Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri

Manik Sukoco
Senang membaca. Sesekali menulis.
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2017 9:20 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Manik Sukoco tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Minamata adalah sebuah desa nelayan sekaligus kota industri di distrik Kyushu, Jepang. Berada di barat daya Kyushu, di ujung paling selatan Kumamoto, kota Minamata juga berdampingan dengan Kota Izumi dan Okuchi di Kagoshima.
ADVERTISEMENT
Dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan di tiga sisi, kota Minamata membentang di lajur sungai Minamata yang bermuara ke laut. Iklimnya hangat dan kota ini meliputi area seluas 162,88 kilometer persegi.
Pegunungan bervegetasi subur merupakan wajah dari sebagian besar kawasan perkotaan. Sedangkan dusun-dusun tersebar di sepanjang jalan dan pinggir sungai. Tujuh puluh persen penduduk berada di daerah perkotaan, demikian pula toko-toko dan pusat perbelanjaan.
Desa Minamata mulai dibangun pada tahun 1889. Daerah ini merupakan kawasan penghasil garam. Dengan total 2.325 rumah dan populasi 12.040, Minamata tidak lagi menjadi desa pertanian dan nelayan kecil. Nippon Nitrogen Fertilizer Corporation, pendahulu Chisso Corporation, didirikan pada tahun 1908. Setelah itu, kawasan Minamata pun mengalami kemajuan selaras dengan pertumbuhan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Minamata mengalami perkembangan pesat saat koneksi kereta api dan infrastruktur lainnya diletakkan disana. Setelah Jepang bangkit dari kehancuran akibat perang dunia kedua, Minamata didaulat menjadi sebuah kota pada tahun 1949, dan mengambil langkah penting menuju modernitas. Populasi mencapai puncaknya pada tahun 1956 yaitu sebanyak 50.461 orang, saat batas kota digambar ulang untuk memasukkan desa Kugino.
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (1)
zoom-in-whitePerbesar
Kawasan Teluk Minamata. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Pada kurun waktu antara tahun 1932 dan 1968, pabrik kimia Chisso Corporation yang beroperasi di Minamata lalu membuang sejumlah besar limbah industri yang terkontaminasi dengan metil merkuri yang sangat beracun. Limbah ini terakumulasi secara biologis dalam kehidupan laut setempat yang kemudian dikonsumsi oleh populasi secara langsung.
ADVERTISEMENT
Akibatnya sungguh mengerikan.
Warga yang terpapar merkuri menunjukkan suatu gejala yang sangat merusak. Sebuah penyakit yang kemudian dikenal secara luas sebagai Penyakit Minamata (Minamata Disease). Penyakit ini menyerang sistem saraf pusat, setelah seseorang memakan ikan dan kerang yang mengandung senyawa merkuri.
Dampak dari Minamata Disease sangat memilukan. Ada beberapa kasus dimana bayi-bayi terlahir dengan kondisi yang menyerupai penyakit cerebral palsy. Merkuri meracuni janin melalui plasenta, saat ibu bayi mengkonsumsi makanan laut yang telah terkontaminasi limbah selama masa kehamilan.
Wabah penyakit ini menyergap kawasan yang terletak di sekitar Teluk Minamata pada tahun 1956. Sebanyak 2.265 individu di kawasan tersebut terserang dan dilaporkan 1.784 korban meninggal karena keracunan yang diakibatkan oleh merkuri.
ADVERTISEMENT
Penyakit Minamata mengakibatkan penderita tidak merasakan sensasi pada bagian kaki dan tangan, kehilangan kemampuan untuk melakukan fungsi motorik seperti berjalan, ataksia (kesulitan mengkoordinasikan pergerakan tangan dan kaki), penyempitan bidang penglihatan (gangguan penglihatan), gangguan pendengaran, disekuilibrium (penurunan kemampuan untuk menjaga keseimbangan), hambatan bicara (pengucapan menjadi tidak jelas), tremor (gemetar tangan dan kaki), serta gangguan pada gerakan mata (pergerakan mata menjadi tidak menentu).
Dalam kasus yang relatif ringan, kondisinya hampir tidak dapat dibedakan dari penyakit lain seperti sakit kepala, kelelahan kronis, dan ketidakmampuan umum untuk membedakan rasa dan bau. Namun dalam kasus yang sangat parah, korban dapat mengalami kegilaan, kelumpuhan, koma, bahkan kematian dalam beberapa minggu setelah timbulnya gejala.
