Kisah Tardi: Tenggelam Bersama Limbah Teluk Jakarta

24 Agustus 2017 7:08 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ombak sedang ganas. Itulah yang terjadi pada kehidupan keluarga Tardi. Roda perekonomian mereka melambat, tergerus limbah laut.
Bila semula Tardi bisa meraup Rp 2 juta tiap kali masa panen kerang tiba per 3-5 bulan, kini semua itu tinggal kenangan yang ditelan gelombang.
Tardi mengangkat tali kerang hijau. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tardi mengangkat tali kerang hijau. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Tardi mengangkat tali yang “ditempeli” gerombolan kerang hijau. Ia berujar, “Kalau lagi bagus ya gede-gede, kalau jelek begini ya mangap kerangnya.”
Beberapa kerang terlihat menempel erat di tali, lainnya menganga lebar--tak berisi, sedangkan beberapa sisanya masih berumur dua bulan alias belum siap panen.
Tardi jelas kecewa. Bagaimana tidak, bila kerang yang ia ternak selama berbulan-bulan itu diterjang limbah yang lalu mengendap, perlahan mematikan benih-benih kerang--dan harapan Tardi.
Menuju ke rumah Begeng. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menuju ke rumah Begeng. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Jumat (18/8), sehari sesudah Hari Ulang Tahun Republik Indonesia, tim kumparan bergegas menuju Cilincing, Jakarta Utara. Subuh belum berkumandang ketika kami berangkat. Jarum jam masih menunjukkan pukul empat pagi.
ADVERTISEMENT
Saat azan bergema, mobil tumpangan kami berhenti di sebuah gang sempit. Kami lantas berjalan sekitar 500 meter ke dalam, menuju rumah Tardi, seorang bapak dengan sembilan anak yang sudah puluhan tahun menggeluti profesi sebagai nelayan kerang hijau.
Rumah Tardi begitu sederhana. Di salah satu sudut, menggantung jala dan jaring ikan andalannya, sementara di sudut lain, kulit kerang hijau menumpuk, menguarkan bau amis bercampur aroma sampah busuk di pinggir rumahnya.
Hebatnya, bebauan menyengat yang meracuni udara itu sama sekali tak membuat Tardi terganggu. Ia sudah amat terbiasa.
Rumah Tardi (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah Tardi (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Tardi baru bangun tidur saat kami tiba di rumahnya. Dengan mata masih merah, ia bergegas membasuh tubuh di kamar mandi sebelah rumahnya.
Setelah bersalin pakaian dan terlihat cukup segar, Tardi pun beranjak, mengajak kami menuju rumah anaknya, Begeng.
ADVERTISEMENT
“Ayo, naik angkot aja,” ajak Tardi.
Kami sampai di sebuah pasar, dengan jalan cukup lebar yang di pinggir kanan kirinya dipenuhi beberapa truk bermuatan kayu. Truk-truk itu terparkir berjejer.
Hari masih dini. Belum banyak orang berlalu-lalang. Di sudut jalan, terlihat jalur kecil menuju pinggir laut. Di sanalah tempat tinggal Begeng, anak Tardi.
Rumah Begeng dibangun di pinggir laut, disusun dari bambu dan kayu. Bagian belakang rumahnya menghadap ke laut.
Di sana, terparkir dua buah kapal untuk melaut. Kapal-kapal itu biasa dipakai untuk pergi ke tambak kerang milik Begeng di laut.
Sebuah kapal kayu jati milik Begeng yang sudah berumur puluhan tahun, akan mengantarkan kami ke kandang kerang milik keluarganya.
Kapal milik Begeng, anak Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kapal milik Begeng, anak Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Begeng keluar menyambut kami. Perawakannya betul seorang pelaut, lengkap dengan tato dan rambut kemerahan akibat sering terendam air laut dan terpapar sinar matahari.
ADVERTISEMENT
Tak menunggu lama, kami menuju kapal kayu jati yang sudah berumur puluhan tahun. Mari melaut.
Tardi (kiri) dan Begeng (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tardi (kiri) dan Begeng (kanan) (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Hidup sedang tak ramah bagi Tardi dan Begeng. Tardi bercerita, nelayan kerang hijau kini di ambang kesusahan. Mereka kerap dirundung rugi akibat hasil panen kerang hijau yang kualitasnya buruk, bahkan mati menganga akibat limbah.
“Sekarang mah susah. Kadang (kerang hijaunya) bagus, kadang jelek. Kalau lagi hujan tuh limbah-limbahnya dibuang ke laut, air lautnya hitam, kena deh kerangnya,” kata Tardi.
Hasil panen kerang hijau yang kini cenderung buruk kualitasnya, tak pelak menjadi persoalan berat bagi Tardi. Semula, ia bisa menghasilkan setidaknya Rp 2 juta rupiah tiap kali masa panen tiba per 3-5 bulan. Namun kini, semua itu tinggal kenangan.
ADVERTISEMENT
“Sekarang mah boro-boro dua juta, yang ada bangkrut, duitnya nggak ada,” ujar Tardi.
Sayangnya, Tardi merasa tak punya pilihan selain menggantungkan hidup pada benih-benih kerang yang ia ternak, sebab menjadi nelayan telah menjadi bagian dari hidupnya sedari kecil. Keahlian yang terasah dalam diri Tardi pun tak jauh dari menyelam dan berlayar.
