Saya Pernah Jadi 'Raja' di Amerika Serikat

Margaretta Puspita
A scribbler of verses who thinks she is a poet, a mother of two who always questions her parenting skills, and a woman who invests so much time and effort for infrastructure diplomacy.
Konten dari Pengguna
17 Maret 2021 17:25 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretta Puspita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pintu terbuka, terdengar bunyi lonceng menandakan langkah orang memasuki sebuah toko.
ADVERTISEMENT
Hi! Welcome to Shop Made in DC!”, sapaan ramah disertai senyum lebar dinikmati si pelanggan.
Kira-kira begitulah rata-rata cara pelanggan diterima saat memasuki suatu toko di AS.
Shop Made in DC, sebuah toko yang menjual seluruh barang/produk lokal di D.C. (Sumber: Dok. Pribadi)
Pelanggan adalah raja, sebuah mantra yang dipegang betul oleh pebisnis di Amerika Serikat. Berangkat dari kesadaran para pebisnis di AS bahwa pelanggan adalah kunci dari keberhasilan bisnis mereka, pelayanan yang baik adalah sebuah keharusan.
Saya sangat terkesan dengan pelayanan pelanggan di AS. Sebagai pelanggan, berbelanja di AS bukan hanya soal mencukupi kebutuhan tetapi juga soal pengalaman dan sensasi berbelanja. Mulai dari masuk toko hingga pelanggan pulang ke rumah, pelayanan tersebut diberikan sebagai standar yang terus dimonitor pelaksanaannya.
Hal yang sangat sederhana seperti sapaan pada saat pelanggan memasuki toko atau pujian basa-basi seperti “I like your dress!” (“Baju kamu bagus!”) ternyata sangat efektif untuk membangun mood kita dan berujung pada peningkatan kemungkinan untuk membeli barang.
ADVERTISEMENT
Sangat jarang pramuniaga di AS membuntuti pelanggan dengan mata bagaikan elang membidik mangsa, yang segera merapikan barang setelah disentuh. Mereka hanya akan menghampiri untuk bertanya apakah ada yang bisa dibantu dan ditutup dengan, “Kalau ada apa-apa panggil saya, ya!” tanpa nada suara yang merendahkan.
Selain pelayanan personal tersebut, ada beberapa hasil pengamatan dan pengalaman saya yang meyakinkan saya bahwa di AS pembeli memang raja.

1. Dipilih-pilih!

Pelanggan dimanjakan dengan berbagai macam produk yang sesuai dengan preferensi ataupun keadaan mereka. Ini merupakan hasil dari alokasi dana yang besar terhadap penelitian dan pengembangan produk serta survei pasar yang dilakukan oleh pebisnis AS.
Survei yang dilakukan oleh NCSES menunjukkan bahwa di tahun 2018 terdapat peningkatan sebesar 10,2% alokasi anggaran untuk R&D yang dilakukan pebisnis AS. Untuk produk susu misalnya, tersedia full cream, non-fat, rendah lemak, 1% lemak, 2% lemak, lalu untuk mereka yang lactose intolerant ada susu almond, susu kacang, susu gandum, dsb.
Pilihan produk susu di Whole Foods (Sumber: Flickr, oleh: Stephanie Booth)
Bukan hanya itu, pebisnis juga memperhatikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Cruelty free, ramah lingkungan, vegan, pemberdayaan bisnis lokal, atau bahkan tidak menggunakan tenaga buruh di bawah umur. Mereka berusaha mengerti pelanggan untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Pebisnis yang menyesuaikan ke pasar, bukan sebaliknya.
ADVERTISEMENT