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (2)
zoom-in-whitePerbesar
Hannaga adalah pasien Penyakit Minamata bawaan yang dirawat secara permanen di Rumah Sakit Meisui-en, Jepang. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
ADVERTISEMENT
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (3)
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Moryama bersama Hannaga, seorang pasien Penyakit Minamata di Rumah Sakit Meisui-en pada tahun 1991. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (4)
zoom-in-whitePerbesar
Sinobu Sakamoto terlahir dengan penyakit Minamata. Seiring bertambahnya usia, penyakitnya perlahan berkembang. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (5)
zoom-in-whitePerbesar
Sinobu Sakamoto dan temannya Kiyoko Kagata di rumah keluarga Sinobu. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (6)
zoom-in-whitePerbesar
Pabrik Kimia Chisso Corp, produsen merkuri organik yang meracuni kawasan Minamata. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (7)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pasien berusia lanjut yang menderita Penyakit Minamata sedang membuat bunga plastik sebagai terapi okupasi. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (8)
zoom-in-whitePerbesar
Hanamato telah kehilangan fungsi kakinya karena Penyakit Minamata. Saat ini, ia menjadi seorang aktivis lingkungan. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
ADVERTISEMENT
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (9)
zoom-in-whitePerbesar
Keluarga Kaneko. Chikao (atas) dan Yuji (kanan bawah) adalah pasien penyakit Minamata bawaan. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (10)
zoom-in-whitePerbesar
Minaru Sakamoto (69 tahun) adalah salah seorang korban pencemaran merkuri di Jepang. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (11)
zoom-in-whitePerbesar
Yuji Onitsaka, mengalami cacat permanen yang sangat parah akibat menderita Penyakit Minamata bawaan. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (12)
zoom-in-whitePerbesar
Yang terburuk dari lumpur beracun yang dibuang oleh Pabrik Kimia Chisso Corporation ke Teluk Minamata telah dikubur di bawah lokasi reklamasi tanah. Foto: Chris Steele-Perkins, Magnum Photos
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Merkuri sudah dikenal dan digunakan di Indonesia sejak tahun 90-an, salah satunya dalam aktivitas pertambangan emas ilegal. Usaha tambang ini pun naik daun ketika desentralisasi atau kebijakan otonomi daerah diterapkan pada awal tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Dinamika kenaikan harga emas dalam 10 tahun terakhir turut meningkatkan jumlah Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) menjadi hampir dua kali lipat. Wilayah tambang emas tersebut tersebar di seluruh nusantara, baik di dalam taman nasional, kawasan lindung, hutan raya, bahkan pada pulau-pulau kecil (KLHK, 2013).
Yuyun Ismawati pernah melakukan wawancara dengan para penambang emas di kawasan Poboya pada tahun 2011. Dari mereka didapatkan keterangan bahwa sekitar 300-500 gram merkuri ditambahkan dalam tiap gelundung emas dalam rentang waktu 4 jam. Dengan asumsi bahwa semua gelundung beroperasi setidaknya satu kali sehari, dan sekitar 20-50 gram merkuri dilepaskan ke lingkungan untuk mengolah satu gram emas, maka setidaknya 200-500 kilogram merkuri dilepaskan ke lingkungan dalam satu hari, atau sekitar 73-183 ton merkuri per tahun.
ADVERTISEMENT
Beberapa penelitian kemudian dilakukan untuk mengetahui besar emisi merkuri yang dihasilkan dari sektor Pertambangan Emas Skala Kecil. Kania Dewi (2012), melaporkan bahwa PESK merupakan sumber utama emisi merkuri di Indonesia (57,5%). Sedangkan UNEP (2013) mengidentifikasi sektor PESK sebagai penyumbang utama emisi merkuri global (37%).
Pada tahun 2015, ketika Uni Eropa dan Amerika Serikat menerapkan larangan ekspor merkuri dan Departemen Perdagangan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 75/M-DAG/PER/10/2014 yang melarang impor, perdagangan dan penggunaan merkuri di sektor pertambangan, Indonesia malah menjadi salah satu produsen dan eksportir merkuri terbesar di dunia.
Dengan jumlah 570 hingga 1.360 ton merkuri diekspor setiap tahun dan nilai perdagangan USD 5,2 juta hingga USD 8,3 juta ditambah perdagangan merkuri dalam negeri lebih dari 1.000 ton per tahun dengan nilai transaksi lebih dari USD 10 juta (sekitar Rp. 133 Milyar), ada risiko dan potensi pencemaran merkuri yang cukup besar. Sekali merkuri keluar dari botol dan dilepas ke lingkungan, sulit sekali menangkapnya kembali (BaliFokus, 2017).
