Konten dari Pengguna

Legally Binding Instrument Pada Penegakan HAM & Aktivitas Bisnis di Indonesia

Muhamad Aryanang Isal
Program Officer and Business and Human Rights Indonesia for Global Justice/Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum (Magister Ilmu Hukum Masyarakat dan Pembangunan) Universitas Indonesia
14 Oktober 2024 16:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Aryanang Isal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui bahwa subjek hukum terbagi atas 2 (dua) meliputi Orang dan Badan Hukum. Subjek hukum menurut Utrecht adalah pendukung hak, yaitu manusia atau badan yang menurut hukum mempunyai kekuatan untuk menjadi pendukung hak . Subjek hukum dapat berperan dalam Pembangunan suatu negara hingga dapat menciptakan stabilitas ekonomi, sosial, hingga terbentuknya hukum. Manusia dan Badan Hukum sebagai subjek hukum telah diberikan hak dan kewajiban dalam bertindak sehingga bilamana terjadinya suatu permasalahan hukum maka harus mempertanggungjawabkan menurut hukum yang berlaku. Beberapa negara di dunia, pembebanan hak dan kewajiban pada korporasi memiliki kesamaan dengan manusia. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru sudah mengatur bahwa korporasi memiliki tanggungjawab hukum khususnya pidana. Faktor yang mempertimbangkan Korporasi diberikan tanggungjawab pidana adalah sudah terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah merugikan Masyarakat setempat akibat eksploitasi hingga perusakan lingkungan. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi berupa tindak pidana formil yaitu pemidanaan pelanggaran baku mutu, air limbah, emisi, dan gangguan. Namun, tindakan korporasi masih saja menimbulkan kerugian lingkungan hingga terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Secara tidak langsung memberikan,pertanggungjawaban kepada korporasi akibat adanya pelanggaran ham.
ADVERTISEMENT
FENOMENA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM AKTIVITAS BISNIS
Kegiatan usaha pada tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai keuntungan yang tinggi dan memberikan dampak Pembangunan ekonomi bagi suatu negara. Disatu sisi, kegiatan usaha tidak selalu memberikan dampak keuntungan ekonomi berupa lapangan kerja bagi Masyarakat serta meningkatkan kualitas Pembangunan di suatu tempat. Melainkan, aktivitas bisnis dapat memberikan dampak negatif berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan hingga menimbulkan kerugian HAM Masyarakat. Korporasi menduduki ranking ke-2 yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM, meskipun ada fluktuasi jumlah selama tiga tahun terakhir . Data memperlihatkan bahwa sepanjang 2019 sampai dengan September 2021, Komnas HAM RI telah menerima 1.366 pengaduan terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi . Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah, mengatakan setidaknya terdapat 6 analisis fakta hasil kajian pihaknya . Salah satu hasil fakta kajian dari Komnas Ham “menunjukkan ada konstruksi kejahatan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan keselamatan Masyarakat hanya untuk keuntungan bisnis. Sifat seorang pengusaha yang tidak mementingkan keselamatan Masyarakat secara tidak langsung merupakan perbuatan melawan hukum terhadap publik. Jika merujuk Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi Masyarakat merupakan suatu hal penting dalam keberlangsungan hidupnya. Penegakan hukum terhadap pelanggaran korporasi di Indonesia masih mengalami kompleksitas yang dialami oleh aparat penegak hukum. Dimana pengaturan korporasi di luar KUHP ada beberapa yang telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum . Tetapi pengaturannya masih cenderung ragu-ragu, karena pengakuan undang-undang tersebut terhadap korporasi sebagai subyek hukum masih menafikan pertanggungjawaban korporasi dalam penegakan hukumnya . Salah satu penyebab masih berlangsungnya pelanggaran ham oleh korporasi tidak mampunya hukum memberikan kepastian dalam penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
LEGALLY BINDING INSTRUMENT DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Konsep Legally Binding Instrument (LBI) atau disebut kerangka hukum mengikat yang sedang dirancang oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) bertujuan sebagai pedoman aktivitas korporasi dan badan usaha lainnya yang mengutamakan perlindungan hak asasi manusia. Proposal mengenai kerangka hukum mengikat dalam hukum HAM Internasional tentang bisnis dan HAM didorong oleh pemikiran dari sejumlah besar negara berkembang dan kelompok Masyarakat sipil Internasional yang mempertanyakan efektivitas UNGP dalam menyelesaikan pelanggaran HAM oleh korporasi multinasional . Sebelumnya UNGP atau disebutkan prinsip-prinsip panduan persatuan bangsa-bangsa adalah serangkaian 31 prinsip yang ditujukan kepada pemerintah dan bisnis yang mengklarifikasi tugas dan tanggung jawab mereka dalam konteks operasi bisnis . Salah satu prinsip yang terdapat pada UNGP sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
• Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap orang dalam yurisdiksinya dari dampak lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh praktik bisnis;
• Bisnis mempunyai tanggung jawab untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial di mana pun mereka beroperasi dan apa pun ukuran atau industrinya, dan mengatasi dampak apa pun yang terjadi
• Ketika dampak lingkungan dan/atau sosial terjadi, baik pemerintah maupun bisnis memiliki tugas/tanggung jawab untuk mendukung korban agar dapat mengakses penyelesaian yang efektif melalui mekanisme pengaduan yudisial dan non-yudisial.
