Cerpen : Tetanggaku Pengedar Narkoba

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
2 Mei 2020 4:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ilustrasi : pixabay.com
Namanya mas Roy. Lelaki berkulit putih bersih yang selalu berpenampilan rapi lagi trendy. Pokoknya semua yang di idamkan seorang lelaki, ada padanya. Ganteng, pintar, duit banyak, istri cantik, kerjanya hanya mondar-mandir tanpa keluar keringat, pergaulanya luas lagi banyak teman. Itu gambaran sekilas tetanggaku yang sering kali membuat iri para kaum suami di komplek perumahan yang aku diami.
ADVERTISEMENT
Pagi hari di saat kami-kami para pekerja kantoran dan karyawan sibuk berkemas mempersiapkan segala hal agar bisa tepat waktu sampai ke tempat kerja, mas Roy biasanya lagi asyik duduk di teras rumah sambil membaca majalah. Di meja sudah tersedia segelas kopi panas mengepulkan aroma menggoda bagi siapa saja.
“Beginilah jadi seorang wiraswasta. Kerja sendiri, untung sendiri, tapi bila rugi juga di hadapi sendiri.” Begitu suatu kali ketika aku dan mas Roy berkesempatan ngobrol di minggu sore.
Tapi sepengamatanku selama hampir 3 tahun bertetangga denganya, tidak pernah tampak mas Roy mengalami kesulitan finansial seperti kebanyakan cerita kenalanku yang berprofesi sebagai seorang wiraswasta. Buktinya setiap kali pergi liburan, kalau enggak ke Singapura minimal pasti ke Bali atau Raja Ampat. Lagian bila ada tetangga pinjam duit, mas Roy ini termasuk orang yang murah hati. 10-20 juta sudah seperti kacang goreng. “hitung-hitung beramal, Kang.” Katanya.
ADVERTISEMENT
Wiraswasta tapi enggak pernah pusing tentang kerugian, pengusaha tapi tetap tenang di saat teman-teman pengusaha lain kelimpungan menghadapi kelesuan ekomomi yang seperti tidak bertepian.
“Sebenarnya mas Roy ini usaha di bidang apa sih?”
Pertanyaan itu akhirnya meluncur juga dari bibirku. Di samping penasaran dengan jurus jitu pemasaran model mas Roy, hal ini juga akibat dari desakan istri yang saban kali memasuki tanggal tua, ketika uang belanja menipis, istri biasanya menjadikan sosok mas Roy sebagai pembanding. Lelaki yang mampu mencukupi kebutuhan anak istri tanpa risau dengan tanggal tua.
“Usaha apa saja, Kang. Yang penting anak istri tidak kelaparan.” Begitu jawaban mas Roy yang membuat aku tambah bingung, tambah pusing. Memang ada pengusaha yang bergerak di bidang usaha apa saja? Wah pasti mas Roy ini sekelas pengusaha kelas atas yang punya usaha “apa saja.” Yang penting jadi duit.
ADVERTISEMENT
“Mau dong saya di ajari? Siapa tahu bisa mengikuti jejak mas Roy jadi orang sukses.”
“Kang Marakara serius mau hidup seperti saya?”
Waduh, jawaban dari mas Roy ini terus terang membuat anganku melambung terbang tinggi menyentuh bintang. Sudah terbayang di pikiran bila aku bisa sesukses mas Roy. Duit tinggal ambil, istri ngomel sudah bukan zamanya lagi, bermacet ria setiap berangkat dan pulang kerja sudah bukan makanan pokok lagi. Dan yang terpenting, bisa duduk santai sambil ngopi di pagi hari.
Tapi itulah mas Roy. Bila lagi di rumah, berhari-hari tidak kemana-mana. Tapi bila sudah pergi, kapan pulangnya tidak bisa di pastikan. Mungkin begitulah rasanya menjadi pengusaha kelas atas. Datang dan pergi sesuka hati. Makin iri aku bila mengingat diri sendiri, pergi pagi pulang malam. Bertahun-tahun dengan rutinitas seperti itu, tapi penghidupanku tidak beranjak juga ke derajat makmur. Lain dengan mas Roy.
