Memahami Pancasila

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
5 Juni 2017 0:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Memahami Pancasila
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemarin adalah hari terakhir dalam “Pekan Pancasila” yang diperingati pada tanggal 29 Mei sampai 4 Juni. Selama sepekan masyarakat membicarakan tentang pentingnya Pancasila dalam kehidupan kita. Namun, benarkah masyarakat telah memahami apa itu Pancasila? Untuk memberikan pembaca gambaran mengenai Pancasila, maka kita harus mengkaji Pancasila dari beberapa perspektif, baik secara etimologis, historis, terminologis, maupun epistemologis.
ADVERTISEMENT
Pancasila Secara Etimologis
Istilah Pancasila berasal dari Bahasa Sansekerta. Pancasila memiliki dua macam arti secara leksikal yaitu: panca yang berarti lima, sedangkan syila memiliki dua makna; syila dengan vokal i pendek artinya batu sendi, alas, atau dasar, sedangkan syila dengan vokal i panjang artinya peraturan tingkah laku yang baik, penting, atau senonoh. Kata-kata tersebut kemudian dalam Bahasa Jawa diartikan “susila” yang berarti terkait atau memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu, secara etimologis kata “Panca Syila” yang dimaksudkan disini adalah istilah “Panca Syila” dengan vokal i pendek yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau jika diartikan secara harfiah berarti “dasar yang memiliki lima unsur”.
Pancasila Secara Historis
Kaelan (2010) menjelaskan bahwa pengertian Pancasila diawali dalam proses perumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Pada rapat pertama, Radjiman Widyoningrat, mengajukan suatu masalah, yang secara khusus akan dibahas pada sidang tersebut, yaitu mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampillah tiga orang pembicara yaitu Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar Negara Indonesia. Sebagaimana masukan dari salah satu teman Ir. Soekarno yang merupakan ahli bahasa, maka Beliau menamainya dengan “Pancasila” yang artinya 5 dasar.
ADVERTISEMENT
Pancasila Secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka panitia Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan Tambahan terdiri atas 2 ayat. Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
ADVERTISEMENT
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Hal ini diperkuat dengan ketetapan No. XX/MPRS/1966, dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968 yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan, dan rumusan Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan benar, adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila Secara Epistemologis
Secara epistemologis, Pancasila adalah suatu proporsi yang dicita-citakan, bahkan diniscayakan untuk menjadi kekuatan normatif yang dapat menggerakkan kehidupan berbangsa. Namun demikian, Pancasila sebagai ideologi negara masih berupa asas-asas yang sifatnya normatif. Pancasila akan menjadi retorika belaka jika masyarakat tidak mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Menyalakan lilin untuk Pancasila (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menyalakan lilin untuk Pancasila (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pemaknaan Pancasila
Pancasila memiliki nilai luhur dalam masing-masing silanya. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi dasar bagi seluruh umat beragama di Indonesia dalam menjalankan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bermasyarakat, beribadah, bersosialisasi, dan dalam aspek kehidupan lainnya. Dalam sila ini, bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Negara juga menjamin kebebasan bagi setiap warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
Sila pertama merupakan induk dari sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Jika warga negara telah menerapkan sila pertama dengan baik, harapannya sila kedua juga bisa tercapai, demikian seterusnya. Adapun tujuan akhirnya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Butir kedua dari Pancasila mengandung pengertian bahwa seluruh manusia merupakan mahkluk yang beradab dan memiliki keadilan yang setara di mata Tuhan. Dengan kata lain, seluruh manusia sama derajatnya baik perempuan atau laki-laki, miskin maupun kaya, berpangkat maupun yang tidak. Di negara ini tidak diperbolehkan adanya diskriminasi terhadap suku, agama, ras, antargolongan, maupun politik (SARAP).
ADVERTISEMENT
Sila ketiga dari Pancasila yang mengandung makna bahwa Indonesia ini adalah negara persatuan dan menjunjung tinggi nilai kesatuan. Ini dibuktikan dengan persatuan dalam keberagaman yang dapat ditemui di seluruh penjuru Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti terjadi banyak persinggungan atau perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan tidak ada manusia di dunia ini yang identik. Untuk itu, sila keempat Pancasila menjelaskan tentang budaya demokrasi, bahwa perbedaan merupakan hal yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan. Bahwa setiap warga negara Indonesia berhak dan diberi kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya baik pribadi maupun di muka umum. Bahwa yang membuat Indonesia itu indah adalah perbedaan. Bahwa tanpa perbedaan, dunia ini barangkali akan terasa monoton.
ADVERTISEMENT
Adapun makna dari sila kelima adalah bahwa seluruh manusia di dunia ini memiliki hak atas keadilan tanpa membedakan status sosial atau ukuran apapun. Artinya, rakyat Indonesia berhak atas keadilan dan kesetaraan, baik di mata pemerintah maupun di depan hukum.
