Ethiopia Kembali Kering, Kerontang, Meradang

17 Maret 2017 15:29 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Wanita Somalia menderita kelaparan. (Foto: Dok. relawan ACT)
“Hamparan manusia tunggu mati
Nyawa tak ada arti
Kering, kerontang, meradang
ADVERTISEMENT
Entah sampai kapan”
Baris berima di atas adalah penggalan lirik lagu Ethiopia, karya Iwan Fals yang dipersembahkan untuk mengenang bencana kelaparan yang melanda Ethiopia di tahun 1984, menewaskan lebih dari setengah juta manusia.
Kini, sudah 33 tahun berlalu dari masa kelam itu. Namun ternyata, masa itu tak lekas pergi; ia kembali terjadi, membawa kelam yang sama --bahkan lebih buruk dari yang sebelumnya.
Bencana kelaparan yang begitu kronis akhirnya merenggut nyawa Abdul Mohammed, seorang anak Ethiopia berumur 5 tahun yang sudah tak kuat menahan lapar yang ia rasakan mingguan lamanya.
Saat ia masih hidup, Abdul harus berbagi makanan dengan empat orang saudaranya. Umur mereka tak terpaut jauh. Dan berbagi makanan yang sudah sangat tipis pasokannya adalah satu-satunya jalan untuk hidup.
ADVERTISEMENT
“Kematian Abdul membawa derita yang begitu dalam bagi kami. Sangat memilukan. Tak hanya itu, kami pun hanya punya sedikit pasokan makanan,” ujar Bertukan, ibu dari Abdul sambil terisak.
Tak cukup dibuat menderita oleh kematian sang anak, realita bahwa tidak akan ada panen tahun ini semakin mengguncang batin keluarga Abdul.
Kekeringan melanda Ethiopia (Foto: Reuters)
Dan jutaan keluarga lain yang berbagi kisah serupa Abdul kini berada di Ethiopia, sebuah negara besar dengan populasi hampir 101 juta orang dan menjadi negara ke-13 terbesar di dunia. Peringkat ini bisa jadi terus berubah lebih tinggi, karena populasi di Ethiopia meningkat 2,5 persen setiap tahunnya.
Peningkatan populasi ini juga dipengaruhi oleh jumlah pengungsi dari Sudan, Sudan Selatan, dan Eritrea yang berbondong-bondong mencari atap untuk berlindung. Bukan main, angka pengungsi yang datang bisa mencapai 733 ribu orang, dan berebut tempat tinggal dengan peduduk Ethiopia sendiri. (Baca juga: Proses Menyakitkan Kematian Akibat Kelaparan)
ADVERTISEMENT
Namun, masalah berebut tempat tinggal bukan satu-satunya penderitaan yang harus dihadapi Ethiopia. Sistem agrikultural yang buruk dan konflik agraria yang kerap terjadi antar penduduk sukses menambah beban masalah yang harus ditanggung.
Wanita Somalia mendekap anaknya yang kelaparan. (Foto: Dok. relawan ACT)
Sistem kepemilikan lahan yang tidak boleh dimiliki secara individual menyebabkan pendapatan yang kecil bagi tiap keluarga karena harus dibagi-bagi dengan pihak lain. Tidak adanya investasi, ditambah dengan tidak bisanya memenuhi kebutuhan besar untuk mengembangkan sepetak tanah, akhirnya berujung pada menurunnya kesuburan tanah dan hasil panen yang buruk kualitasnya.
Tak bisa dihindari, kemiskinan pun akhirnya menggerogoti tubuh rakyat Ethiopia dengan begitu ganas.
World Food Program mengungkapkan fakta mencengangkan mengenai bencana kelaparan di Ethiopia. Salah satunya adalah lebih dari setengah populasi yang berada di Ethiopia hidup dengan pendapatan kurang dari satu dolar AS atau sekitar Rp 13 ribu per hari.
ADVERTISEMENT
Uang yang tak lebih dari satu dolar Amerika tersebut didapatkan oleh hasil pertanian yang begitu buruk kualitasnya.
80 persen populasi di Ethiopia hidup di daerah pedesaan miskin, di mana angka kelahiran sangat tinggi terjadi di area ini. Ironisnya, kenyataan bahwa kehidupan masyarakat bergantung pada pertanian yang bermasalah menjadi sebuah lingkaran setan yang tak akan habisnya; miskin, dengan jumlah keluarga yang besar, akhirnya berujung pada kelaparan dan kematian. (Baca juga: Mendengar Tangis Dua Juta Anak Kelaparan di Yaman)
Memilukan. Inilah hidup yang harus dijalani oleh keluarga Abdul bersama dengan jutaan orang lainnya di Amerika. Seakan tak punya pilihan lain, memikirkan bahwa hari esok masih ada mungkin jadi satu-satunya harapan yang menguatkan untuk terus menjalani hari-hari gersang dan kelam di Ethiopia.
ADVERTISEMENT
Warga Somalia yang kelaparan. (Foto: Dok. relawan ACt)