Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
PING!!
Bunyi notifikasi di gawai pintarnya berbunyi.
X has posted a photo! Take a look!
ADVERTISEMENT
Notifikasi itu mengajaknya untuk membuka laman profil kawan Facebook itu --yang entah ia kenal secara nyata atau maya. Ia pun akhirnya tergoda untuk melihat. Satu, dua klik, lalu laman profil kawannya terbuka. Di sana, terpampang fotonya bersama pasangan di sebuah taman ria termahsyur di bumi Amerika. Sejenak ia berpikir, “asyik sekali, ya,”
Tak berhenti sampai push notification, Facebook hari itu menampilkan sebuah laman yang berisi foto-foto lamanya, lengkap dengan keterangan kapan foto tersebut diambil, diunggah, dan tanda siapa orang yang ada dalam foto tersebut. Di bawah foto-foto tersebut, muncul beberapa opsi mengenai apa yang si pengguna ingin lakukan dengan foto tersebut: dibagikan kepada kawan-kawan di Facebook, atau ‘lupakan’ begitu saja.
ADVERTISEMENT
Ia memilih untuk lupakan begitu saja. Ia pun beranjak untuk menengok sejenak ke akun instagramnya. Di linimasa, terpampang satu, dua, tiga foto teman-temannya yang berpesta ria semalam. Sayang, ia harus melewatkan pesta tersebut. Rasa sesal sesaat menyergap. Andai aku ikut, katanya dalam hati. Kawan-kawannya terlihat begitu bahagia, sementara dirinya hanya bisa menyesal.
Lalu, ada lagi foto salah seorang kawan yang baru saja tiba di tanah Eropa yang muncul di linimasanya. Lagi-lagi, perasaan iri menyergap dirinya. Ingin rasanya bisa terbang ke sana juga, lalu menikmati pemandangan Eropa yang luar biasa cantik.
Cerita ini mungkin hanya salah satu dari jutaan cerita lain yang dirasakan oleh pengguna media sosial. Perasaan iri ketika melihat teman begitu bahagia dalam foto yang diunggah di laman media sosialnya, perasaan tertekan karena teman berhasil mendapatkan penghargaan, hingga perasaan kesal yang muncul karena teman-teman sudah mulai bertunangan dan menikah sementara kamu masih sendiri saja menjadi contoh kondisi yang cenderung dirasakan oleh para pengguna media sosial yang cukup intens.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga dirasakan oleh Bunga (bukan nama asli), yang baru saja minggu lalu mendeaktivasi akun Facebooknya. Ia adalah seorang pekerja yang berkarya di bidang hubungan masyarakat, sehingga harus berhadapan dengan banyak pihak dari berbagai perusahaan dan kepentingan. Tak jarang, ia bertemu dengan orang-orang dengan berbagai karakter --mulai dari yang ramah, emosional, penuh drama, hingga yang suka mengunggah foto maupun tulisan berturut-turut dalam satu waktu.
Ia pun mulai jengah. Rasa kesal juga kerap menyerang, terlebih ketika ia ‘harus’ melihat berbagai unggahan yang tak ia sukai. Entah mungkin berisi pesan politis, atau sekadar drama yang terus menerus ceritakan gerutu atau rasa sedih. Lantas kalau sudah kesal karena buka media sosial, hari itu pun akan terus dipenuhi rasa kesal yang terbawa.
ADVERTISEMENT
Ia paham betul, keputusan untuk kemudian melakukan deaktivasi terhadap akun pribadinya bukanlah pilihan yang salah yang boleh ia ambil.
Fenomena depresi yang kerap mengakar dalam diri para pengguna sosial media akibat terlalu lama terpapar pada konten yang dibagikan oleh orang lain memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tak jarang ada pengguna yang terus menerus merasa tertekan dan perlu untuk ‘bersaing’ di dunia maya.
Untuk menghindari hal seperti ini, maka terdapat sebuah upaya yang disebut dengan social media detox. Langkah yang dilakukan cukup sederhana: tidak menggunakan media sosial apapun dalam jangka waktu yang sudah ditentukan oleh diri sendiri dan sepenuhnya komitmen terhadap upaya tersebut. Dalam proses social media detox, akses terhadap media sosial harus dinihilkan. Mungkin, bisa dengan uninstall aplikasi terkait. Namun, lagi-lagi semua kembali pada komitmen masing-masing pelaku.
ADVERTISEMENT
Social media detox pun semakin marak dilakukan. Salah satunya adalah oleh Jason Zook. melalui laman pribadinya yang berjudul jasondoesstuff.com, ia membagikan pengalaman 30 hari tanpa menggunakan media sosial apapun --instagram, facebook, twitter. Hanya email dan blog-lah yang kerap ia akses selama proses detoksifikasi. Dari rangkaian ceritanya, Jason menuturkan bahwa ia merasa begitu produktif dan bisa menyelesaikan banyak pekerjaan dalam satu waktu tanpa harus distraksi akibat ‘kebutuhan’ untuk sekadar menengok linimasa media sosial.
“Produktivitas, perhatian, dan kejernihan dalam berpikir meningkat begitu drastis setelah hidup tanpa media sosial selama satu bulan. Rasanya seperti menghancurkan kebiasaan buruk dalam jangka waktu yang cukup singkat,” ungkap Jason melalui blog nya.
Di hari-hari pertama, menghindari media sosial memang terasa cukup sulit. Ketika terbiasa saat bangun tidur lalu berjalan dan melihat instagram, kini digantikan dengan kegiatan ‘membosankan’ seperti merebus air dan membuat kopi. Facebook yang awalnya menjadi sumber informasi kini mau tidak mau ‘sementara’ digantikan oleh koran cetak yang terhampar manis di meja makan.
ADVERTISEMENT
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan bebas dan lega yang dirasakan ketika satu persatu aplikasi media sosial mulai dihapus dari gawai. Perasaan terikat kini mulai terurai, digantikan dengan rasa bebas karena tak perlu lagi ambil pusing tentang apa yang orang lain bicarakan.
Dalam proses detoksnya, Jason pun menuturkan bahwa beberapa kali ia kerap gemas dan ingin membuka akun media sosialnya. Namun rasa gemas itu kemudian teralihkan dengan menonton tayangan televisi yang menyiarkan pertandingan bola tim kesayangannya, juga film yang belum pernah ia tonton sebelumnya.
Apa yang dilakukan oleh Jason tentunya dapat menjadi salah satu cara untuk mengurai rasa penat, kesal, sedih, hingga depresi yang dirasakan akibat terlalu lama terpapar media sosial. Detoksifikasi media sosial dapat dilakukan dengan proporsi yang dianggap sesuai dengan masing-masing pribadi.
ADVERTISEMENT
Tentunya, melakukan detoksifikasi media sosial tak hanya akan membantu untuk mengurasi perasaan tidak nyaman yang muncul, namun juga mampu membantu untuk fokus dan semakin produktif dalam pekerjaan sehari-hari.
Ada beberapa aplikasi yang dapat membantu untuk mengeliminasi konten negatif dalam media sosial dan tentunya membantu untuk fokus ketika mengerjakan pekerjaan, seperti StayFocusd Chrome Extension yang dapat dipasang di mesin pencari dan membantu untuk membuat limitasi akses terhadap media sosial, atau OuraPact yang digunakan untuk blokir media sosial yang ada di gawai.
Namun, terlepas dari canggihnya sebuah aplikasi untuk dikembangkan dan dibentuk guna membantu filterisasi konten media sosial, adalah kebijakan masing-masing individu yang menjadi kunci utama.