Melihat Sunat Perempuan di Indonesia: dari Ternate ke Bengkalis

10 Agustus 2017 8:28 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sunat perempuan di Afrika. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Sunat perempuan di Afrika. (Foto: Reuters)
ADVERTISEMENT
Bermula dari sebuah percakapan singkat dengan Rabab, kawan saya yang berasal dari Sudan, timur laut Afrika. Kami bertemu saat sedang menghadiri sebuah konferensi di Edinburgh, Inggris, dan langsung terlibat dalam perbincangan hangat tentang berbagai isu.
ADVERTISEMENT
Rabab ketika itu bercerita tentang sunat perempuan--atau istilah internasionalnya female genital mutilation/cutting (FGM/C). Di negaranya, dan Afrika secara umum, angka kematian perempuan rupanya cukup tinggi akibat proses FGM tersebut. Kebanyakan karena kehabisan darah atau infeksi akibat alat potong yang kotor.
Dari ucapan Rabab, tampak jelas kekhawatirannya yang menggulung. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sesungguhnya telah berupaya menghentikan praktik sunat perempuan sejak 1997. Hingga akhirnya tahun 2008, isu sunat perempuan mulai menyeruak dan menjadi salah satu isu prioritas di dunia kesehatan. Disusul sikap Majelis Umum PBB pada akhir 2012 yang mengadopsi sebuah resolusi untuk menghapus sunat perempuan.
Belakangan, saya sadar sunat perempuan juga banyak dipraktikkan di Indonesia. Saya sendiri tak mengalaminya, dan karena itu mencoba memahami dari cerita-cerita banyak orang, termasuk sahabat karib saya sendiri, Astari, yang berdarah ningrat Jawa dan menjaga tradisi sunat perempuan turun-temurun di keluarganya.
ADVERTISEMENT
Cerita tentang itu sudah saya catat rapi di jurnal berikut.
Seperti saya tulis di akhir kisah tersebut, saya ingin tahu lebih banyak tentang budaya sunat perempuan di Indonesia, tak sekadar di Jawa.
Kebetulan, seorang teman baik memperkenalkan saya pada Ida, perempuan suku Galela dari Halmahera Utara yang dulu tinggal di Ternate, Maluku Utara. Ia mau bercerita tentang adat sunat perempuan di tanah leluhurnya itu.
Ida kini tak lagi tinggal di Ternate. Ia menetap di Jakarta. Kami bertemu jam makan siang di kantor Ida, kawasan Senayan Bawah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Saya datang dengan notes, pena, dan secarik kertas di tangan berisi deret pertanyaan yang sudah saya siapkan. Begitu kami bertemu, saya segera duduk di depan Ida dengan antusiasme seorang penonton film dan pendengar cerita.
ADVERTISEMENT
Berbincang dengan Ida. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Berbincang dengan Ida. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Semasa kecil di Ternate, Ida pernah menjadi saksi prosesi sunat pada adik perempuannya.
“Sebetulnya, saat itu saya tidak tahu Ibu sedang apa.”
Ida ingat, dia sedang berdiri di sebelah adiknya yang kala itu masih berumur dua bulan. Ia asyik memainkan tangan si adik bayi. Selanjutnya, ibu mereka masuk ke kamar selepas mengambil air wudu dan membersihkan diri.
Sang ibu terlihat bersiap-siap, kemudian menyunat adik Ida. Pada titik ini, ingatan Ida memburam. Ia belum paham apa yang dilakukan ibunya saat itu.
Ida kemudian bertanya pada ibunya tentang momen itu, dan mendapat jawaban yang sesungguhnya sudah ia duga. Ibunya baru menyunat adik Ida.
Ibu Ida menjelaskan, sunat perempuan telah lama menjadi tradisi di keluarga mereka. Ia juga dipesankan agar menjaga ritual itu, jangan terputus di hari depan.
ADVERTISEMENT
Ida sendiri tentu disunat. “Waktu umur aku enam bulan,” ujarnya.
Ia disunat oleh seorang nenek bernama Halizah--perempuan yang dituakan dan dipercaya di lingkungan keluarganya.
Nenek Halizah menyunat bayi-bayi perempuan dengan pisau yang ujungnya melengkung. Ujung pisau digoreskan ke ujung klitoris--daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung atas lubang vagina.
Ida disunat saat bayi. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ida disunat saat bayi. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Pada keluarga Ida dan sebagian besar masyarakat Indonesia, sunat bagian dari budaya, dan dilakukan oleh lelaki maupun perempuan. Sunat menjadi simbol pemuliaan perempuan.
“Kami di Ternate rata-rata lebih untuk menjalankan syariat agama. Di sana, wajib hukumnya laki-laki dan perempuan disunat,” kata Ida.
Berdasarkan data UNICEF tahun 2016, Maluku Utara menjadi salah satu provinsi yang memiliki angka sunat perempuan tinggi di Indonesia. Prevalensi sunat perempuan di wilayah itu mencapai 51 hingga 80 persen.
