Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Catcalling: Gangguan Menyebalkan untuk Perempuan
27 Januari 2017 16:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Catcalling, apa itu? Panggilan kucing?
Kata yang belum ada padanannya dalam Bahasa Indonesia itu kira-kira memiliki arti begini: lontaran ucapan dalam suara keras yang memiliki tendensi seksual, misalnya bersiul, berseru, atau berkomentar kepada perempuan yang lewat di jalanan, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan pada diri si perempuan.
ADVERTISEMENT
Catcalling yang merupakan salah satu bentuk gangguan di jalan (street harassment) selama ini dianggap lumrah dilakukan. Aksi usil yang mengusik perempuan ini nyaris tak pernah dianggap serius. Persepsi mayoritas masyarakat nyaris serupa: adalah hal biasa jika lelaki menggoda perempuan.
Catcalling terjadi hampir di mana-mana, termasuk di Indonesia. Hal ini lantas memicu rasa gundah Kate Walton, seorang Australia yang telah tinggal di Indonesia selama 5 tahun.
Ia jengkel karena kerap menjadi korban catcalling. Sudah beberapa kali, melalui cuitannya di Twitter, Kate mengeluhkan hal ini.
Kate ingin orang tahu, catcalling bukan persoalan remeh. Ia lantas memutuskan untuk merancang eksperimen soal catcalling di Jakarta.
Eksperimen dilakukan Kate dengan berjalan kaki dari Pasar Mayestik ke Plaza Senayan, Jakarta Selatan. Saat itu ia berbusana kasual biasa: kaos dan rok selutut.
ADVERTISEMENT
Perjalanan (dengan kaki) dari Pasar Mayestik ke Plaza Senayan ditempuh Kate sekitar setengah jam. Sepanjang jalan, tiap menerima catcalling, Kate mencuitkannya di Twitter.
Baru saja melangkah, Kate sudah menerima catcalling dari orang asing. Ia langsung mencuitkannya di Twitter.
Selanjutnya, beberapa pria yang sedang berada di sebuah truk berteriak memanggil Kate. Mereka berseru kepadanya dengan tak pantas.
Kate meneruskan perjalanan. Lagi-lagi ia menerima catcalling. Sekelompok anak muda memanggil-manggilnya. Mereka mengomentari penampilan fisik Kate.
Kate terus jalan. Ia bercuit lewat Twiiter soal ketidaknyamanan yang dihadapi perempuan ketika menghadapi gangguan di area publik.
Tak lama berselang, Kate dihampiri seorang laki-laki. Kate tidak mengenalnya. Tanpa memperkenalkan diri lebih dulu, lelaki itu meminta nomor pribadi Kate.
ADVERTISEMENT
Nah, Kate kini sudah diusik hingga ke ranah privat.
Saat kembali menyusuri jalanan Jakarta, Kate menerima nonverbal catcalling. Ia dilirik secara tak pantas. Dua pria pun membunyikan klakson untuk menggoda Kate.
Ini belum berakhir. Siulan-siulan, panggilan bernada merendahkan, hingga cara seorang lelaki memandang ke arahnya sambil mengucapkan dia cantik di hadapan istrinya, dialami Kate hanya dalam setengah jam perjalanan.
Salah satu pelaku catcalling bahkan memanggil Kate dengan sebutan “Mr. Bean” sambil memandangi dadanya.
Sepanjang Mayestik-Plaza Senayan, kalau dihitung-hitung, Kate menerima perlakuan catcalling sebanyak 13 kali.
Kondisi yang dialami Kate hanya sebagian dari kasus lain yang pernah ia alami. Dalam satu tulisannya, Kate bercerita pernah mengalami kekerasan seksual secara fisik dari orang asing yang sedang mengendarai motor di dekatnya.
ADVERTISEMENT
Cuitan Kate soal eksperimennya menuai banyak komentar, baik yang menguatkan maupun menjatuhkan.
Dalam beberapa cuitan balasan atas eksperimennya, Kate dianggap sebagai penggoda dan karenanya pantas diperlakukan demikian.
Kate cuma satu contoh. Masih banyak perempuan lain, tak terhitung bahkan, yang mengalami hal serupa. Di pertokoan, kantor, sekolah, trotoar, di lingkungan mereka sendiri.
Perempuan kerap dipandang sebagai objek, harus menerima ditatap dan dinilai wajahnya, bentuk tubuhnya, dan pakaiannya.
Bagaimana dengan kamu?
Kamu yang lelaki, pernahkah melakukan catcalling? Dan buatmu perempuan, seberapa sering menerima perilaku catcalling?
Mau berbagi cerita?