ADVERTISEMENT
Sudah hampir seminggu tetanggaku itu tidak juga pulang kerumah, istri dan anaknya juga bebarapa hari yang lalu pamit hendak berkunjung kerumah orang tuanya. Ya begitulah orang berduit, di tinggal pergi suami seminggupun, duit di tabungan tak habis-habis. Coba kalau aku yang pergi seminggu, istriku di rumah sudah sibuk kesana-kemari mencari pinjaman uang belanja. Mau apalagi, lah ongkos pergi saja kadang ngutang kekantor.
Tapi semenjak kepergian mas Roy seminggu yang lalu, hampir setiap hari ada saja orang-orang asing yang seperti sengaja mengawasi rumah tetanggaku yang terbilang paling megah di komplek ini. Menilik wajah-wajah orang yang sepertinya sengaja hilir mudik di depan rumah mas Roy, mereka sepertinya sangat ingin tahu tentang keadaan rumah tetanggaku tersebut.
ADVERTISEMENT
“Wah, ini bisa bahaya Kang. Bisa-bisa mereka itu para penjahat yang sedang mengincar rumah mas Roy. “ pendapat yang masuk akal, setidaknya bila melihat kesuksesan yang di miliki mas Roy, pasti banyak penjahat yang mengincar kekayaanya.
Dan usul kebanyakan warga adalah agar kami para lelaki mengadakan siskamling di sekitar perumahan. Di samping untuk mengamankan lingkungan, tidak bisa di pungkiri bila tujuan utamanya adalah mengamankan rumah mas Roy selama beliau pergi. Maklumlah, sebahagian besar penghuni perumahan ini telah terutang budi dengan segala kebaikan hati mas Roy.
Dua minggu setelah kepergian mas Roy.
Rumah itu kosong, seperti kosongnya pikiran warga perumahan menduga-duga kemana gerangan mas Roy berada. Apakah sedang mengurus bisnisnya dengan mitra di luar negeri? Atau sedang berlibur sendirian sambil mencari trik jitu pemasaran yang terbukti ampuh ia terapkan.
ADVERTISEMENT
Banyak tetangga yang kelimpungan, apalagi yang terbiasa pinjam duit ketika tanggal tua mulai menjelang.istri-istri mulai uring-uringan, bisa saja mas Roy pergi karena para kaum lelaki iri dengan kesuksesanya. Bah! Pikiran darimana pula itu.
Sampai akhirnya....
Di hari ke 17 terhitung sejak mas Roy pergi, aku di bangunkan di saat pagi buta oleh suara riuh di depan rumah mas Roy. “pasti mas Roy sudah pulang” kata hatiku yang seperti mengetahui sesuatu sebelum mata kepala menyaksikan.
Mobil polisi terparkir di halaman, petugas reserse hilir mudik memeriksa setiap jengkal seisi rumah hingga tanah pekarangan. Apa yang terjadi?
Ternyata mas Roy gembong narkoba yang selama ini menjadi target operasi pihak berwajib, jaringan internasional. Pantas selama ini mas Roy seperti tidak pernah di landa krisis ekonomi, ternyata bukan strategi berdagangnya yang luar biasa, tapi barang yang di bisniskanya juga sangat luar biasa. Narkotika.
ADVERTISEMENT
Rumah itu sekarang kosong. Gedung megah yang di biarkan tidak terurus, rumput liar mulai bergentayangan memenuhi setiap sudut. Tapi pikiranku juga mulai kosong, mencoba merenung tentang semua yang terjadi.
“kemana kita mau mencari pinjaman untuk biaya kuliah anak kita, Kang?”
“Hus. Kamu mau makan duit haram hasil jualan narkoba?”
Istriku terdiam, aku terdiam. Bahkan mungkin semua penghuni perumahan ini semuanya terdiam, sambil menghitung berapa banyak uang hasil transaksi narkoba yang tanpa sengaja pernah kami nikmati.
Tamat