Kerang Hijau Teluk Jakarta: antara Gizi dan Merkuri

24 Agustus 2017 10:02 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Kerang Hijau dari Cilincing (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Puluhan tahun sudah Sugi tinggal di daerah Jalan Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Hidup di daerah pesisir tentulah membuat Sugi menjadikan makanan laut sebagai menu pokok untuk dikonsumsi berkala oleh keluarganya.
ADVERTISEMENT
Tak heran akhirnya kerang hijau menjadi makanan favorit Sugi. Penganan itu dapat direbus, digoreng, maupun diolah dengan beragam rempah dan gaya masak. Betapa lezat.
Tapi, itu dulu. Kini, Sugi memutuskan untuk berhenti mengonsumsi kerang hijau, sama sekali. Maka, ini tahun ke-25 Sugi tak lagi menikmati gurihnya kerang hijau.
Apa sebabnya? Satu hal: karena kerang hijau yang dijual di tempat tinggalnya sudah pasti berasal dari Teluk Jakarta--yang tercemar.
“Saya sudah 25 tahun nggak makan kerang. Sudah bau, tercemar banget, nggak sehat,” kata Sugi.
Padahal, di masa bujangnya, hampir setiap hari Sugi menyantap kerang hijau. Entah dengan memasaknya sendiri atau membeli di warteg dan kedai makanan laut.
“Saya mah suka banget kerang, karena enak dan sehat banget sebetulnya,” ujar Sugi.
ADVERTISEMENT
Namun, ia akhirnya memutuskan berhenti makan kerang setelah berkeluarga. Sebab Sugi tak ingin keluarganya kelak sakit-sakitan akibat mengonsumsi kerang hijau yang tercemar.
“Dampaknya (makan kerang) nggak langsung, tapi nanti pas tua bisa tiba-tiba kanker, sakit,” kata Sugi.
Kris (52) juga menolak makan kerang hijau dari Teluk Jakarta. Tiap kali makan bersama keluarga di kedai makanan laut, Kris melarang keluarganya untuk memesan kerang.
“Itu kerang kan makanin partikel-partikel yang mengendap di pasir. Sekarang lautnya sudah kotor sekali, jadi dia (kerang) pun makan partikel logam berat atau limbah. Sudah tidak sehat,” katanya.
Padahal, seperti Sugi, Kris juga menyukai gurihnya kerang hijau. Ia bersama keluarganya dulu kerap memesan kerang hijau dan kerang dara. Namun setelah mengetahui Laut Jakarta begitu tercemar, Kris tak mau lagi memesan kerang.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak saya sering kesal karena tidak boleh makan kerang, tapi ya apa boleh buat,” ujar Kris.
Tercemarnya Teluk Jakarta. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Pencemaran di Teluk Jakarta sudah lama menjadi sorotan para aktivis lingkungan. Terang saja, sebab tingkat pencemaran sudah begitu tinggi, mengundang perhatian hingga ke forum internasional.
Berbagai perusahaan yang berdiri di sekitar Teluk Jakarta adalah satu di antara alasan mengapa air laut yang semula biru kini menghitam dan menguarkan bau minyak menyengat.
Tahun 2009, LIPI menyatakan setiap hari tak kurang dari 14 ribu meter kubik sampah masuk ke wilayah perairan di serambi DKI Jakarta itu. Teluk Jakarta seakan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.
Zaenal Muttaqin dari Yayasan Kelestarian Lingkungan Hidup (YKLH) mengatakan polusi yang masuk ke Teluk Jakarta berasal dari limbah rumah tangga atau limbah domestik, limbah perkantoran, dan limbah industri.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, biota laut di Teluk Jakarta pun kena imbasnya. Pencemaran mendegradasi ekosistem mereka. Salah satunya, kerang hijau.
Peneliti Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Etty Riani dalam penelitiannya menemukan konsentrasi merkuri sebesar 40 miligram per kilogram pada kerang hijau. Padahal, batas aman konsentrasi merkuri pada pangan hanya 1 mg/kg.
Tak hanya itu, kadar arsenik yang terkandung dalam kerang hijau Teluk Jakarta mencapai tiga kali lipat dari ambang batas toleransi untuk dikonsumsi.
Kerang hijau dari Teluk Jakarta. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Namun, tampaknya kabar pencemaran Teluk Jakarta dan bahaya pada kerang hijau yang terdampak, tak lantas menyurutkan hobi masyarakat setempat untuk mengonsumsi kerang, entah sebagai camilan atau lauk-pauk pelengkap.
Suep, misalnya. Sebagai seorang penduduk lokal Cilincing yang sudah hampir 26 tahun hidup di sana, amat menyukai olahan kerang hijau. Baginya, kerang hijau adalah makanan bergizi dan baik untuk kesehatan.
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun makan kerang, Suep tak merasa sakit maupun terdampak. Alih-alih sakit, ia menganggap kerang hijau mampu menambah energi baginya agar giat bekerja tiap hari.
“Saya biasa aja makan kerang, enak terus sehat. Kerang bisa menangkal (sendiri) pencemarannya,” kata Suep.
Ia tak menafikkan fakta bahwa kerang hijau Teluk Jakarta sudah tercemar. Namun toh ia merasa tetap sehat, pun rasa kerangnya tetap lezat.
Tak hanya Suep, Iman (23) pun merasakan hal serupa. Dia pernah menjadi seorang penyelam, bekerja memanen kerang hijau saat musim tiba. Jadi, ia tahu betul betapa tercemarnya Teluk Jakarta yang ia selami.
Walau kini sudah tak menjadi penyelam dan tak lagi menggantungkan hidup pada hasil kerang hijau, Iman tetap mengonsumsi kerang hijau untuk makanan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Suep, tak sekali pun ia merasa sakit atau pusing setelah mengonsumsi kerang--yang kerap disebut kijing oleh para nelayan Cilincing.
“Saya gak kenapa-napa makan kijing. Gak ada sakit apa-apa,” kata Iman.
Membersihkan kerang hijau. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Imbas kesehatan secara langsung selepas makan kerang hijau Teluk Jakarta memang tak pernah dirasakan secara langsung oleh masyarakat sekitar.
Dampak mengonsumsi makanan tercemar, menurut Etty, berbeda-beda pada tiap orang. Yang jelas, logam berat merkuri yang ditemukan pada kerang hijau bersifat karsinogenik alias dapat memicu kanker.
Sungguh problematis. Dan ini akibat ulah manusia merusak laut.