Kematian

Darkim
menyukai sastra, peduli masalah sosial, politik, dan keadilan. menjadikan keluarga sebagai titik awal semangat kebajikan.
Konten dari Pengguna
30 Mei 2020 6:08 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Darkim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrasi : pixabay.com
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” ini adalah rumus dasar kehidupan. Dunia dan segala yang ada di dalamnya seakan di ciptakan dan di desain oleh tuhan sang pencipta kehidupan untuk menerima kelahiran, dan melepaskan kepergian atau kematian.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang abadi di dunia ini, semua mengikuti siklus kehidupan yang telah tercatat dan tersimpan di buku besar kehidupan. Mungkin itulah salah satu penyebab kita di zaman ini tidak berkesempatan hidup berdampingan dengan keluarga dinosaurus ataupun binatang purba lainya. Dunia di desain menyesuaikan dengan keadaan, dan keadaan kini mungkin tidak akan menemukan harmoni bila binatang-binatang pemangsa berukuran raksasa masih berkeliaran.
Dan semenjak zaman dahulu kala,[ bahkan sebelum zaman pra aksara] nenek moyang kita memandang kematian itu sebagai sesuatu yang misterius, sakral, sesuatu yang di luar jangkauan. Kematian di pandang sebagai salah satu jalan untuk menuju tangga kesempurnaan kehidupan.
Menyadari bahwa kematian adalah sesuatu yang di luar jangkauan kebanyakan manusia, para nenek moyang mengandalkan orang-orang yang di pandang suci, mumpuni, linuwih, untuk menjadi perantara antara dunia nyata yang fana dengan dunia arwah yang berdimensi berbeda.
ADVERTISEMENT
Seperti apa pun horor dan misteriusnya kematian, orang-orang zaman dahulu tetap menempatkan kematian itu sebagai sesuatu yang agung. Bisa kita lihat di berbagai daerah warisan peninggalan tradisi nenek moyang kita yang begitu mengagungkan ritual kematian seseorang. Lewat serangkaian acara yang khidmat dan sakral. Penghormatan terakhir terhadap kematian di persembahkan sebagai wujud duka cita dan penghargaan terhadap sebuah peristiwa.
Kematian di era modern
Seiring semakin berkembangnya pengetahuan dan peradaban manusia, ternyata ikut menggeser nilai-nilai luhur yang semenjak dahulu kala telah menjadi dasar-dasar sendi kehidupan. Atas nama kemajuan zaman, pemikiran manusia tentang kehidupan dan kematian juga mengalami perubahan nilai yang sangat luar biasa.
Kini kematian lebih dimaknai tidak lebih sebagai berhentinya denyut jantung, berhentinya denyut nadi, tidak bekerjanya otak besar, yang kesemuanya adalah sesuatu yang harus bisa di jelaskan secara ilmiah dan rasional.
ADVERTISEMENT
Orang-orang di era modern menganggap kematian itu sebagai akibat dari serangan penyakit, terkena virus, atau semakin menurunnya fungsi organ tubuh karena usia ataupun penuaan. Kematian secara perlahan mulai kehilangan dimensi spiritualnya, kematian mulai di pandang sebagai sesuatu yang biasa.
Lihat para pejabat yang di ambil sumpah dengan menyebut nama Tuhan yang maha esa ketika di lantik, tapi kemudian melakukan korupsi atau bertindak sewenang-wenang ketika telah menduduki kursi jabatan. Mereka meyakini bahwa kematian itu adalah pasti, tapi mengingkari bahwa kematian itu adalah awal kehidupan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama hidup di dunia.
Berapa banyak dari orang modern yang masih takut dengan kematian? Berapa banyak dari kita yang bersungguh-sungguh menyiapkan bekal amal soleh sebagai persiapan menuju kepastian yang pasti datang?
ADVERTISEMENT
Tidak perlu survey atau kajian ilmiah untuk menjawab semua pertanyaan itu. Cukuplah melihat kebejatan moral manusianya, mulai dari pemimpin sampai rakyat jelatah. Dari orang-orang tua hingga ke anak muda, dari yang berilmu agama sampai yang bodoh isi otaknya.
Kematian kini telah mengalami perubahan makna. Manusia modern lebih menyiapkan bekal keduniawian untuk menyambut datangnya mati. Harta yang berlimpah untuk warisan, nama besar dan jenjang reputasi internasional sebagai peninggalan. Semua di ukur dan dimaknai dengan bentuk materi.
Kematian adalah hal yang pasti, tapi kita sering menambahkan bumbu ilusi. Kita meyakini kematian itu pasti datang, tapi kita enggan mempersiapkan bekal menyambut kedatangan. Seolah-olah kita punya kemampuan untuk menghindar, atau mungkin kita merasa bukan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Salam.