Istri Ketika Pandemi

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 6:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika sebuah negara rusuh, krisis ekonomi, atau dalam keadaan genting, sesungguhnya setiap keluarga yang menjadi bagian dari negara tersebut akan merasakan dampaknya yang luar biasa.
ilustrasi seorang istri. sumber: pixabay.com
Dan ketika sebuah keluarga mengalami kesulitan secara finansial, menghadapi gonjang-ganjing didera aneka persoalan, maka pihak pertama yang akan merasakan dampaknya adalah seorang istri—yang merasakan derita paling berat dari semua akibat kemelut rumah tangga, yang harus berjibaku dengan segala keterbatasan ikut mencari jalan keluar dari permasalahan.
ADVERTISEMENT
Ketika seorang perempuan telah menyandang gelar istri, sesungguhnya ia tengah menjelmakan diri menjadi sosok yang serba bisa, serba tangguh, serba mampu menjadi tokoh yang harus cerdas mengatasi segala masalah dalam rumah tangga.
Di masa pandemi COVID-19 yang berujung dengan semakin sulitnya kehidupan masyarakat, tidak terhitung lagi jumlah keluarga yang terkena dampaknya. Mulai dari kepala keluarga [suami] yang kehilangan mata pencaharian, pendapatan keluarga turun drastis yang semakin jomplang bila dibandingkan dengan harga barang kebutuhan pokok, belum lagi persoalan pendidikan anak yang bikin pusing banyak keluarga.
Nah di tengah-tengah segala kondisi yang serba sulit tersebut, banyak sosok istri kemudian terjun langsung mencari nafkah. Tidak mau hanya berpangku tangan melihat kesulitan, dengan keahlian seadanya, dengan segala keterbatasan sebagai perempuan dan istri, mereka melakukan kerja apa saja demi menyambung hidup kebutuhan keluarga.
ADVERTISEMENT
Kebetulan sejak pandemi menyerang negeri ini, saya berkesempatan melakukan perjalanan ke beberapa kota dan desa di beberapa provinsi. Saya menyaksikan betul bagaimana para istri tangguh tersebut bekerja mencari nafkah. Mulai dari bercocok tanam, mencari sayur untuk dijual, mencari lidi [dari pelepah pohon kelapa sawit, dibersihkan, kemudian dijemur, di jual dengan harga 2.300 rupiah per kilogram]. banyak pula dari mereka yang menjadi buruh harian lepas [BHL] dengan upah Rp 40.000-50.000, atau menjadi buruh cuci-setrika di keluarga orang berada. Dan banyak lagi jenis pekerjaan yang lainya.
Buruh gendong wanita di Pasar Beringharjo Foto: ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah
Seorang istri yang 24 jam sibuk mengurus anak, suami, dan keluarga, kini harus meluangkan waktunya ikut membantu mencari nafkah. Di tengah kekhawatiran tertular dan menularkan COVID-19, mereka menepikan sejenak ketakutan dan kepenatan demi keluarga.
ADVERTISEMENT
lewat artikel yang sederhana ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan kagum kepada para perempuan tangguh tersebut. Sungguh anda semua adalah salah satu pahlawan di tengah pandemi yang melanda. Dan ini adalah jawaban seorang perempuan ketika saya tanyakan bagaimana perasaannya ketika harus ikut berjuang mencari nafkah di zaman yang serba susah ini, "Yang penting halal, tak perlu risih tak perlu sungkan. Keluarga tetap nomor satu."
Salam hormat selalu.