Sepatutnya kita saling menghormati agama dan keyakinan orang lain.”
ADVERTISEMENT
Pesan dalam maklumat tersebut tentu sangat relevan sampai kapanpun. Dengan tidak mencela agama dan keyakinan orang lain akan mewujudkan tatanan masyarakat yang damai dan harmonis.
Dalam Saraniya Dhamma, Sang Buddha menjelaskan terdapat enam faktor yang membawa keharmonisan; (1) memancarkan cinta kasih dalam perbuatan; (2) dalam ucapan; (3) dalam pikiran; (4) memberi kesempatan kepada sesama untuk ikut menikmati apa yang diperoleh secara benar; (5) menjalankan kehidupan yang bermoral, tidak melukai perasaan orang lain; dan (6) tidak bertengkar karena perbedaan pandangan. Itu semua dilakukan baik di depan mau pun di belakang mereka”
"Mari kita praktikkan pesan bijak Sang Buddha Gautama dalam keseharian, sama-sama kita jaga dan rawat kerukuran dengan saling menghormati satu sama lain. Agama buddha hadir dan mendukung praktik moderasi beragama, khususnya di Indonesia"" pungkas Manggala.
ADVERTISEMENT