Panas Dingin Hubungan Cikeas - Istana

22 Maret 2017 17:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jokowi dan SBY di istana. (Foto: Biro pers istana)
Cinta tapi benci. Tepatkah kalimat ini untuk menggambarkan hubungan Jokowi dan SBY? Bisa jadi. Beberapa waktu lalu, Jokowi mengundang SBY untuk hadir ke istana. Gestur yang diperlihatkan keduanya pun seakan akrab dan hangat --sehangat teh manis yang dinikmati keduanya di Istana Negara.
ADVERTISEMENT
‘Rujuknya’ SBY dan Jokowi memang menjadi bahan pembicaraan yang sangat hangat, apalagi momen ini terjadi setelah sebelumnya hubungan kedua tokoh sempat memanas akibat situasi politik pilgub Jakarta dan serangan Antasari terhadap SBY yang ‘diduga’ adalah bagian dari permainan politik belakang layar yang melibatkan Jokowi.
Sebenarnya, bagaimana pasang surut kisah keduanya?
SBY Tour de Java yang diadakan tahun lalu menjadi salah satu titik yang menggambarkan pasang surut hubungan SBY - Jokowi. Tur yang diadakan selama 16 hari tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang diadakan oleh SBY bersama kader Demokrat untuk bertemu dan ‘mendengarkan’ aspirasi rakyat menjelang Pilkada serentak 2017.
Di dalam tur tersebut, terdapat beberapa pernyataan yang dilontarkan oleh SBY mengenai pemerintahan baru di bawah Jokowi. Nada pernyataan tersebut memang ‘terasa’ seperti sindiran, lengkap dengan aroma nyinyir tersirat khas SBY. Ungkapnya, pemerintah sebaiknya tidak menguras anggaran negara terlalu banyak di sektor infrastruktur, terlebih lagi saat kondisi ekonomi negara sedang lesu dan lemah.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan SBY, bila dana digelontorkan secara besar-besaran untuk infrastruktur, maka pajak pun akan dikuras habis untuk menutup kebutuhan pembangunan. Padahal, menurutnya, bila pajak dikuras hingga habis, maka ekonomi justru terhambat pertumbuhannya. Perusahaan-perusahaan bisa terancam bangkrut, mengancam ekonomi negara menjadi semakin menunduk sampai-sampai tiarap.
“Saya paham bahwa kita juga perlu membangun infrastruktur, dermaga, jalan tol (laut), saya setuju. Namun, pengeluaran sebanyak itu bisa didapat dari mana? Tentunya dari pajak sebanyak-banyaknya, padahal ekonomi negara sedang lunglai,”
Tak lama berselang --hanya dua hari sejak kritik SBY dilayangkan--, Presiden Jokowi ‘mendadak’ sidak proyek pusat olahraga di Hambalang, Bogor.
Setibanya di sana, Jokowi mengungkapkan kesedihannya saat melihat kondisi proyek pusat kegiatan olahraga yang mangkrak dan hilang sudah detak pembangunannya. Pemerintah pun tengah berupaya untuk menyelamatkan aset dengan berbagai cara.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mewah, proyek besar Hambalang senilai Rp 2,5 triliun itu terlihat seram di malam hari. Di siang hari, proyek mewah itu terlihat begitu sepi dan sunyi.
Ya, uang negara Rp 2,5 triliun tersebut akhirnya teronggok di proyek Hambalang, tak terdengar lagi suaranya.
SBY saat konferensi pers di Wisma Proklamasi. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Di masa kampanyenya, Jokowi dan Jusuf Kalla menggadang-gadangkan jargon ‘revolusi mental’. Jargon ini merujuk pada upaya perombakan mental bangsa yang masih begitu pekat dengan semangat ‘gotong royong’ dan ‘bantu teman’ dalam urusan ‘proyek negara’. Belum lagi, mental birokrasi negara yang masih begitu top to down dan ruwet, sehingga memicu banyaknya praktik pencaloan dan KKN yang tak ada hentinya.
