Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Aturan Pajak Dunia Dikendalikan Negara Kaya: Indonesia Mau Sampai Kapan Diam?
8 Mei 2025 13:40 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Marchellia Sinta Juwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Google, Facebook, dan Netflix meraup miliaran rupiah dari pasar Indonesia. Tapi saat bicara soal pajak, yang masuk ke kas negara hanya recehan. Kenapa bisa begitu? Karena aturan main pajak global masih dikuasai oleh segelintir negara kaya lewat OECD. Kini, dunia mulai bertanya-tanya: apakah sudah saatnya kita berpaling ke PBB untuk menciptakan sistem pajak internasional yang lebih adil bagi semua?
ADVERTISEMENT
Selama bertahun-tahun, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menjadi pusat pengaturan pajak global. Program seperti BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) hingga Global Minimum Tax lahir dari lembaga ini, dengan tujuan mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Tapi masalahnya, OECD beranggotakan mayoritas negara kaya. Standar yang mereka buat seringkali mencerminkan kepentingan ekonomi negara-negara tersebut. Negara berkembang, seperti Indonesia, meskipun diajak ikut serta, tidak berada dalam posisi tawar yang seimbang. Akibatnya, aturan yang dihasilkan lebih banyak menguntungkan negara tempat markas perusahaan multinasional berada bukan negara tempat mereka beroperasi dan meraih keuntungan.
Praktik ini bukan tanpa dampak. Menurut laporan dari Tax Justice Network, negara-negara berkembang kehilangan lebih dari USD 200 miliar per tahun akibat manipulasi pajak oleh perusahaan global. Mereka mengalihkan laba ke negara dengan pajak rendah (tax haven) atau negara asal mereka, meninggalkan negara tempat operasionalnya tanpa bagian yang adil. Indonesia, dengan populasi besar dan konsumsi digital tinggi, menjadi salah satu korban terbesar. Tapi karena mengikuti standar global yang dirancang bukan oleh kita, ruang untuk menegakkan kedaulatan fiskal menjadi sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
Pada 2022, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi penting: memulai pembentukan kerangka kerja perpajakan internasional di bawah koordinasi PBB. Ini adalah sinyal bahwa negara-negara berkembang mulai lelah menjadi penonton dalam panggung global. PBB memiliki keunggulan penting: keanggotaannya lebih inklusif dan demokratis. Setiap negara memiliki suara. Sistem yang dibentuk di bawah payung PBB berpotensi lebih adil karena memperhatikan kebutuhan dan realitas fiskal negara-negara berkembang.
Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada sistem lama yang merugikan. Kita punya posisi strategis di Asia Tenggara, punya pasar digital yang besar, dan kini menjadi anggota aktif forum internasional. Ini saatnya Indonesia:
ADVERTISEMENT
Menunggu saja akan membuat kita terus tertinggal. Pajak bukan sekadar angka. Ini soal kedaulatan. Siapa yang berhak memungut pajak, berarti siapa yang berdaulat atas aktivitas ekonomi. Jika aturan global terus ditentukan oleh negara kaya, maka negara seperti Indonesia akan terus menjadi pasar yang dieksploitasi bukan mitra yang dihargai.
Sudah saatnya Indonesia bersuara lebih lantang: sistem pajak global harus adil, atau tidak usah sama sekali.
Marchellia Sinta Juwita, mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Pamulang.