Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pajak Digital: Siapa yang Mengontrol, Siapa yang Diuntungkan?
8 Mei 2025 14:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Marchellia Sinta Juwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pajak digital adalah soal kedaulatan ekonomi dan keadilan global. Tidak adil jika perusahaan asing bisa bebas meraup keuntungan dari pasar kita, tapi kontribusi mereka ke kas negara hanya formalitas.
ADVERTISEMENT
Di era ekonomi digital, kita menyaksikan fenomena yang kontradiktif. Perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Facebook (Meta), Netflix, dan TikTok meraup triliunan rupiah dari pengguna di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Namun, ketika bicara soal kontribusi pajak, negara-negara tersebut justru hanya mendapat "sisa-sisa".
Selama ini, pengaturan pajak global banyak diatur oleh OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) sebuah forum yang didominasi oleh negara-negara maju. Melalui inisiatif seperti BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) dan Pilar 1 & 2 dari Kesepakatan Pajak Global, OECD berupaya menciptakan sistem pajak digital yang lebih adil. Tapi dalam praktiknya, negara maju tetap lebih diuntungkan, karena struktur pembagian pajak global masih memberikan porsi terbesar kepada negara tempat perusahaan berbasis, bukan tempat mereka menghasilkan keuntungan. Indonesia hanya kebagian "remah-remah", meski pasar digitalnya sangat besar.
ADVERTISEMENT
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Kenya, dan Brazil justru sering kali hanya menjadi peserta pasif. Suara mereka tidak dominan dalam perumusan kebijakan internasional. Padahal, merekalah yang menjadi ladang emas bagi perusahaan digital global. Di sinilah muncul tuntutan agar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) turut terlibat dalam pengaturan pajak internasional, karena PBB memiliki struktur yang lebih inklusif dan demokratis.
Dalam keadilan perpajakan, prinsip ideal adalah: pajak harus dikenakan di tempat nilai diciptakan, bukan hanya di tempat perusahaan terdaftar. Jadi jika pengguna TikTok di Indonesia menyumbang jutaan klik dan pembelian, maka Indonesia berhak atas porsi pajak dari keuntungan itu.
Beberapa negara bahkan mulai menerapkan pajak digital unilateral pajak khusus yang dikenakan kepada perusahaan digital asing. Namun ini juga memicu ketegangan dengan negara maju dan potensi retaliasi perdagangan. Indonesia punya peran strategis untuk:
ADVERTISEMENT
Kini saatnya Indonesia, bersama negara berkembang lainnya, tidak hanya menjadi konsumen, tapi juga pengatur dalam sistem pajak global. Karena yang bermain di pasar kita, harus ikut membangun negara kita. Di tengah pesatnya arus digitalisasi, ketimpangan dalam sistem pajak global makin nyata. Negara-negara berkembang seperti Indonesia menjadi ladang pemasukan besar bagi raksasa teknologi dunia, namun tidak mendapat porsi pajak yang sebanding. Ini bukan sekadar soal regulasi, tetapi soal keadilan.
Sudah saatnya kita bertanya lebih keras: siapa yang mengontrol kebijakan pajak dunia, dan mengapa negara yang menghasilkan nilai justru tak diuntungkan? Indonesia harus berani memperjuangkan kepentingannya baik melalui forum internasional yang lebih inklusif, seperti PBB, maupun melalui kebijakan nasional yang melindungi hak fiskal kita sendiri. Pajak digital harus menjadi alat distribusi keadilan, bukan alat untuk mempertahankan dominasi global.
ADVERTISEMENT
Marchellia Sinta Juwita, mahasiswa Akuntansi Perpajakan Universitas Pamulang.