Mencermati Pasal Pidana Baru bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis

Maria Ardianingtyas
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M, Advokat dan Pemerhati Hukum di Indonesia www.malawfirm.net
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2019 7:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Ardianingtyas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mencermati Pasal Pidana Baru bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk pikuk gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi pada tanggal 24 September 2019 lalu, sampai akhirnya membuat ditundanya pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“RKUHP”), sebenarnya ada pasal baru yang tidak sempat dibahas, di mana pasal tersebut mengatur mengenai Pertanggungjawaban Pidana bagi Penyandang Disabilitas Mental dan/atau Disabilitas Intelektual. Adapun dua pasal tersebut adalah Pasal 38 dan Pasal 39 RKUHP.
ADVERTISEMENT
Pasal 38 RKUHP berbunyi demikian: “Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan." Sedangkan Pasal 39 RKUHP berbunyi: “Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental yang dalan keadaan eksaserbasi akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan."
Untuk Penjelasan Pasal 38 RKUHP disebutkan bahwa: “Pelaku Tindak Pidana yang menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsyafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsyafan yang dapat dipidana." Sedangkan untuk penjelasan Pasal 39 RKUHP disebutkan bahwa: "Yang dimaksud dengan “disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian dan b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif. Yang dimaksud dengan “disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrome. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku Tindak Pidana dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab." Dalam tulisan ini, Penulis hanya membatasi pembahasan mengenai Penyandang Disabilitas Mental Autis saja.
ADVERTISEMENT
Penggunaan Istilah “Menderita” Yang Kurang Pas
Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“UU Disabilitas”), definisi Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Penulis mencermati bahwa Pasal 38 dan Pasal 39 RKUHP berikut Penjelasannya menggunakan istilah “menderita” bukan menyandang atau penyandang disabilitas mental. Padahal penjabaran tentang disabilitas mental dari Penjelasan Pasal 39 RKUHP sudah mengacu pada Penjelasan Pasal 4 huruf (c) UU Disabilitas. Disabilitas bukanlah penyakit, sehingga tidak pas apabila menggunakan istilah “menderita”, namun sebaiknya menggunakan istilah “menyandang” atau penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Penyandang Disabilitas Mental Autis dalam KUHP & RKUHP
KUHP tidak menyebutkan secara khusus mengenai Pertanggungjawaban Pidana bagi Penyandang Disabilitas Mental termasuk Autis. Biasanya Pasal 44 ayat (1) KUHP diterapkan bagi Tersangka/Terdakwa Penyandang Disabilitas Mental Autis. Adapun Pasal 44 ayat (1) KUHP tersebut mengatur bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.” Jadi apabila Pasal 44 ayat (1) KUHP ini diterapkan bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis, tidak ada pembedaan antara Penyandang Disabilitas Mental Autis baik ringan, sedang atau berat, dalam artian semua sama asal dapat dibuktikan telah memenuhi kriteria Pasal 44 ayat (1) KUHP.
Namun apabila RKUHP nantinya sampai disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi KUHP yang baru dan masih memuat Pasal 38 dan Pasal 39 RKUHP sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka menurut hemat penulis, kedua pasal tersebut patut dicermati oleh keluarga Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan. Pasalnya ada potensi ancaman pidana dan tindakan bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan dengan adanya KUHP yang baru nanti. Menurut American Psychiatric Association yang telah menerbitkan standar panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders kelima (DSM-5) di bulan Mei 2013, Autism Spectrum Disorder (ASD) atau Autis merupakan sebuah spektrum gangguan perkembangan di mana setiap penyandangnya memiliki kondisi yang berbeda-beda dan tidak ada yang sama. Adapun individu Penyandang Disabilitas Mental Autis memiliki gejala atau symptoms yaitu di antaranya kesulitan dalam melakukan komunikasi/interaksi sosial, pola perilaku yang berulang-ulang, dan gangguan dalam komunikasi verbal dan nonverbal.
ADVERTISEMENT
Terkadang Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan juga mengalami gangguan emosi akibat kurangnya kemampuan berkomunikasi sosial dan interaksi sosial. Misalnya marah-marah tak terkendali sampai memukul orang lain sampai terluka. Diperlukan saksi ahli sehingga Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan dapat dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu bertanggung jawab sebagai pelaku tindak pidana.
Kepastian Hukum atau Ancaman Pidana?
Pasal 38 dan Pasal 39 RKUHP telah menyesuaikan dengan DSM-5 mengenai 3 level tingkatan dalam ASD, yaitu Level 1 (autis ringan) yaitu Penyandang Disabilitas Mental Autis yang memiliki kemampuan komunikasi secara verbal cukup baik tetapi memiliki kesulitan dalam interaksi sosial serta perilaku yang berulang. Lalu, Level 2 (autis sedang), yaitu Penyandang Disabilitas Mental Autis yang memiliki kemampuan komunikasi verbal terbatas dan memiliki kesulitan yang sama dengan Level 1, ditambah gangguan emosional dan masalah sensori. Terakhir adalah Level 3 (autis berat), di mana Penyandang Disabilitas Mental Autis tersebut memiliki kemampuan komunikasi nonverbal dan berbagai masalah yang cukup kompleks.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya Pasal 39 RKUHP ini dapat memberikan kepastian hukum bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis sedang dan berat untuk terbebas dari ancaman pidana apabila sampai tersangkut kasus pidana. Namun seperti yang sudah Penulis sampaikan mengenai isi Pasal 38 RKUHP di atas apabila disertakan dalam KUHP yang baru nanti, Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan harus berhati-hati dalam mengendalikan emosi dan dirinya agar tidak sampai dituduh melakukan tindak pidana dan dimintai pertanggung jawaban pidana pula. Tentunya hal ini akan menjadi sebuah pekerjaan rumah yang cukup besar bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan dan keluarga atau pendampingnya yang sudah tidak berusia anak lagi. Walaupun mungkin akan memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat umum, semoga tidak menjadi beban mental bagi Penyandang Disabilitas Mental Autis ringan.
ADVERTISEMENT
Milan, 16 Oktober 2019
Maria Ardianingtyas, S.H., LL.M