Cerpen: Emak Menanam Cahaya

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
2 Februari 2020 6:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi.sumber : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi.sumber : pixabay.com
ADVERTISEMENT
Saswi ingat, setiap kali Emak hendak pergi bekerja pasti mencium kening Saswi dengan penuh kasih sayang, kemudian mengucapkan sebuah pesan dengan kelembutan seorang ibu yang selalu terngiang.
ADVERTISEMENT
“Saswi harus jadi anak yang baik, jujur, dan selalu rendah hati.”
Begitu selalu terulang setiap kali emak hendak berangkat kerja. Seakan-akan kata perpisahan yang hendak diwariskan dari seorang ibu kepada keturunanya.
Memang apalagi yang bisa diwariskan oleh seorang ibu miskin kepada anaknya, jangankan segenggam emas permata, untuk sekadar bertahan hidup saja emak harus banting tulang mulai terbit fajar sampai matahari tenggelam. Gubuk reot tanpa perabotanpun milik orang, sekadar menumpang berteduh dari sengatan panas dan guyuran hujan.
Saswi kecil ketika itu mana paham dengan dengan segala macam kepahitan hidup. Emak berangkat kerja, Saswi harus bermain sendirian di sekitar rumah. Menjadikan si meong teman berceloteh dalam diam, atau menjadikan sebatang kayu sebagai robot hidup walau hanya dalam hayalan.
ADVERTISEMENT
Tapi Saswi kecil mencatat semua hal tentang Emak. Kebaikanya, ketulusanya, kelembutanya, kegigihanya,tentang kasih sayang Emak yang seperti mata air yang tiada pernah kering. Alam bawah sadar Saswi kecil terus mencatat, merekam, menjadikanya sebuah sumber cahaya.
Waktu terus berlalu, Saswi kecil juga tumbuh menjadi Saswi remaja. Seperti Emak yang terus bergelut dengan kerasnya kehidupan, menjadikan siang dan terang sebagai ladang berjuang demi Saswi yang terus tumbuh.
Dan kata-kata itu terus diucapkan emak setiap kali hendak berangkat kerja. Tidak di tanggal merah, tidak juga di hari Minggu. Bagi emak, bekerja dan mengucapkan pesan setiap kali hendak berangkat adalah sebuah rutinitas yang seperti tiada henti. Selama matahari masih bersinar, Emak pasti akan terus begitu, dan tetap akan begitu.
ADVERTISEMENT
Saswi remaja bukan lagi mencatat semua itu di dalam alam bawah sadarnya, Saswi kini mulai mencoba menenun cahaya itu menjadi sehelai baju kepribadian. Saswi remaja senantiasa menjadi pribadi yang baik. Kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan di mana ia berdiri dan berpijak.
Saswi mulai mengikuti jejak Emak. Bekerja setiap kali matahari menyapa bumi, tapi tetap belajar dengan tekun tatkala waktu luang menghampiri. Saswi tidak mau kepahitan Emak terulang kepada dirinya, cukup Emak saja yang mengarungi nasip kehidupan dengan kepahitan.
“Saswi harus jadi anak yang baik, jujur, dan rendah hati.”
Mungkin sudah jutaan kali kata-kata itu menemani tidur dan jaga Saswi, menyelinap di setiap mimpi yang hadir setiap kali tidur malam, atau memenuhi lamunan yang kadang berjarak tipis antara bayangan dan kenyataan. Saswi belum pernah bosan mengulang dan terus mengulang ingatan tentang Emak dan kata-kata itu.
ADVERTISEMENT
Saswi remaja berangsur mulai ditinggalkan, berganti sosok menjadi Saswi dewasa. Gelar sarjana sebentar lagi direngkuhnya. Bermodal kebaikan, kejujuran, dan kerendahan hati. Saswi dewasa berjuang keras mewujudkan cahaya nasihat Emak, bekerja dan belajar. Kuliah di rantau orang bermodal nasihat Emak dan tauladan seorang Emak yang selalu bekerja keras. Saswi sejengkal lagi akan menjadikan nyata setiap tetes keringat dan derai air mata seorang wanita yang belum mau menua walau fisik dan tubuhnya nyata-nyata telah renta.
Emak terpaksa ditinggalkan sendirian di gubuk reot itu. Tapi tidak dengan nasihatnya, tidak juga untuk kasih sayang dan pengorbananya. Di setiap tarikan napas Saswi, ada nama Emak yang ikut memenuhi ruang jiwa dan alam kesadaranya. Di setiap aliran darah yang terpompa melalui urat nadi dan pembuluh darah, nasihat emak menjadi penguat seluruh tekat dan semangat. Saswi harus berhasil menjadi seorang manusia yang berguna.
ADVERTISEMENT
Dan hari itu akhirnya tiba. Di iringi panas terik yang memanggang bumi, seakan ucapan selamat datang dari sang penguasa siang. Saswi datang dengan menggendong Emaknya, berjalan cepat melintasi berpasang-pasang mata yang entah apa yang ada dalam pikiran meraka.
Saswi lelah? Tidak. Saswi terpaksa? Hatinya tengah berbunga. Saswi malu? Mengapa harus malu. Saswi tengah menggendong cahaya, Saswi sedang mengenakan pakaian cahaya, Saswi tengah melangkah di permadani megah terbuat dari cahaya. Saswi merasakanya, alam turut tersenyum bangga karenanya.
Seketika aula tempat acara wisuda dipenuhi cahaya, begitu kaki Saswi menyentuh lantainya. Siapa yang menjadi sumber cahaya? Emak yang sederhana, Emak yang seorang wanita biasa, Emak yang pekerja keras menanam cahaya. Dan kini cahaya itu telah menemukan takdirnya, Saswi mampu mewujudkan cahaya itu menjadi bahagia. Emak sangat bahagia.
ADVERTISEMENT
Selesai