Dalam pengaturan LBI yang sedang dirancang oleh PBB mengatur mengenai hak-hak korban, perlindungan korban, pencegahan, tanggung jawab hukum, penandatanganan, ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan sebagainya. Pengaturan dalam LBI ini menekankan adanya “kewajiban utama untuk menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi manusia dan kebebasan mendasar terletak pada Negara, dan bahwa Negara harus melindungi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, di dalam wilayah, yurisdiksi, atau di bawah kendali mereka, dan memastikan penghormatan dan penerapan hukum hak asasi manusia internasional”. Pedoman ini memberikan pedoman kepada pemerintah untuk mengawasi atau melindungi terhadap pelanggaran ham yang dilakukan oleh perusahaan bisnis. LBI ini mendorong semua badan usaha mempunyai kapasitas sebagai pencipta lapangan pekerjaan yang menghormati ham para pekerjanya,keselamatan, dan lingkungan hukum. LBI ini memberikan keleluasaan bagi korban untuk dapat melakukan pengaduan akibat pelanggaran ham tanpa harus memandang kewarganegaraan atau tempat domisili. Ketentuan itu diatur pada Pasal 9.1 LBI yaitu “Yuridiksi sehubungan dengan tuntutan yang diajukan oleh para korban, tanpa memandang kewarganegaraan atau tempat domisili mereka, yang timbul dari tindakan atau kelalaian yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang tercakup dalam (Instrumen yang Mengikat Secara Hukum) ini, akan berada pada pengadilan Negara di mana:
ADVERTISEMENT
• terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan/atau menimbulkan dampak; atau
• suatu tindakan atau kelalaian yang berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;
• badan hukum atau perorangan yang diduga melakukan tindakan atau kelalaian yang menyebabkan atau berkontribusi terhadap pelanggaran hak asasi manusia tersebut dalam konteks kegiatan bisnis, termasuk yang bersifat transnasional, berdomisili; atau
• korban berkewarganegaraan atau berdomisili.
Tujuan dari LBI ini sebagai pencegahan dari adanya potensi pelanggaran ham di suatu negara dengan mengambil Langkah-langkah hukum untuk memastikan perusahaan-perusahaan bisnis yang bergerak disektor manapu tetap menghormati HAM yang diakui oleh internasional beserta memitigasi pelanggaran HAM dalam aktivitas bisnis tersebut.
UPAYA PENGESAHAN LEGALLY BINDING INSTRUMENT DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA PADA AKTIVTAS BISNIS DI INDONESIA
ADVERTISEMENT
Legally Binding Instrument akan memberikan dampak positif dalam penegakan HAM dalam aktivitas bisnis di Indonesia. Pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang mendukung penuh terhadap penegakan HAM yang telah dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Sejatinya, pemerintah Indonesia ikut mendukung pengesahan Legally Binding Instrument sebagai pedoman penegakan HAM dan aktivitas bisnis. Keberadaan Legally Binding Instrument tentu memberikan efek jera bagi korporasi yang tidak mengutamakan keselamatan dan dampak kerugian dari aktivitas bisnis. Keuntungan Pemerintah Indonesia dalam pengesahan Legally Binding Instrument ini adalah korporasi mempunyai tanggung jawab untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial di mana pun mereka beroperasi dan apa pun ukuran atau industrinya, dan mengatasi dampak apa pun yang terjadi. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap korporasi tidak hanya dilakukan secara ultimatum remedium yang sebagaimana diatur dalam KUHP Indonesia melainkan, dapat dilakukan secara pencegahan melalui adanya tugas dan tanggung jawab mereka dalam konteks operasi bisnis tersebut.
ADVERTISEMENT
Anang Isal
Program Officer and Researcher Indonesia for Global Justice
Magister Hukum Universitas Indonesia 2023