Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Realita dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) – Meninjau Pro dan Kontra
20 Februari 2022 17:37 WIB
Tulisan dari Marcel Bonifacio Tirta Wijata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya ancaman perubahan iklim karena pelepasan emisi karbon yang berlebihan, banyak negara mencari alternatif energi bersih untuk menggantikan bahan bakar fosil. Pembangkit Listrik Tenaga Surya mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, menciptakan banyak pekerjaan baru, dan merupakan salah satu bentuk pembangkit energi yang paling terjangkau. Seiring dunia terus mendorong ke arah net zero emission, lebih banyak pembangkit listrik tenaga surya skala besar akan dibangun di Indonesia. Namun perlu dipertimbangkan waktu yang diperlukan untuk mengimbangi energi yang digunakan dan gas rumah kaca yang dipancarkan dalam produksi panel surya sangat bervariasi menurut teknologi dan geografi. Dengan semua panel yang muncul di atap dan area terbuka, apa yang terjadi ketika tiba saatnya untuk menggantinya? Dan apakah dampak lingkungan dari manufaktur panel surya lebih besar daripada manfaatnya?
ADVERTISEMENT
Masyarakat luas memiliki tanggapan bahwa pembangkit listrik tenaga surya lebih bersih dan lebih baik daripada pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil, tetapi apakah benar? Kita tidak melihat dampak dan biaya seperti apa yang dibutuhkan untuk membuat panel surya atau apa yang akan terjadi setelah panel surya out of commission. Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka terdapat pertanyaan terbuka bagi yang meragukan seberapa efektif panel surya dibandingkan dengan bagaimana industri saat ini menghasilkan sebagian besar energi.
Apabila melihat beberapa tahun terakhir, pemerintah, industri, dan masyarakat mendukung pengembangan energi terbarukan yang pesat di Indonesia. Pada tahun 2018, terdapat sekitar 500 pengguna. Sedangkan pada Maret 2021, total jumlah pelanggan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap tercatat sebanyak 3.472 rumah tangga dengan total kapasitas daya listrik yang dihasilkan mencapai 26,51 Mega-watt peak (MWp). Terdapat kenaikan sebesar 486% dalam kurun waktu tiga tahun. Pertumbuhan PLTS yang pesat tentunya memberikan keuntungan besar bagi perekonomian dan membantu menurunkan harga panel surya dan harga jual listrik. Dengan harga jual listrik yang semakin kompetitif, maka akan semakin menguntungkan bagi Indonesia untuk mengembangkan PLTS dan mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
ADVERTISEMENT
Senyawa Kimia dalam Proses Manufaktur Panel Surya: Apakah Berbahaya?
Sebagian besar panel yang digunakan dalam instalasi adalah panel berbasis silikon yang aman; namun, jika ingin memasang teknologi thin-film, ada potensi senyawa beracun yang terkandung, seperti cadmium telluride dan copper indium selenide yang mampu menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Bahan-bahan ini digunakan dalam proses manufaktur barang elektronik lainnya, seperti ponsel atau laptop. Beberapa panel surya juga dibuat dengan nitrogen trifluoride (NF3), gas yang diasosiasikan dengan pemanasan global.
Meskipun panel thin-film tidak umum digunakan untuk instalasi komersial, senyawa kimia yang digunakan tetap dianggap berbahaya, namun tidak demikian halnya saat panel surya ditempatkan di atap rumah. Kekhawatiran akan beracunnya ikut berperan selama proses pembuatan, proses pembuangan dan sampingan, dan pada akhir masa pakai panel. Dengan adanya potensi pencemaran, diharapkan pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan daur ulang dan menetapkan regulasi yang sesuai.
ADVERTISEMENT
Mengapa Penurunan Biaya Panel Surya Penting Ketika Membahas Kredibilitas PLTS Hijau?