Dinamika Penerapan Pancasila
Para pendiri negara telah secara brilian merumuskan gagasan tentang dasar negara yang visioner. Pancasila yang mulai dibahas pada tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 oleh tokoh-tokoh besar seperti Muhammad Yamin, Soepomo, hingga di hari terakhir oleh Soekarno memperlihatkan kedalaman intuisi dan pengenalan terhadap jati diri bangsa. Pada akhirnya, Pancasila yang telah dibahas dalam sidang BPUPKI tersebut akhirnya ditetapkan PPKI tanpa melalui perdebatan panjang. Semua pendiri bangsa (founding fathers) bersepakat bahwa sila pertama dengan perubahan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) lebih mengakomodir kemajemukan di Indonesia (Sekneg RI, 1998).
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, Pancasila lalu menjadi alat eksekutif untuk mempertahankan kekuasaan. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Presiden Soekarno memaksakan doktrin Manipol/USDEK sebagai tafsir tunggal atas Pancasila.
Adapun pada masa pemerintahan Orde Baru, Pancasila kembali ditafsirkan menurut tafsir tunggal yang sekuler guna mendukung visi deideologisasi. Program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang digalakkan oleh pemerintah dianggap sebagai upaya sakralisasi Pancasila.
Patung tugu Pancasila (Foto: Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Patung tugu Pancasila (Foto: Flickr)
Sakralisasi Pancasila pada masa Orde Baru sudah sedemikian parah hingga lahirlah istilah-istilah Pancasilais, seperti: Kabinet Pancasila, Pembangunan Pancasila, Ekonomi Pancasila, Pejabat Pancasila, bahkan PSSI pun dinamai Sepakbola Pancasila. Di masa ini, Pancasila menjadi mitos yang sakral yang seakan tidak boleh dikritisi sama sekali (Rizieq, 2013).
Pada era reformasi muncul tuntutan publik atas kebebasan berpendapat dan berserikat yang mendapatkan akomodasi melalui amandemen UUD 1945. Segala hal yang berbau Pancasila kemudian diidentikkan dengan rezim Orde Baru yang diktator, korup, dan eksklusif. Pada saat itu, Pancasila sempat menjadi ketakutan (phobia) bagi beberapa kalangan yang mengusung reformasi.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi saat ini adalah keberagaman tafsir terhadap Pancasila, baik tafsir yang menjurus pada pendewaan, sikap apatis, maupun phobia di sisi yang lain. Kaelan (2013) menyebutkan bahwa Pancasila memiliki kedudukan yang primer sebagai suatu weltanscahuung (pandangan hidup).
Pancasila sebagai pandangan hidup bukanlah seperti pemaknaan kita terhadap agama yang kita yakini, sebab Pancasila bukanlah agama dan tidak mungkin untuk meng-agama-kan Pancasila.
Buah pikir para pendiri republik bahwa Indonesia tidak dibangun sebagai negara berdasar satu agama tertentu, tetapi negara yang dihidupi oleh keyakinan kepada Tuhan dan melindungi kebebasan beragama bagi warganya. Dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar hukum bagi semua peraturan perundang-undangan, jika dilaksanakan secara konsekuen akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan makmur.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya Pancasila kini hanyalah utopia bagi Bangsa Indonesia sendiri. Semenjak diikrarkan oleh Soekarno pada 1945 sebagai nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang, yang diambil dari bumi pertiwi sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila kehilangan makna dalam prakteknya.
Di era reformasi, tak banyak perubahan berarti. Justru semakin bertambah parahnya degradasi moral seperti konflik politik, korupsi, pembunuhan, pengangguran, kemiskinan, perampokan sumber daya alam, hukum yang berat sebelah, pengrusakan lingkungan, pelanggaran HAM, narkoba, seks bebas di kalangan remaja, tawuran pelajar, gerakan separatis, kacau balaunya sistem pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pancasila tidak lagi membutuhkan konsep-konsep yang panjang dan berbelit di ruang wacana namun hanya berada di menara gading. Tak tersentuh dalam kehidupan nyata.
Yudi Latif dalam bukunya 'Air Mata Keteladanan' mengungkapkan kerisauannya bahwa Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menumbuhkan nurani. Pancasila semestinya menemukan suri teladan yang dapat dikisahkan, misalnya meneladani kisah perjuangan para pahlawan dan tokoh-tokoh pendiri bangsa.
Negara Indonesia tidak boleh lagi larut dalam pertentangan ideologi di antara ekstrem kanan atau kiri, persinggungan pendapat antara kelompok A atau B, permasalahan identitas antara etnis A atau B, juga perbedaan pandangan politik antara pendukung paslon A atau B.
Pengalaman sejarah telah membelajarkan kepada kita bahwa Pancasila masih layak dan harus terus dipertahankan sebagai sumber nilai bagi pembangunan bangsa dan negara. Pancasila harus diteladankan, bukan sekedar dibelajarkan.
ADVERTISEMENT
Pancasila jangan hanya menjadi wacana kampanye atau diskursus lewat mimbar-mimbar seminar. Pancasila bukanlah slogan retorik yang hanya dibahas selama sepekan. Pancasila harus dekat, hidup, dan dihidupkan dalam setiap aktivitas kehidupan rakyat Indonesia.