ADVERTISEMENT
Tapi tunggu dulu, ada perbedaan besar antara praktik sunat perempuan yang jamak dilakukan di Afrika, benua tempat tinggal kawan saya Rabab, dengan di Ternate dan Indonesia umumnya.
Metode sunat perempuan yang diterapkan di Ternate adalah dengan menggores klitoris, tanpa sedikitpun memotongnya. Cara ini dinilai sebagai salah satu bentuk sunat perempuan yang paling ramah, tanpa berniat menyakiti si anak perempuan.
Di Ternate, sunat dipandang sebagai gerbang menuju keislaman yang lebih baik. Anak-anak perempuan yang disunat, dipestakan sesaat setelah proses sunat usai. Nasi tumpeng dan berbagai sajian khas Ternate dihidangkan sebagai pelengkap seremoni.
Ida memutar kenangannya lebih jauh. Ia ingat, usai disunat, lantas berganti busana. Pakaian pesta cantik dikenakan ke tubuhnya. Ia dimuliakan.
ADVERTISEMENT
“Didandanin, dipakaikan baju bagus, didudukkan kaya orang nikahan, terus ada nasi kuning, lalu disalam-salamin. Jadi ada hajatannya (resepsi/selamatan),” ujar Ida.
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Usai berbincang dengan Ida, saya mengobrol dengan Kartika Sari, seorang Melayu asal Bengkalis, Riau, yang tahun lalu menyunatkan anak perempuannya.
Pada 2016, Sari--panggilan akrab Kartika Sari--menyunatkan bayi perempuannya yang ketika itu berumur 2,5 bulan ke salah satu bidan di kampungnya, Bengkalis.
Semula, tak terlintas di pikiran Sari untuk menyunatkan anaknya. Tapi ibunya--nenek bocah perempuannya--meminta Sari menyunatkan si bayi.
“Saat umur Nisya 2,5 bulan dan sudah bisa diajak keluar, kakak saya membawa Nisya untuk ditindik. Nah, kata ibu sekalian saja disunat,” ujar Sari.
Bengkalis ialah salah satu daerah dengan tradisi dan agama yang kuat mengakar. Di sana, sunat perempuan lumrah, bahkan wajib dilakukan, entah melalui “bidan kampung” atau bidan dengan ijazah pendidikan kesehatan resmi.
ADVERTISEMENT
Setahu Sari, budaya sunat perempuan Melayu Bengkalis dilakukan dengan memotong bagian ujung klitoris--seperti di Ternate.
“Yang dipotong itu gak seberapa, cuma ujungnya saja. Anaknya nggak nangis, mungkin nggak kerasa. Di ujungnya itu langsung macam ada kayak seutas benang gitulah. Langsung diletakkan di kain kasa,” kata Sari.
Sari menganggap sunat perempuan di daerahnya sebagai salah satu bagian dari pemenuhan agama. Baginya, tak ada salahnya menjalankan satu hal, yang menurut keyakinannya, dianjurkan agama.
“Menurut kakak saya sih nggak apa-apa, selagi yang dipotong itu nggak kebanyakan. Malah kan lebih senang kalau melaksanakan anjuran agama,” ujar Sari.
Melihat tradisi sunat perempuan di Indonesia (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Melihat tradisi sunat perempuan di Indonesia (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Kiai Haji Imam Nakha’i yang juga Komisioner Komnas Perempuan, berpandangan Islam sesungguhnya tidak memerintahkan untuk melakukan khitan perempuan.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya, sunat perempuan sebetulnya bagian dari tradisi yang telah ada jauh sebelum Islam. Dan itu dilakukan di berbagai negara, dengan berbagai motif dan bentuk, sebagian melampaui batas, sampai memotong alat kelamin perempuan--yang dalam tradisi Islam disebut khitan firauni (khitan ala firaun dengan memotong klitoris seluruhnya),” kata Kiai Nakha’i saat kami berbincang di lain hari.
Khitan firauni itu, ujar sang kiai, amat kejam dan bisa mematikan syahwat perempuan. Sunat perempuan jenis ini, menurut kategorisasi WHO, bisa masuk jenis klitoridektomi atau eksisi.
Klitoridektomi ialah pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris, termasuk lipatan kulit di sekitar klitoris. Sementara eksisi adalah pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora (lipatan dalam pada bagian luar vagina), dengan atau tanpa pengangkatan labia majora (bibir vagina)
ADVERTISEMENT
“Islam sebagai agama rahmat kepada seluruh umat manusia, kemudian melarang prakti khitan firauni itu. Jadi Islam tidak dalam konteks memerintahkan khitan, karena khitan jauh terjadi sebelum Islam. Islam datang lalu mengatur agar khitan yang sudah mentradisi cukup panjang, tidak dilakukan sewenang-wenang,” ujar Kiai Nakha’i.
Ini misalnya tertuang pada Hadis Riwayat Al Khatib dalam Tarikh 5/327, “Apabila engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit. Jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”
H.R Abu Dawud pun berbunyi, “Jangan berlebihan dalam mengkhitan, karena akan lebih nikmat (ketika berhubungan seksual) dan lebih disukai suami.”
