Apakah Korupsi Penyakit Keturunan?

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
28 April 2020 13:48 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Kang Marakara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Kang Marakara
ADVERTISEMENT
Puasa hari pertama saya agak uring-uringan. Bukan karena rasa lapar yang menyerang, bukan pula karena puasa ramadhan tahun ini mesti di lakukan di tengah wabah corona. Bukan.
ADVERTISEMENT
Rasa dongkol hampir mendekati marah itu terjadi karena anak lelaki saya menilap uang takjil untuk berbuka puasa. Pesannya jelas, beli martabak manis tiga porsi, di beri uang lebih mana tahu harganya naik. Biasanya setiap ramadhan tiba, harga semua ikut naik. Tak terkecuali panganan takjil untuk berbuka puasa.
Martabak terbeli tiga porsi, tapi harga naik Rp 2.000 seporsinya. Wajar menurut saya, namanya setahun sekali. Lagi pula bahan baku untuk membuat martabak semacam tepung, gula, telur dan lainya mungkin juga sudah naik duluan.
Tapi kok adik ipar membeli martabak manis dengan harga yang biasa, belum naik harganya. Penjualnya sama, merknya serupa, bahkan jam membelinya hanya selisih sekitar sepuluh menit. Pasti ada yang tidak beres.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, ternyata anak lelaki saya menilap uang Rp 6.000 dari pembelian tiga porsi martabak manis. Alasanya untuk membeli jajan nanti malam sehabis salat tarawih di masjid. Ini juga hal yang wajar, namanya anak-anak.
Yang bikin uring-uringan itu karena anak lelaki saya telah berbohong kepada orang tua, bukan jumlah nominalnya yang menjadi persoalan, tapi sikap tidak mau berterus terang bahkan cenderung menipu itu yang tidak bisa di terima nalar. Bilang terus terang kepada orang tua, pasti akan saya lebihkan uang jajannya bila ada keperluan lain. Biasanya begitu selama ini.
Tapi yang bikin pikiran ini tambah ruwet bahkan hampir mumet, istri saya malah ngomong “Sudahlah pak, enggak usah marah-marah. Ini kan bulan puasa. Anak itu menuruni kelakuan orang tuanya.”
ADVERTISEMENT
Bah! Apa enggak makin puyeng ini isi kepala. Sampai waktu berbuka tiba, hingga salat tarawih, bahkan setelah makan sahur di pagi hari, ucapan istri itu tetap terngiang-ngiang di pikiran. Benarkah saya sendiri yang mengajarkan korupsi kepada anak? kapan? Di mana? Dan ribuan pertanyaan yang semakin tidak jelas ke mana harus di cari jawabannya.
Mungkin secara tidak sadar, saya sering mengajarkan sikap korupsi itu lewat hal-hal yang tampak sepele. Bisa jadi ketika saya mengantongi kembalian uang membeli bensin, kemudian uang itu dibelikan permen atau es krim untuk anak lelaki saya dengan pesan, “Jangan bilang ke ibu, nanti bapak di omeli."
Atau ketika anak mengambil uang recehan di tempat bumbu untuk membeli cilok yang datang di sore hari, tapi ketika istri mencari-cari uang recehan itu untuk kerokan, saya dengan enteng berkata kalau uang itu sudah saya sumbangkan ke masjid jumatan tadi. Sambil mata saya berkedip memberi kode kemenangan kepada anak. Agak mengasyikan memang.
ADVERTISEMENT
Saya jadi teringat tentang upaya pemberantasan korupsi yang gencar di negeri ini. Segala upaya telah di coba, segala strategi telah di terapkan. Tapi hasilnya malah pelaku korupsi semakin menjamur dan beranak-pinak. Jangan-jangan kegagalan ini karena para orang tua mengajarkan perilaku korupsi kepada anak-anaknya. Tidak secara langsung dan sadar, tapi memori anak merekam dengan baik. Dan hasilnya fatal.
Mungkin para politisi muda meniru cara politisi tua mengumpulkan pundi-pundi rupiahnya. Bisa jadi pegawai level rendah mencontoh para pimpinan dan bos menumpuk kekayaan, atau para penyelanggara negara yang masih kroco mencontek habis pat-gulipat yang terang-terangan dilakukan para pembesar.
Yang namanya orang tua bukan harus orang tua kandung. Pimpinan juga orang tua bagi bawahannya, para senior politikus juga orang tua bagi para politikus culun yang masih mencari jalan menapaki tangga karier. Jangan-jangan sesungguhnya kita semua para orang tua yang sebenarnya kurang bersungguh-sungguh menyingkirkan praktik korupsi. Sudah kadung ketagihan nikmatnya mengemplang uang rakyat, jadi lupa bagaimana cara mengakhirinya.
ADVERTISEMENT
Mungkin yang tua-tua dulu yang harus dibereskan oleh KPK, agar generasi mudanya tidak punya contoh dan teladan melakukan korupsi berkepanjangan. Entah benar atau salah, tapi saya malu telah menjadi guru korupsi bagi anak-anak saya sendiri.
Salam.