Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Menumbuhkan Gairah Nasionalisme Bangsa melalui Olahraga
17 November 2020 13:09 WIB
Tulisan dari Marcelinus Rendika Putra Widodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada berbagai cara dalam menumbuhkan nasionalisme bangsa, di antaranya melalui penguatan ideologi, pengenalan budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Di samping itu, salah satu sarana yang bisa digunakan untuk menumbuhkan nasionalisme pada masyarakat adalah olahraga. Manfaat yang paling nampak dengan menekuni olahraga di bidang apa pun adalah besarnya peluang kita untuk dapat berkenalan dan menjalin relasi dengan sesama pegiat olahraga yang memiliki perbedaan latar belakang dengan kita. Hal ini dapat memicu timbulnya sikap toleransi dan tenggang rasa di antara masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Dan memang, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, olahraga telah terbukti menjadi salah satu sarana dalam menumbuhkan nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Salah satu bidang olahraga yang berperan dalam menumbuhkan nasionalisme bangsa Indonesia adalah sepak bola, olahraga favorit mayoritas masyarakat Indonesia. Berdasarkan pemaparan dari Rizal Andi Pratama, seorang penulis buku bertema sepak bola berjudul “Pardedetex Medan: Klub Legendaris di Medan 1968-1984”, jejak nasionalisme Indonesia di dunia sepak bola telah muncul sejak era kolonial Belanda dengan didirikannya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930. Dengan membawa semangat sumpah pemuda tahun 1928, PSSI sebagai organisasi sepak bola bagi kaum bumiputera sengaja dibentuk untuk dapat bersaing dengan dua organisasi sepak bola yang telah mapan, antara lain NIVB (Nederlandsche Indische Voetbol Bond) sebagai organisasi sepak bola bagi kaum Belanda dan Eropa, dan HNVB (Hwa Nan Voetbol Bond) sebagai organisasi sepak bola khusus kaum Tionghoa. Berdasarkan keterangan dari situs resmi PSSI, organisasi ini didirikan oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo, seorang insinyur sipil yang pernah bekerja di perusahaan bangunan Belanda bernama “Sizten en Lausada”. Karena semangatnya dalam membangun nasionalisme bangsa Indonesia, Ia mundur dari perusahaan tersebut dan bertekad menjadikan olahraga favoritnya, yakni sepak bola sebagai sarana untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia. Maka, Soeratin mengadakan pertemuan melalui kontak pribadi dengan tokoh-tokoh bumiputera di bidang sepak bola yang berdomisili di Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Kemudian, muncul gagasan untuk mendirikan suatu organisasi persepakbolaan kebangsaan pada suatu pertemuan antara Soeratin dan Soeri selaku ketua beserta beberapa pengurus VIJ (Voetbal Indonesische Jacatra). Gagasan tersebut dimatangkan melalui diadakannya beberapa pertemuan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional di Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Pada akhirnya, diadakan pertemuan di tanggal 19 April 1930 untuk mendirikan organisasi sepak bola nasional yang disebut PSSI (kala itu disebut sebagai Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari VIJ atau Voetbal Indonesische Jacatra (cikal bakal klub Persija Jakarta), BIVB atau Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (kini Persib Bandung), PSM atau Persatoean Sepakbola Mataram (kini PSIM Yogyakarta), VVB atau Vorstenlandsche Voetbal Bond (kini Persis Solo), MVB atau Madioensche Voetbal Bond (kini PSM Madiun), IVBM atau Indonesische Voetbal Bond Magelang (kini PPSM Magelang), dan SIVB atau Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (kini Persebaya Surabaya). Dalam perjalanan awalnya, PSSI segera menyusun program-program yang isinya menentang berbagai kebijakan dari NIVB selaku organisasi sepak bola milik pemerintah Hindia Belanda. Terdapat program yang disebut “Stridij Program”, yakni pelaksanaan kompetisi internal strata 1 dan 2 yang diadakan di setiap bonden (perserikatan). Ada pula “Steden Tournooi”, yakni kompetisi antar bonden yang dimulai pertama kali di Solo pada tahun 1931.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya, Soeratin juga mendorong pembentukan badan olahraga nasional sebagai sarana dalam memperkokoh kekuatan olahraga bumiputera dalam melawan hegemoni Belanda. Akhirnya, dibentuklah organisasi ISI (Ikatan Sport Indonesia) pada tahun 1938, yang kemudian turut andil dalam pelaksanaan Pekan Olahraga di Solo pada tanggal 15-22 Oktober 1938.
Seiring dengan berjalannya waktu, PSSI pun makin kuat dan berhasil mengganggu hegemoni NIVB yang telah berganti nama menjadi NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie). Kedua organisasi sepak bola tersebut menjalin beberapa kerjasama. Salah satu kerjasama yang dicanangkan oleh Soeratin adalah dilaksanakannya pertandingan antara kubu PSSI dan NIVU untuk menentukan siapa yang berhak untuk mewakili Hindia Belanda pada perhelatan Piala Dunia 1938 di Perancis. Namun, NIVU yang mayoritas berisikan pesepakbola berkebangsaan Belanda dan Eropa menganggap bahwa PSSI bukanlah lawan yang sebanding. Lagipula, FIFA selaku organisasi sepak bola dunia telah menetapkan bahwa NIVU-lah yang berhak mewakili Hindia Belanda. Alhasil, pada Piala Dunia 1938, hanya ada dua orang bumiputera yang tergabung dalam tim Hindia Belanda, sementara sisanya adalah orang Eropa dan Tionghoa. Kedua orang tersebut adalah Sutan Anwar dan Achmad Nawir selaku kapten tim. PSSI saat itu tidak ikut menyumbangkan pemainnya karena Soeratin selaku ketua PSSI kecewa atas serangkaian keputusan dari NIVU. Tim Hindia Belanda sendiri tidak melaju jauh dalam kompetisi tersebut. Berdasarkan keterangan dari situs BBC.com, tim yang disebut sebagai tim kurcaci oleh berbagai catatan media Eropa tersebut langsung gugur setelah mengalami kekalahan telak dengan skor 0-6 dari tim kuat Hungaria.