Leveled Cost of Energy (LCOE) merupakan perhitungan standar yang digunakan untuk membandingkan biaya berbagai teknologi pembangkit listrik dengan memperhitungkan biaya pembangunan fasilitas, biaya pengadaan material dan pemeliharaannya, serta biaya pembongkaran dan pembuangan pada akhir masa pakainya.
Dari perspektif biaya melalui perhitungan LCOE, investasi PLTS sangat menguntungkan. Namun bagaimana dengan dampak lingkungannya? Untuk meninjau dari perspektif dampak lingkungan dapat dilakukan Life Cycle Assessment (LCA). Life Cycle Assessment (LCA) mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu produk atau proses dari produksi hingga pembuangan. LCA menyelidiki material dan input energi yang diperlukan untuk memproduksi dan menggunakan produk, emisi yang terkait dengan penggunaannya, dan dampak lingkungan dari pembuangan atau daur ulang.
ADVERTISEMENT
Dengan memperhitungkan jumlah CO2 yang dihasilkan selama proses manufaktur panel surya, panel surya menghasilkan, pada dasarnya, sekitar 31 – 81 gram CO2e/KWh. Sebagai perbandingan, tingkat emisi siklus hidup untuk gas alam adalah 272 – 907 gram CO2e/kWh dan batu bara antara 635 – 1632 gram CO2e/kWh. Besaran yang dihasilkan panel surya 20 kali lebih kecil dari keluaran karbon dari sumber listrik bertenaga batu bara.
Bagaimana dengan energi yang dibutuhkan untuk membuat panel? Stigma yang sering ditemukan dalam masyarakat umum adalah dibutuhkannya lebih banyak energi untuk memproduksi panel dibandingkan dengan jumlah energi yang diproduksi selama masa pakai panel surya, atau energy payback time (EPBT). Hal ini tergantung pada jenis panel dan daerah penempatannya, namun secara umum panel surya polycrystalline akan membayar sendiri dari segi energi dalam kurun 4 tahun. Dengan ekspektasi umur panel surya sekitar 30 tahun, maka sekitar 87%-97% dari produksi energi panel surya adalah merupakan energi bersih.
ADVERTISEMENT
Apabila kita mempertimbangkan keseluruhan aspek PLTS dari biaya hingga pembuatan dan pembuangan, tidak dapat disangkal mengembangkan PLTS merupakan solusi lebih baik dibandingkan mengembangkan pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil. Mempromosikan teknologi panel surya dengan biaya yang lebih rendah memberikan peluang lebih tinggi untuk mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan global sepanjang siklus hidupnya. Inovasi dalam pembuatan modul dapat menghasilkan penghematan yang signifikan baik dalam biaya modul maupun emisi selama pembuatan. EPBT dapat dikurangi seiring dengan pengurangan ketebalan wafer dan jumlah silikon yang terbuang dalam proses pembuatan. Namun, mengingat bahwa sebagian besar biaya PLTS disebabkan oleh pembangunan sistem terkoneksi, pengurangan biaya modul yang berkelanjutan akan berdampak kecil pada biaya listrik, kecuali inovasi baru memungkinkan penghematan dalam pemasangan, koneksi atau aplikasi. Dengan adanya dukungan nyata dari pemerintah dalam bentuk regulasi, diharapkan terjadinya penyebaran PLTS yang merata dimana seluruh masyarakat mampu mengakses energi bersih.
ADVERTISEMENT
Sumber:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20210726/44/1421956/pertumbuhan-sel-surya-di-indonesia-capai-486-persen-dalam-3-tahun
https://ebtke.esdm.go.id/post/2021/04/09/2838/forum.kehumasan.dewan.energi.nasional.menuju.bauran.energi.nasional.tahun.2025
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210308154418-4-228640/harga-listrik-plts-bisa-murah-ri-tiru-2-negara-ini
https://iesr.or.id/wp-content/uploads/2020/01/LCOE-Full-Report-ENG.pdf
https://news.energysage.com/solar-panels-toxic-environment/
https://www.nrel.gov/docs/fy04osti/35489.pdf
https://52.4.25.117/recycling-solar-panels/