Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Polemik Pilkada Berujung Calon Tunggal : Apakah Ini Ancaman Bagi Demokrasi ?
2 November 2024 14:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Marcella Mardiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada pada tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain karena pilkada akan diselenggarakan serentak di seluruh daerah di Indonesia. Terdapat satu perbedaan yang paling mencolok dan akhir-akhir ini santer dibicarakan oleh publik, yakni tren meningkatnya keberadaan pasangan calon tunggal di pilkada 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pasangan calon tunggal di pilkada 2024 ini meningkat, tercatat ada 43 pasangan calon tunggal di berbagai daerah di Indonesia. Fenomena keberadaan calon tunggal dalam pilkada 2024 ini bukan lah peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia. Keberadaan calon tunggal dalam pilkada pertama kali muncul dalam pelaksanaan pemilu tahun 2015 saat pelaksanaan Kepala Daerah (PILKADA). Pada saat itu, pelaksanaan pilkada tersebut ditemukan terdapat tiga daerah yang memiliki calon tunggal. Kemudian pada pilkada serentak tahap kedua tahun 2017 ada 9 daerah dan menjadi 16 daerah dengan pasangan calon di tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau dalam lingkup yang lebih luas lagi, keberadaan calon tunggal ini tidak hanya mewarnai pemilihan di Indonesia saja, melainkan juga terjadi di beberapa negara yang menganut sistem demokrasi lainnya seperti Jepang, Singapura, Filipina dan Amerika Serikat. Faktor yang menjadi pembeda antara sikap Indonesia dengan negara lain dalam menanggapi keberadaan calon dalam pemilihan terletak pada metode dalam pemilihan, yakni dengan aklamasi atau menang secara otomatis dan pemilihan bersyarat. Di Singapura dan Jepang, calon pasangan tunggal dinyatakan menang tanpa syarat apapun. Sedangkan di Filipina hanya mewajibkan satu pemilih saja. Di Indonesia sendiri, syarat kemenangan pasangan tunggal dinilai lebih berat daripada negara demokrasi yang lain. Indonesia menetapkan aturan bahwa pasangan calon tunggal hanya dapat dinyatakan menang apabila mendapatkan suara sebanyak 50% dari suara sah.
ADVERTISEMENT
Kehadiran calon pasangan tunggal ini didorong oleh perpaduan antara faktor sosio politik di suatu daerah dimana pemilihan tersebut berlaku. UU Pilkada pasal 40 ayat 1 ditengarai mejadi pendorong kemunculan pasangan calon tunggal. Pada pasal tersebut tertulis bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki setidaknya 25% suara sah atau 20% kursi Dewan Perwakilan Daerah untuk mencalonkan kandidat yang akan diusung. Pasal inilah yang membuat partai yang ada di Indonesia memilih untuk bergabung dengan partai politik besar dan mendukung figur yang dianggap populer sehingga mempunyai potensi besar untuk menang dalam pertarungan pemilihan kepala daerah.
Keberadaan calon tunggal ini jika dibiarkan terus terjadi akan menyebabkan polemik dan permasalahan yang serius dalam praktik demokrasi di Indonesia. Hal itu disebabkan karena dengan peningkatan tren pasangan calon tunggal dalam pemilihan di Indonesia akan berdampak pada gambaran kondisi praktik demokrasi di Indonesia yang sekarang lebih mengarah pada kondisi demokratisasi. Selain itu, pasangan calon tunggal di Indonesia berpotensi digunakan untuk alat yang menompang kepentingan politik guna mendapat kekuasaan. Mengingat demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat. Pada sistem pemerintahan demokrasi, rakyat dianggap sebagai subyek politik yang berdaulat. Dengan adanya pasangan calon tunggal ini dinilai dapat melemahkan sistem demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, disisi lain ada yang berpendapat adanya calon pasangan tunggal ini tidak melemahkan sistem demokrasi kita. Menurut pendapat Makhamah Konstitusi, calon pasangan tunggal dalam Pilkada 2024 maupun yang lalu dapat terjadi di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk demokrasi empirik. Hal ini menunjukkan demokrasi di Indonesia terus berkembang dan dipengaruhi oleh sistem politik yang terjadi saat itu. Hakikatnya, demokrasi adalah partisipasi nyata masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, rakyat merupakan penentu kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan keterwakilannya diberikan melalui proses pemilu ini. Munculnya calon tunggal dalam pilkada adalah suatu pelajaran bahwa demokrasi berjalan dalam tatanan praktik akan selalu berkembang secara dinamis, dan hukum harus mampu mengikuti perkembangan masyarakat tersebut. Artinya, proses demokrasi politik melalui pemilu dengan calon pasangan tunggal atau satu kandidat bukan berarti tidak mungkin untuk dilaksanakan. Partisipasi masyarakat lah yang merupakan poin utama pula dalam pelaksanaan demokrasi politik, karena dengan pastisipasi itu lah yang merupakan kedaulatan rakyat yang dijamin oleh konstitusi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kehadiran pasangan calon tunggal, pilkada masih bisa diterima dan dilaksanakan. Meskipun begitu, pilkada dengan pasangan calon tunggal berimbas pada beberapa kerugian. Kerugian tersebut tidak hanya berdampak pada sistem demokrasi di Indonesia, konsekuensi lain yang diterima dari keberadaan calon pasangan tunggal ialah, kompetensi pilkada menjadi tidak lagi kompetitif serta tidak terjadi adu gagasan yang konstruktif bagi pembangunan daerah, karena pasangan calon yang maju ke arena pilkada hanya satu pasangan saja. Selain itu, pasangan calon tunggal juga berimbas pada menurunnya penggunaan hak pilih oleh masyarakat. Masyarakat menjadi cenderung bersikap apatis dan tidak memiliki keinginan untuk menggunakan hak suaranya dalam pelaksanaan pilkada.
Situasi calon pasangan tunggal ini penting untuk dianalisis lebih lanjut dari berbagai dimensi dan implikasi yang muncul. Situasi ini juga sering diusulkan sebagai upaya untuk menciptakan efisiensi dalam pengambilan keputusan dan stabilitas politik. Lebih jauh lagi, calon pasangan tunggal ini dapat mengarah pada pemusatan kekuasaan. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintahan yang sudah ada cenderung rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, akuntabilitas pemerintah menjadi sangat lemah dan sistem pemerintahan yang seharusnya melayani rakyat justru menjadi alat untuk mengkonsolidasikan kekuatan kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya calon pasangan tunggal mungkin memberikan keuntungan tertentu dalam hal efisiensi dan stabilitas, namun dalam dampak jangka panjang terhadap demokrasi sangatlah merugikan. Calon pasangan tunggal juga dapat melemahkan pondasi demokrasi yang sehat Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan untuk mempertahankan sistem politik, memperkuat partisipasi publik, melindungi hak-hak sipil, dan memastikan demokrasi terus berfungsi sebagai wadah aspirasi dan suara seluruh rakyat.
Referensi
Rini, W. S. D. (2016). Calon Tunggal Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Konsep Demokrasi (Analisis Terhadap Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Blitar Tahun 2015). Jurnal Cita Hukum, 4(1), 87–104. https://doi.org/10.15408/jch.v4i1.2578
Syah, A. A. (2022). Kebijakan Pemilihan Umum Pasangan Calon Tunggal Presiden dan Wakil Presiden. Journal of Governance and Administrative Reform, 3(2), 142–162. https://doi.org/10.20473/jgar.v3i2.41760
ADVERTISEMENT
Wasisto, A. (2024). PEMILIHAN CALON TUNGGAL PADA PILKADA 2024.