Hingga akhirnya pasangan ini terpilih menjadi pemenang pemilu dan menjabat Presiden dan Wakil Presiden, jargon ‘revolusi mental’ terus digaungkan. Namun, bukan ‘politik’ namanya bila tidak ada keusilan yang dilemparkan satu politisi ke yang lain.
ADVERTISEMENT
Jargon ‘revolusi mental’ pun tak terhindar dari kritik yang menyatakan bahwa ‘revolusi mental’ belum terasa hingga saat ini. Jargon ini pun dianggap sudah usang, karena mirip dengan jargon yang diusung Karl Marx di abad ke-18.
Jokowi saat itu tak banyak bicara mengenai sindiran yang dilemparkan pada dirinya. Seperti biasa, gestur politik ‘senyum santun’ andalannya lah yang dilemparkan untuk menanggapi sindiran tersebut.
SBY kembali emosi, kali ini karena ia merasa privasinya telah dilanggar. Masalah ini terkait dengan kabar penyadapan percakapannya dengan Ketua MUI Ma’aruf Amin melalui telepon yang terjadi pada Oktober 2016. Masalah ini muncul saat dalam persidangan Ahok, terdapat pernyataan Ahok yang menyinggung percakapan SBY dengan Ma’aruf Amin melalui telepon.
ADVERTISEMENT
Ahok, Ma'ruf Amin, SBY. (Foto: Dok. kumparan dan Facebook SBY)
Lantas, SBY pun merasa bahwa dirinya disadap. Ia pun menggelar konferensi pers untuk memberi penjelasan ke publik dan memberikan beberapa pernyataan. Pertama, SBY merasa bahwa ia ingin bertemu dengan Presiden Jokowi, namun ada beberapa pihak yang menghalangi dirinya untuk bertemu dengan sang Presiden.
Ia pun membahas bahwa tindakan penyadapan --yang belum terang kejelasan dan buktinya-- sebagai salah satu tindakan yang ilegal. Namun, ia tidak melaporkannya kepada polisi karena bukan termasuk delik aduan. Permohonan pun dilayangkan pada pihak Ahok dan pengacara agar transkrip rekaman percakapannya dengan Ma’ruf Amin tidak dipelintir.
Tak hanya itu, SBY pun menyatakan permohonan pada Jokowi agar menelusuri pihak-pihak yang telah lancang menyadap dirinya.
ADVERTISEMENT
Kasus ini sesungguhnya masih menyisakan tanda tanya: siapakah yang sesungguhnya melakukan penyadapan tersebut? Siapa yang memerintahkan? Dan betul kah isi dari percakapan tersebut?
Februari lalu, rumah SBY di Kuningan tiba-tiba ‘digerudug’ oleh ratusan mahasiswa yang menuntut untuk menangkap SBY. Demonstrasi ini terjadi di area rumah pribadi, sehingga dianggap sebagai salah satu pelanggaran hak privasi.
Para mahasiswa datang dengan menumpang belasan bus dan metromini, serta menggunakan atribut mahasiswa. Orasi pun dilancarkan dalam demo tersebut, menyerukan tuntutan untuk mengusur dan menangkap SBY. Polisi pun akhirnya membubarkan demonstrasi tersebut, walau memang pasukannya datang agak terlambat.
Mahasiswa demo di depan rumah SBY. (Foto: Nikolaus Harbowo/kumparan)
SBY merasa bahwa tindakan ini adalah sebuah ketidakadilan bagi dirinya. Ia menggarisbawahi ‘rumah pribadi’ yang menjadi sasaran demonstrasi mahasiswa tersebut. Ia pun lantas mempertanyakan haknya untuk tinggal di negeri sendiri.
ADVERTISEMENT
Diduga, demonstrasi mahasiswa ini dipakai sebagai kendaraan politik sejumlah elitis untuk menggoyahkan dan mengganggu nama baik SBY. Beberapa spekulasi terhadap partai tertentu pun sempat dilayangkan, walau akhirnya hilang tanpa jejak karena tidak diketahu asal usul dugannya.