ADVERTISEMENT
Tim dari Kumparan juga melakukan liputan khusus mengenai operasi tambang emas ilegal di Pulau Buru (20/3). Pada pemberitaan tersebut dijelaskan bahwa merkuri bukan cuma mengancam Buru, tapi berbagai daerah di Indonesia. Merkuri diduga digunakan di 850 lokasi tambang emas rakyat. Akibatnya 250 ribu penambang, keluarga penambang, dan masyarakat sekitar daerah pertambangan menjadi populasi yang terancam.
Minamata, Tambang Emas, dan Bahaya Merkuri (13)
zoom-in-whitePerbesar
Penambang emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru. Foto: Aditia Noviansyah, Kumparan
Seperti halnya di negara-negara lain, sebagian besar operasi Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) adalah ilegal dan mendapatkan sokongan dari oknum pejabat, polisi, militer, politisi dan pemodal kuat yang tersembunyi. Barangkali apa yang dikatakan oleh sastrawan besar Amerika, Mark Twain benar adanya. A gold mine is a hole in the ground with a liar on top.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali petugas kepolisian di Aceh, Palu, Lombok, Pongkor, Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, dan lokasi-lokasi PESK lainnya, melakukan aktivitas pemeriksaan secara serius, pembersihan lahan PESK, dan penyitaan merkuri dan emas dari penambang, namun tidak ditindaklanjuti sampai ke tahap pengadilan. Beberapa penambang dan pedagang emas di Aceh dan Bombana ditahan di kantor polisi selama tiga hari. Entah bagaimana mereka lalu dilepaskan setelah membayar denda sejumlah kurang lebih 1,5 juta rupiah untuk menebus barang-barang yang disita (BaliFokus, 2017).
Sebetulnya sejak 20 Februari 2009, United Nations Environment Programme (UNEP) telah menghasilkan keputusan untuk memulai langkah internasional mengelola merkuri secara efektif, efisien, dan koheren. Intergovernmental Negotiating Committee (INC) didirikan dan dipimpin oleh Fernando Lugris dari Uruguay dan didukung oleh Cabang Kimia dan Divisi Teknologi, Industri, dan Ekonomi UNEP.
ADVERTISEMENT
INC telah mendirikan lima pertemuan untuk mendiskusikan dan menegosiasikan persetujuan global mengenai merkuri. Lalu pada tanggal 19 Januari 2013, setelah melakukan perundingan larut malam, pertemuan akhirnya diakhiri dengan hampir 140 pemerintah menyetujui naskah konvensi tersebut.
Konvensi Minamasa kemudian diadopsi dan ditandatangani pada tanggal 10 Oktober 2013 pada sebuah Konferensi Diplomatik di Kumamoto, Jepang. Uni Eropa dan 86 negara menandatangani konvensi pada hari pertama dan 5 negara menandatangani konvensi pada hari selanjutnya, 11 Oktober 2013. Secara keseluruhan, Konvensi Minamata ditandatangani oleh 128 perwakilan dari berbagai belahan dunia dan telah diratifikasi oleh 74 negara.
Walau Indonesia merupakan pihak yang ikut menandatangani perjanjian ini, namun pemerintah masih belum mengeluarkan produk hukum untuk meratifikasi Konvensi Minamata. Senior Advisor BaliFokus, Yuyun Ismawati mengatakan bahwa ratifikasi penting dilakukan segera, mengingat permasalahan merkuri di lapangan semakin berkembang (Walhi, 16/8).
ADVERTISEMENT
Ratifikasi Konvensi Minamata diharapkan mampu menjadi batu pijakan dalam upaya mengurangi peredaran limbah merkuri. Sinkronisasi peraturan operasional di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota juga diperlukan untuk mencegah kemungkinan terulangnya tragedi ini di masa depan.
Kasus Minamata; baik pencemaran ekosistem, dampak kesehatan, maupun pengrusakan alam yang menyertainya, memiliki efek yang sangat mengguncang. Minamata adalah contoh dari malapetaka lingkungan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.
Minamata memberikan kita pelajaran yang berharga akan perlunya seluruh pihak untuk turut ambil bagian dalam usaha menjaga kelestarian dan mencegah kerusakan lingkungan. Akibat merkuri, para korban Minamata Disease tidak hanya menderita cacat fisik, namun juga mengalami kerugian secara ekonomi dan politis.
Minamata merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang tidak cukup hanya untuk dikenang. Ribuan orang telah menjadi korban akibat kesalahan perusahaan yang bertindak semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomis, tanpa menakar dampak lingkungan yang mungkin timbul dari kegiatan operasional mereka di lapangan. Minamata adalah potret buram sejarah, bukti yang sempurna dari kecerobohan, keserakahan, dan kejahatan korporasi.
ADVERTISEMENT
Semoga saja para pemangku kebijakan mampu meratifikasi Konvensi Minamata dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.