ADVERTISEMENT
Pada era penjajahan Jepang, kiprah PSSI tak terlalu nampak, karena PSSI digabungkan ke dalam badan olahraga bentukan Jepang yang disebut sebagai Tai Iku Kai. PSSI juga bergabung dengan badan olahraga Gelora pada tahun 1944. PSSI kembali berdiri secara independen pada tahun 1949 dalam kongres PORI III di Yogyakarta. Pada kongres tahun 1950, PSSI berganti nama menjadi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, dan nama tersebut bertahan hingga saat ini. Pada era pemerintahan Sukarno, kiprah tim nasional Indonesia di kancah Internasional cukup hebat karena benar-benar diperhatikan langsung oleh presiden. Bahkan, tim nasional sepak bola Indonesia berpeluang besar lolos ke Piala Dunia 1958 andai mereka tidak menolak bertanding melawan Israel di fase kualifikasi. Penolakan tanding melawan Israel tersebut dilakukan atas perintah Sukarno sebagai bentuk solidaritas Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina. Pada era pemerintahan Suharto, Indonesia menjadi salah satu negara Asia yang dianggap memiliki sistem persepakbolaan terbaik. Hal ini bisa terjadi karena program pembangunan nasional Repelita III dan Repelita IV yang dicanangkan Suharto melahirkan adanya sistem pengelolaan sepakbola semi-profesional yang sedemikian maju seperti Galatama, Galanita, Galakarya, dan Galasiswa. Sayangnya, setelah era reformasi, prestasi sepak bola Indonesia terus merosot. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tim nasional Indonesia hingga saat ini masih menjadi sarana pemersatu bagi berbagai kelompok suporter yang terkadang saling berseteru satu sama lain. Hal ini tentunya dapat mempertahankan nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia selaku pendukung setia tim nasional sepak bola Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, banyak bidang olahraga lain yang juga berperan dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Jika kita meninjau dari sudut pandang para profesional, menjadi atlet juga menjadi salah satu cara yang dapat meningkatkan nasionalisme. Menurut Nurul Aisah, seorang atlet muda Indonesia, nasionalisme dalam perlombaan olahraga dapat dipicu oleh berbagai hal, seperti bahasa, lambang negara, bendera dan lagu nasional, serta kesamaan geografis, etnis, atau agama. Perihal bahasa, para atlet yang berasal dari berbagai daerah tentunya akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi universal bagi mereka, baik itu di ajang nasional maupun internasional. Perihal lambang negara, para atlet akan selalu bangga dalam membela Indonesia di saat mereka mengenakan seragam berlambang Garuda Pancasila. Perihal bendera dan lagu nasional, para atlet juga sangat bangga terhadap Indonesia ketika bendera Merah-Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan dalam setiap ajang perlombaan olahraga. Sementara itu, adanya kesamaan geografis, etnis, atau agama di antara para atlet juga mendorong mereka untuk membanggakan daerahnya, dalam hal ini adalah membanggakan Indonesia di kancah Internasional. Dari sudut pandang universal, olahraga juga dapat menumbuhkan nasionalisme karena melalui olahraga, nasionalisme dapat ditanamkan tanpa paksaan. Dengan kata lain, setiap orang berhak untuk berpatisipasi dalam olahraga dan nantinya bisa saling berkontribusi dalam membanggakan Indonesia. Tak hanya itu, olahraga juga dapat membentuk solidaritas nasional di saat semua pihak (baik atlet dan suporter) mampu bekerjasama, saling berjuang serta berperan dalam rangka mengharumkan nama Indonesia. Dan sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, olahraga juga dapat menanamkan sikap toleransi dan tenggang rasa dalam kehidupan sehari-hari, karena melalui olahraga kita dapat menjalin relasi dengan orang lain yang memiliki beragam latar belakang.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, telah disebutkan bahwa olahraga juga dapat berkontribusi dalam menumbuhkan semangat nasionalisme bangsa. Dengan kata lain, membangun olahraga juga menjadi salah satu cara dalam membangun nasionalisme secara tepat. Hal ini nampaknya bisa menjadi perhatian pemerintah, karena menurut hasil survei LSI yang dikutip oleh Kompas.com, pada tahun 2019 terdapat 33,6% masyarakat Indonesia mengalami penurunan semangat nasionalisme. Dari angka tersebut, 10% di antaranya merupakan kelompok muda atau milenial berusia di bawah 40 tahun. Alhasil, untuk dapat meningkatkan kembali nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia, pemerintah hendaknya memberi perhatian dengan membangun olahraga. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain memperbaiki sistem keolahragaan nasional, membangun sarana-prasarana olahraga, dan memperhatikan nasib para atlet dengan pemberian bonus sesuai dengan haknya. Jika semua hal tersebut diperhatikan, niscaya antusiasme masyarakat terhadap olahraga akan terus meningkat. Dampaknya, prestasi olahraga Indonesia di kancah Internasional juga akan meningkat dan kembali disegani dunia. Di lain sisi, suporter atau masyarakat Indonesia pada umumnya akan kembali bangga dengan segala pencapaian Indonesia, dan secara tidak langsung akan mengembalikan kecintaan masyarakat terhadap negaranya.
ADVERTISEMENT
Tulisan karya Marcelinus Rendika Putra Widodo, mahasiswa Universitas Airlangga, jurusan Ilmu Sejarah