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar akhirnya dinyatakan bebas murni setelah pemberian grasi oleh Presiden Jokowi pada Januari lalu. Pembebasan Antasari Azhar dianggap sebagai angin sejuk bagi proses pengusutan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Tak lama berselang setelah dirinya dibebaskan, Antasari membuat pernyataan di media, mengungkapkan beberapa nama yang menurutnya adalah pihak-pihak yang terlibat dalam kriminalisasi dirinya di kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Di dalam pernyataan Antasari, ada nama SBY dan Hary Tanoe.
ADVERTISEMENT
SBY ketika konferensi pers di Mega Kuningan. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.)
SBY pun tidak tinggal diam. Segera, sebuah konferensi pers digelar untuk ‘klarifikasi’ pernyataan yang sudah dengan jelas menyerang dirinya dan dikaitkan dengan kasus pembunuhan tersebut. Dalam konferensi pers tersebut, SBY merasa terpojokkan dan dituduh secara asumtif dan tidak memiliki basis bukti yang kuat. Karena momen pembebasan dan penyerangan oleh Antasari ini terjadi pada momen mendekati Pilgub Jakarta.
SBY juga menduga grasi yang diberikan Jokowi kepada Antasari adalah salah satu bentuk permainan politik guna menurunkan elektabilitas dan menjatuhkan pasangan Agus - Silvy.
Lalu, tak lupa SBY juga menekankan bahwa ia mempersilakan pihak-pihak terkait untuk membongkar dan kembali mengusut kasus ini. Keadilan harus diceritakan kembali apa adanya, katanya.
Presiden Jokowi pun turut memberikan sepatah dua patah kata , menyatakan bahwa grasi yang diberikan untuk Antasari sesungguhnya sudah sesuai dengan prosedur dan pertimbangan oleh Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, setelah rangkaian sindiran dan nyinyiran yang saling dilayangkan pada satu sama lain, hubungan SBY dan Jokowi sempat mendingin dan rujuk kembali. Undangan makan siang bersama di Istana Negara pun diterima SBY. Keduanya tampak hangat dan ‘mesra’ menyesap teh manis di balkon Veranda.
Namun, romantisme Veranda Talk yang terjadi pada 9 Maret lalu nyatanya tak bertahan lama. Hubungan keduanya kembali memanas akibat perkara mobil kepresidenan.
SBY kembali merasa dirinya dipojokkan karena masih memakai mobil kepresidenan meski tidak lagi menjabat sebagai presiden.
Mobil Presiden Indonesia. (Foto: Muhammad Iqbal/kumparan)
Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala menyebut SBY meminjam mobil Kepresidenan sejak Jokowi dilantik secara resmi menjadi Presiden pada Oktober 2014. Mobil tersebut adalah Mercedez Bens S600.
ADVERTISEMENT
Djumala pun memastikan bahwa SBY saat ini telah beritikad untuk mengembalikan mobil tersebut.
Namun, reaksi masyarakat pun akhirnya berbeda dalam menanggapi kasus ini. SBY dipandang ‘meminjam’ dan masyarakat banyak berpendapat bahwa sudah seharusnya fasilitas tersebut dikembalikan setelah dirinya lengser dari kursi kepresidenan.
Sejauh ini, pihak SBY tengah mengurus proses administrasi pengembalian mobil itu kepada Sekretariat Negara. Tentunya, ini guna menghindari anggapan yang semakin miring dari masyarakat luas.
Dinamika hubungan Cikeas dengan Istana memang sering kali memanas dan kembali dingin --walau lalu memanas kembali.
Sayang sekali, manisnya teh hangat yang tempo hari dinikmati saat Veranda Talk pun akhirnya seakan hilang tak berbekas ditelan pahit sindir dan nyinyir.
ADVERTISEMENT