2. Beli sekarang, pikir belakangan

Di Indonesia, mayoritas pelanggan pada saat di toko ataupun situs e-commerce betul-betul memastikan barang tersebut dalam kondisi prima, dicoba berkali-kali, dibandingkan dengan beberapa toko atau vendor lainnya baru akhirnya dibeli.
Sementara di AS, pelanggan tidak akan ragu untuk segera masukan ke keranjang beberapa pilihan, beberapa ukuran lalu meluncur ke kasir untuk membayar.
Perbedaan tajam ini diakibatkan karena pelanggan di AS dimanjakan dengan kebijakan pengembalian yang longgar. Pelanggan bisa mengembalikan barang yang sudah dibeli (bahkan sudah dicoba) selama memenuhi persyaratannya baik dalam jangka waktu tertentu dan syarat administrasi seperti kelengkapan kwitansi dan tag harga.
Hasil penelitian yang dilakukan Dotcom di tahun 2018 menunjukkan bahwa kebijakan pengembalian 100% akan meningkatkan kemungkinan pembelian hingga 90%. Sekali lagi, pebisnis di AS berusaha untuk mengerti pelanggan agar dapat meningkatkan keuntungan mereka.
ADVERTISEMENT
Bentuk pengembalian ini berbeda-beda untuk tiap bisnis, ada yang bisa kembali dalam bentuk uang penuh, sebagian atau kembali dalam store credit untuk dibelanjakan kembali di toko tersebut. Pelanggan pun bahkan dapat mengembalikan barang hadiah dari orang lain!
Kebijakan pengembalian pembelian Costco. (sumber:fixturescloseup.com)
Tapi, perhatikan ketentuannya, ya! Ada beberapa barang yang tidak bisa dikembalikan seperti celana dalam, kasur, dsb. Ketentuan dan peraturan pengembalian barang ini dapat berbeda di masing-masing negara bagian di AS.
Saya sendiri pernah mengembalikan satu pemerah bibir yang ternyata menimbulkan reaksi alergi di kulit saya. Setelah saya jelaskan, pramuniaga toko riasan ternama itu memohon maaf atas pengalaman buruk yang saya alami dan uang sejumlah harga utuh pemerah bibir tersebut masuk kembali ke rekening saya. Sejak saat itu saya hanya belanja alat dan produk rias wajah di sana.
ADVERTISEMENT

3. Ulasan bukan sekadar bintang

Tidak berhenti pada pilihan beragam dan kebijakan pengembalian barang, ulasan pelanggan juga betul-betul dihargai oleh pebisnis di AS. Bad review is bad business.
Bintangnya, kakak! (Sumber: pixabay, oleh: Mcmurryjulie).
Menurut Cox Media Group, sebuah perusahaan konsultan bisnis di AS, satu ulasan negatif dapat mengurangi 22% calon pelanggan. Itu sebabnya, bagian Layanan Pelanggan akan segera menindaklanjuti ulasan negatif dengan menghubungi yang bersangkutan untuk menawarkan solusi perbaikan.
Pembicaraan mulut ke mulut juga salah satu alat pemasaran yang efektif. Calon pelanggan akan lebih mempercayai ulasan dari pelanggan lainnya dibandingkan upaya marketing yang dilakukan oleh pebisnis. Bagaimana suatu bisnis mengelola ulasan pelanggan dapat menunjukkan kredibilitas bisnisnya dan menunjukkan seberapa pentingnya kepercayaan pelanggan bagi bisnis mereka.
ADVERTISEMENT
3 hal di atas membuat perilaku konsumsi masyarakat AS sedikit berbeda dengan masyarakat Indonesia. Tidak aneh jika hal tersebut membuat masyarakat AS mempunyai kecenderungan loyalitas yang lebih tinggi terhadap merek atau toko tertentu. Tidak aneh pula jika masyarakat AS menjadi lebih konsumtif. Satu dari 10 rumah tangga di AS menyewa gudang tambahan untuk menampung barang-barang mereka yang tidak dapat tertampung di rumah.
Konsumerisme dalam arti berbelanja sebagai salah satu sumber kebahagiaan adalah contoh nyata kapitalisme modern. Tidak harus selalu bermakna negatif, konsumerisme dapat membantu pertumbuhan ekonomi, apalagi di masa pandemi seperti sekarang.
Saat ini hasil penelitian dari Mckinsey menunjukkan bahwa bisnis di AS sedang mencoba mempelajari perubahan perilaku konsumen pascapandemic COVID-19. Sekali lagi, pebisnis berusaha mengerti pelanggan untuk meningkatkan penjualan.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun hasilnya nanti, saya sangat menikmati pernah menjadi “raja” di AS. Bagaimana dengan "raja" di Indonesia?