Tardi di depan tambak kerang hijau. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tardi di depan tambak kerang hijau. (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Tardi bergumam, kembali mengeluhkan kondisi laut Jakarta yang kini begitu tercemar. Perairan tempat ia menggantungkan hidup itu berwarna hitam pekat, bahkan merah bila hujan mulai turun dan pabrik-pabrik dengan santainya membuang limbah ke Teluk Jakarta.
“Sekarang, noh, airnya item, bau. Jadi gagal panen ya gara-gara itu, airnya,” kata Tardi.
Air hitam Teluk Jakarta, dulu tak demikian. Begeng masih ingat indahnya Teluk Jakarta tahun 1980-an kala ia masih kecil.
ADVERTISEMENT
Namun kini, keindahan Teluk Jakarta tergantikan pekat limbah di perairannya, dengan bau busuk yang tajam menusuk hidung.
“Waktu saya kecil masih ngerasain keindahan Teluk Jakarta karena perusahaan belum ada di bibir pantai. Tapi sekarang mah parah,” kata Begeng.
Begeng, nelayan di Cilincing (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Begeng, nelayan di Cilincing (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Pemerintah sempat menggalakan program pemberdayaan masyarakat pinggir laut Teluk Jakarta, dengan memberikan alat tangkap ikan yang bagus, koperasi nelayan, hingga uang tunai sebagai modal.
Namun nyatanya, berbagai dukungan itu dirasa nelayan Teluk Jakarta tak efektif berdampak. Sebab sebagus apapun alat tangkap ikan hingga pakan yang diberikan, ikan maupun kerang yang hidup di laut Jakarta sudah tercemar.
“Kami, nelayan, walau dikasih program alat bagus, dikasih modal banyak, tapi kalau lautnya sudah tercemar limbah? Susah, udah nggak bisa,” ujar Begeng.
ADVERTISEMENT
Perjalanan 45 menit di laut itu diisi dengan rangkaian kisah Tardi dan Begeng yang berkelindan. Mereka bercerita bergantian.
Kerang hijau dari Teluk Jakarta (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kerang hijau dari Teluk Jakarta (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Menggantungkan hidup pada kerang hijau memang begitu berat. Tak menentunya masa panen dan kualitas kerang membuat Begeng dan Tardi kadang harus mencari tangkapan lain, semisal ikan laut yang kualitasnya pun kerap buruk.
Kandang kerang keluarga Tardi kini tinggal satu, dari semula 10 tambak. Pencemaran limbah di Teluk Jakarta mematikan hampir seluruh bisnis kerang hijau keluarganya. Sembilan kandang lainnya tak lagi bisa ia bayar.
Alih-alih untung, bisnis kerang hijau keluarga Tardi malah bangkrut. Utang pun tak terhindarkan.
Padahal, kalau saja hasil panen berkualitas baik, setidaknya uang Rp 7 juta ada di tangan tiap kali panen. Sayangnya, pencemaran Teluk Jakarta meluluhlantakkan bisnis--dan roda ekonomi--keluarga Tardi.
ADVERTISEMENT
Kerang-kerang hijau yang sedang ditumbuhkan kerap mati akibat ‘terguyur’ limpahan limbah dari barisan pabrik yang berdiri di tepi laut Jakarta. Kalau sudah begini, Tardi dan Begeng hanya bisa pasrah melihat kerang-kerang ternak mereka menganga lebar.
“Siapa yang nggak nangis, mau lebaran tiba-tiba ada limbah, pada mati semua ya kan?” kata Begeng.
Kandang kerang keluarga Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kandang kerang keluarga Tardi. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Sesampainya di kandang kerang, Tardi menyelam untuk mengambil tali dan menunjukkan kerang-kerang yang menempel di bambunya. Beberapa terlihat masih kecil, sedang yang lainnya menganga cukup lebar.
“Yang agak di atas hasilnya lumayan bagus, nih. Cuma yang di bawah, kerangnya nggak bagus soalnya kena endapan limbah,” kata Tardi sembari menunjukkan tali kandangnya yang sudah ditempeli kerang.
“Wah, airnya lagi agak bagus nih. Biasanya merah. Tuh, lihat tuh, ada ikan pada mati,” kata Begeng, menunjuk-nunjuk ke arah sejumlah ikan yang mengambang di sekitar kandang kerang Tardi.
Kondisi sungai yang tercemar (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi sungai yang tercemar (Foto: Utomo Priyambodo/kumparan)
Pemandangan ikan mati dengan limbah sampah plastik mengambang di sekitarnya, menjadi hal yang biasa dilihat Tardi dan Begeng.
ADVERTISEMENT
Pencemaran Teluk Jakarta seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka di pinggir Laut Jakarta selama puluhan tahun. Dan Tardi dan Begeng hanya dua dari ribuan nelayan Teluk Jakarta.
Masyarakat kecil seperti mereka hanya bisa mengarungi gelap kala limbah rumah tangga hingga logam berat pabrik merajai samudra.
Jika orang bilang hidup di Jakarta sungguh berat, ombak hitam Teluk Jakarta bahkan amat ganas.