Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Cancel Culture: Apakah Opini Figur Publik Mampu Membatalkan Kebijakan?
16 Februari 2025 8:31 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Margareth Naomi Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia merupakan langkah signifikan yang diambil oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan pendapatan negara. Namun, keputusan ini tidak hanya berdampak pada aspek fiskal, tetapi juga memengaruhi psikologi dan ekspektasi konsumen. Dalam konteks ini, opini figur publik—baik itu tokoh politik, selebriti, maupun influencer—memegang peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Rencana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% lalu merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah tekanan ekonomi global dan kebutuhan untuk membiayai berbagai program sosial dan infrastruktur. Meskipun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memperkuat fondasi ekonomi, dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan ekspektasi konsumen perlu diperhatikan.
Opini public figure dapat membentuk persepsi masyarakat mengenai kebijakan pemerintah. Jika seorang tokoh terkenal menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN adalah langkah yang wajar demi kemajuan ekonomi, maka hal ini dapat membantu meredakan ketidakpuasan masyarakat. Sebaliknya, jika mereka mengkritik kebijakan tersebut sebagai beban tambahan bagi masyarakat, ekspektasi konsumen terhadap daya beli mereka akan menurun.
Ketika public figure mengungkapkan pandangan negatif tentang kenaikan PPN, hal ini dapat menyebabkan konsumen menunda keputusan pembelian barang atau jasa. Misalnya, jika seorang influencer menyarankan untuk menunggu sebelum membeli barang mahal karena tarif PPN yang lebih tinggi, maka konsumen mungkin akan mengikuti saran tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Latifah & Najicha (2022), menunjukkan bahwa media sosial berperan penting dalam membentuk opini publik terkait kebijakan pemerintah. Contoh nyata, hashtag #TolakPPN12% menjadi trending topic setelah beberapa public figure menyuarakan penolakan terhadap kenaikan tarif PPN. Analisis terhadap tweet dan komentar di media sosial menunjukkan bahwa mayoritas responden merasa khawatir tentang dampak kenaikan PPN terhadap daya beli mereka. Berdasarkan analisis Drone Emprit yang dipublikasi di akun X mereka, sentimen negatif terhadap kenaikan tarif PPN 12% di Indonesia mencapai 79%. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memberikan reaksi negatif terhadap isu ini, dengan banyak yang bahkan mengajak untuk melakukan boikot terhadap pajak tersebut.
Untuk menanggulangi hal ini, perlu dilakukan strategi komunikasi untuk mengelola opini publik. Pemerintah dan public figure memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa opini publik
ADVERTISEMENT
tentang kenaikan tarif PPN dikelola secara konstruktif. Penting bagi pemerintah untuk melibatkan public figure yang kredibel dan memastikan bahwa komunikasi kebijakan dilakukan secara transparan, edukatif, dan inklusif. Dengan pendekatan yang tepat, ekspektasi konsumen terhadap kenaikan tarif PPN dapat dikelola secara lebih konstruktif, sehingga mendukung stabilitas ekonomi dan sosial di Indonesia.