Peralatan untuk menyunat. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peralatan untuk menyunat. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Lebih detail, ahli fikih Imam Al Mawardi menyatakan, “Khitan bagi wanita adalah memotong kulit pada kemaluan yang berada di atas lubang tempat masuknya penis dan keluarnya kencing, di atas pangkal yang berbentuk seperti biji. Pada bagian tersebut, kulit yang menutupinya diangkat, bukan pada bagian pangkal yang berbentuk biji.”
ADVERTISEMENT
Kiai Nakha’i menjelaskan, meski sesama muslim pun, penafsiran penganutnya berbeda-beda, termasuk dalam urusan sunat perempuan. Ada yang meyakininya wajib, ada yang menganggapnya sunah, ada pula yang memandang tak wajib dan bukan sunah.
“Tiap ulama bisa beda pendapat. Kalau saya meyakini, tidak ada sunah yang memerintahkan sunat perempuan. Dalam hadis pun tidak ada perintah untuk khitan perempuan. Yang ada untuk mengatur bagaimana khitan dari tradisi sebelumnya tidak melampaui batas,” kata Kiai Nakha’i.
Sebagian orang Jawa menerapkan sunat perempuan. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sebagian orang Jawa menerapkan sunat perempuan. (Foto: Nur Syarifah/kumparan)
Praktik sunat perempuan di Indonesia, selain di Ternate dan Bengkalis, mengakar pula di Jawa dan Sulawesi. Bertajuk upacara tetesan, sebagian masyarakat Jawa percaya sunat perempuan menjadi salah satu proses pendewasaan seorang anak hingga menjadi perempuan seutuhnya.
Ritual tetesan melingkupi proses sunat, disambung acara mendandani si anak--memakaikan busana dan riasan pesta. Dalam seremoni itu, sejumlah hidangan tradisional seperti jenang putih, jenang merah, jenang boro-boro, hingga tumpeng gundul menjadi sajian penting.
ADVERTISEMENT
Belakangan, saya menemukan perbedaan antara upacara tetesan di Jawa dengan prosesi sunat di Ternate, Bengkalis.
Dalam upacara tetesan, sunat tidak dilakukan dengan memotong bagian dari klitoris, melainkan hanya menggunakan kunyit dan antiseptik guna membersihkan vagina si anak.
Bekas kapas yang digunakan untuk membersihkan vagina lalu diletakkan di sebuah tempat khusus terbuat dari tanah liat, kemudian dikubur di tanah atau dilarung ke sungai.
Upacara tetesan menekankan pada simbolisasi sunat perempuan yang dilakukan dengan membersihkan vagina tanpa sedikitpun melukai dan memotong bagian dari klitoris.
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sunat perempuan. (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Tak semua orang Jawa melakukan upacara tetesan versi ini. Ada pula yang menggores klitoris si anak perempuan. Ada pula yang sama sekali tidak menerapkan sunat pada anak perempuannya. Semua, pada akhirnya, kembali pada keyakinan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sementara di Makassar, Sulawesi Selatan, sunat bocah perempuan Bugis dikenal dengan sebutan makkatte’, dan prosesnya disebut appasunna. Pada seremoni ini, anak perempuan pun dipakaikan riasan pesta dan baju bodo setebal tujuh lapis sebagai simbol kehidupan yang sukses di masa depan.
Bedanya dengan tetesan, sunat pada makkatte’ dilakukan betulan, menggunakan silet atau gunting guna menggores bagian klitoris.
Selanjutnya, seperti pada adat Jawa, si anak dibopong ayahnya menuju tempat tinggi, sebagai perlambang harapan agar anak perempuan tersebut berpengetahuan tinggi, berwawasan luas, dan dapat menjalankan ibadah dengan baik.
Wah, semua itu menarik buat saya. Budaya Indonesia yang amat kaya menyajikan beragam tradisi, pun pandangan, “hanya” untuk soal sunat perempuan.
Tapi, ada yang masih membuat saya penasaran: rumor atau pendapat yang menyebut sunat perempuan perlu dilakukan untuk menekan nafsu berahi.
ADVERTISEMENT
Ah, masa iya? Saya akan mencari tahu lebih lanjut soal ini.
Mengobrol dengan Astari, perempuan yang disunat. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mengobrol dengan Astari, perempuan yang disunat. (Foto: Syarifah Sadiyah/kumparan)
Oh ya, buat kamu yang ingin berbagi cerita, pengalaman, atau urun pendapat pro maupun kontra--bebas saja--tentang tradisi sunat perempuan yang mungkin ada di keluarga dan lingkungan sekitarmu, boleh banget loh.
Kamu bisa menulis cerita sendiri lewat akun kumparan kamu. Kalau belum punya akun kumparan, yuk bikin. Nggak susah kok. Sila klik panduan berikut: Q & A: Cara Membuat Akun & Posting Story di kumparan
Jangan lupa masukkan topik Sunat Perempuan saat mem-publish story, ya.
Kami tunggu cerita kamu ;)
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.