Strategi Mitigasi Konflik Manusia dan Satwa di Papua

Mar'ah Nur Mutmainnah
Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Manajemen angkatan 2023
Konten dari Pengguna
30 Juni 2024 11:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mar'ah Nur Mutmainnah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Canva, foto: Mar'ah Nur Mutmainnah
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Canva, foto: Mar'ah Nur Mutmainnah
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Papua, surga keanekaragaman hayati Indonesia, kini menghadapi dilema pelik. Di satu sisi, pembangunan terus bergulir demi kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, habitat satwa liar kian terdesak, memicu konflik yang merugikan manusia dan hewan. Situasi ini menuntut strategi mitigasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga menghormati keunikan ekosistem dan budaya Papua
ADVERTISEMENT

Akar Masalah yang Kompleks

Konflik manusia-satwa di Papua bukan sekadar persoalan ekologi. Ia adalah cermin dari tarik-menarik kepentingan pembangunan dan konservasi. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman telah mempersempit ruang gerak satwa endemik seperti burung cenderawasih, kanguru pohon, dan kasuari. Akibatnya, hewan-hewan ini terpaksa memasuki wilayah manusia, memicu serangkaian konflik.
Di Kabupaten Merauke, misalnya, petani kerap mengeluhkan serangan babi hutan yang merusak tanaman mereka. Sementara di pesisir utara Papua, nelayan harus waspada terhadap ancaman buaya yang kadang menyerang perahu mereka. Bahkan di kawasan pegunungan, penduduk tak jarang berhadapan dengan beruang madu yang mencari makan di kebun-kebun warga.

Dampak Multidimensi

Konflik ini bukan tanpa konsekuensi. Secara ekonomi, petani menderita kerugian akibat gagal panen. Dari sisi ekologi, populasi satwa terancam akibat perburuan balas dendam. Lebih jauh, ketegangan antara masyarakat dan pihak konservasi kian memanas, mengancam harmoni sosial yang sudah terjalin lama.
ADVERTISEMENT
"Kami paham pentingnya menjaga alam, tapi kami juga perlu makan," ujar Markus Wenda, seorang petani di Distrik Nimboran, Jayapura. Pernyataan ini mewakili dilema yang dihadapi banyak warga Papua.

Strategi Mitigasi: Memadukan Kearifan Lokal dan Teknologi Modern

Menghadapi kompleksitas ini, pendekatan mitigasi konflik manusia-satwa di Papua harus bersifat holistik dan kontekstual. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Pemetaan Zona Konflik Berbasis Kearifan Lokal
Selain menggunakan teknologi GIS, pemetaan zona konflik juga harus melibatkan pengetahuan tradisional masyarakat adat. Pemahaman mendalam tentang pola migrasi satwa yang diwariskan turun-temurun dapat memperkaya data ilmiah yang ada.
2. Koridor Satwa Ramah Budaya
Pembangunan koridor satwa perlu mempertimbangkan aspek budaya setempat. Misalnya, dengan mengintegrasikan simbol-simbol adat dalam desain jembatan hijau atau menggunakan nama-nama lokal dalam penandaan koridor.
ADVERTISEMENT
3. Sistem Peringatan Dini Berbasis Komunitas
Selain mengandalkan teknologi, sistem peringatan dini juga dapat memanfaatkan jaringan komunikasi tradisional seperti kentongan atau pesan berantai melalui kepala suku.
4. Pemberdayaan Masyarakat Adat sebagai Garda Depan Konservasi
Program peningkatan kapasitas harus menghargai peran sentral masyarakat adat dalam konservasi. Pelatihan dapat dilakukan dengan metode "belajar-sambil-berbuat" yang sesuai dengan budaya setempat.
5. Inovasi Teknologi yang Terjangkau dan Mudah Diaplikasikan
Pengembangan teknologi pencegahan konflik harus mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial-ekonomi Papua. Misalnya, pagar listrik tenaga surya yang mudah dipasang di daerah terpencil atau aplikasi peringatan satwa yang dapat diakses melalui SMS untuk daerah dengan sinyal terbatas.
6. Skema Kompensasi Berbasis Komunitas
Sistem kompensasi kerugian akibat konflik satwa dapat diintegrasikan dengan sistem ekonomi komunal yang sudah ada di masyarakat adat Papua.
ADVERTISEMENT
7. Penegakan Hukum yang Menghormati Hukum Adat
Upaya pemberantasan perburuan ilegal harus dilakukan dengan mempertimbangkan hak-hak tradisional masyarakat adat atas sumber daya alam di wilayah mereka.
8. Riset Kolaboratif Ilmuwan dan Masyarakat Lokal
Program penelitian dan monitoring satwa liar harus melibatkan masyarakat lokal tidak hanya sebagai informan, tetapi juga sebagai mitra peneliti yang setara.
9. Revitalisasi Praktik Konservasi Tradisional
Menghidupkan kembali ritual-ritual adat dan tabu-tabu terkait interaksi dengan satwa liar dapat menjadi strategi efektif dalam mitigasi konflik.
10. Forum Multipihak yang Inklusif
Pembentukan forum multipihak harus memastikan representasi yang adil dari semua kelompok masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok marginal.

Implementasi di Lapangan: Tantangan dan Harapan

Penerapan strategi-strategi ini tentu bukan tanpa tantangan. Keterbatasan infrastruktur, kendala bahasa, dan keragaman budaya antar suku di Papua menuntut pendekatan yang fleksibel dan adaptif.
ADVERTISEMENT
"Kunci keberhasilan ada pada keterlibatan penuh masyarakat adat," tegas Dr. Maria Latumahina, peneliti senior di Universitas Cenderawasih. "Mereka bukan objek, melainkan subjek utama dalam upaya mitigasi konflik ini."
Meski demikian, beberapa inisiatif awal telah menunjukkan hasil positif. Di Taman Nasional Wasur, Merauke, kolaborasi antara petugas taman nasional dan masyarakat adat Kanum dalam patroli bersama telah berhasil mengurangi insiden konflik sebesar 30% dalam dua tahun terakhir.
Sementara di Kabupaten Tambrauw, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat telah membuka alternatif ekonomi bagi warga, mengurangi ketergantungan pada perburuan dan pertanian ekstensif yang sering memicu konflik dengan satwa.

Langkah ke Depan: Komitmen Bersama untuk Papua yang Lestari

Mitigasi konflik manusia-satwa di Papua bukan perkara semalam. Ia membutuhkan komitmen jangka panjang dan kerjasama erat dari semua pihak. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengalokasikan anggaran yang memadai dan menciptakan kebijakan yang mendukung. Sektor swasta dapat berkontribusi melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan yang berfokus pada konservasi. Sementara masyarakat sipil dan komunitas internasional dapat memberikan dukungan teknis dan advokasi.
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah penting, narasi tentang konflik manusia-satwa di Papua perlu diubah. Ini bukan sekadar masalah "manusia melawan alam", tetapi tentang bagaimana membangun kembali hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya.
Dengan pendekatan yang tepat, Papua bisa menjadi model bagaimana pembangunan ekonomi dapat berjalan selaras dengan pelestarian alam dan budaya. Ini bukan hanya demi satwa liar atau masyarakat lokal semata, tetapi juga demi masa depan Papua dan Indonesia yang lebih berkelanjutan.