Konten dari Pengguna

Pandemi Tidak Membendung Prestasi Film Indonesia

Maria Kusumanegari
Peserta Sesdilu 72. Saat ini bekerja di Kementerian Luar Negeri. Memasak sebagai hobi. Sesekali menulis puisi.
20 Mei 2022 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Kusumanegari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keyword: Pandemi, Prestasi, Film, Indonesia
(Tulisan ini merupakan karya bersama peserta Sesdilu-72 Kementerian Luar Negeri, yaitu Rizqi Adri Muhammad, Aris Kurniawan, Yati Marlinawati, Maria Kusumanegari, Dhanny Arifin) “Lights, camera, dan… kembali isoman”. Mungkin itu yang terbayang ketika menilik situasi industri film dalam negeri di masa pandemi. Proses produksi film yang melibatkan crew cukup banyak, pastinya terhambat kebijakan PPKM, biaya prokes yang membebani production cost, atau bahkan rasa takut karena harus bekerja dengan sekelompok manusia lainnya. Ketika aktivitas perkantoran dan sekolah bisa dilaksanakan secara virtual, sulit dibayangkan industri film dilakukan dengan cara yang sama. Kalau acara virtual nonton bareng (nobar), mungkin masih bisa. Tapi itupun terasa masih kurang greget tentunya, karena belum ada yang bisa menggantikan pengalaman dan sensasi tersendiri ketika menonton film di bioskop.
ADVERTISEMENT
Di suatu diskusi pada bulan Maret 2021, sutradara dan produser film ternama Joko Anwar berbagi cerita bahwa revenue industri film Indonesia itu 90% masih dari penjualan tiket bioskop. Sisa 10% revenue lainnya dari streaming platform dan konten lainnya. Joko sampai menyebutkan bahwa karena pendapatan dan job industri film turun drastis di masa pandemi, para pelaku film banyak yang terpaksa jualan makanan atau usaha kecil-kecilan.
Budi Irawanto, dosen UGM dan juga Presiden Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) menyebutkan pada tahun 2019 industri film Indonesia menghasilkan pendapatan sekitar Rp. 2 triliun dengan rata-rata produksi sekitar 140 judul per tahun. Saat pandemi, sekitar 30 film ditunda atau bahkan dihentikan produksinya sehingga berakibat kerugian mencapai Rp. 200 miliar per bulan. Situasi sedemikian suramnya, insan pelaku film sampai melayangkan surat ke Presiden Jokowi menjelang Hari Perfilman Nasional tahun 2021 meminta pemerintah turun tangan bangkitkan perfilman Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sepinya penonton juga langsung berdampak ke bioskop. Ingat adegan commuter line yang diperankan Julie Estelle di film The Raid 2? Nah seperti itu kira-kira sadisnya dampak pandemi bagi industri bioskop yang menjadi lahan penghidupan sekitar 12.000 pekerja di Indonesia. Cobaan juga semakin pelik ketika pemerintah terus merubah kebijakan dari yang awalnya PSBB, PPKM, kebijakan 50% di bioskop, dan sebagainya. Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menjerit supaya bioskop dibuka. Sementara PT. Graha Layar Prima, pengelola jaringan CGV, mencatat kerugian Rp.455 miliar di tahun 2020 dan rugi lagi Rp.168 miliar di semester I tahun 2021.
Pandemi dan Film Indonesia
Pandemi Covid-19 habis-habisan menghajar industri kreatif Indonesia. Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang diterapkan pemerintah untuk membatasi intensitas penyebaran Covid-19 turut berimbas dalam bentuk penghentian segala aktivitas di bioskop. Tidak butuh waktu lama, penghentian ini membawa akibat turunan, yaitu kesulitan produksi dan kehilangan massa penonton. Angka 1 juta penonton menjadi target yang ambisius. Ini dinilai sangat buruk, apalagi jika dibandingkan dengan saat sebelum pandemi, di mana penonton sebuah film di bioskop mudah meraih 1-5 juta penonton.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020, bisnis film masih sempat menikmati hasil positif sebelum adanya kekhawatiran terhadap pandemi di Indonesia. Hingga pertengahan Maret 2020, film Indonesia seperti ‘Mariposa’, masih mengumpulkan lebih dari 740 ribu penonton dalam waktu kurang dari dua minggu tayang. Bahkan film ‘Milea: Suara dari Dilan’ mengumpulkan 3,1 juta penonton dalam waktu empat minggu.
Keadaan berubah menjadi suram tidak lama Presiden Joko Widodo menetapkan perlunya gugus tugas khusus untuk mempercepat penanganan pandemi sebagai bagian dari tragedi global. Terlihat lebih ironis, ketika menyadari kejatuhan drastis dunia film ini terjadi menjelang peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret.
Pukulan ini sangat telak bagi perfilman Indonesia, yang terlihat dari perbandingan jumlah penonton di bioskop di tahun 2019 dan 2020. Film dengan jumlah penonton di atas pada tahun 2019 mencapai 15 judul film, sementara di tahun 2020 hanya tercapai seperlimanya (3 judul). Penurunan juga terjadi pada kelompok film dengan jumlah penonton di kisaran 100 ribu hingga 1 juta, di mana pada tahun 2019, jumlahnya mencapai 58 judul, namun turun 77,6% hingga hanya berjumlah 13 judul di tahun 2020. Sementara pada kelompok film dengan jumlah penonton di bawah 100 ribu, penurunan mencapai 62,1%, dari 55 judul pada 2019 menjadi 19 judul pada 2020.
ADVERTISEMENT
Kehilangan potensi pendapatan industri film tahun 2020 mencapai Rp 1,6 triliun dari hilangnya potensi pendapatan tiket bioskop. Angka ini, belum memperhitungkan kerugian dari sisi pertambahan biaya atau bahkan kerugian karena kegagalan produksi film.
Film Indonesia yang Tayang di Masa Pandemi
Industri perfilman tentu saja menjadi salah satu sektor yang sangat terpukul akibat pandemi Covid 19. Kebijakan pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat secara pasti berpengaruh pada seluruh aspek industri perfilman, tidak terkecuali bioskop dan sinema di seluruh Indonesia. Akibatnya, bioskop dan sinema di Indonesia mulai berhenti beroperasi sejak Maret 2020, ketika untuk pertama kalinya Indonesia mengumumkan kasus Covid 19. Namun demikian, menarik untuk diamati bahwa ditengah pembatasan dan operasional bioskop yang sepenuhnya lumpuh di masa pandemi, industri film Indonesia tetap menghasilkan karya-karya yang justru mendapatkan animo dan sambutan yang hangat dari pecinta sinema dan film dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Beberapa film yang tayang di masa pandemi yang mendapatkan sambutan hangat dari penonton dan penikmat film berdasarkan penelusuran kami di tahun 2021, antara lain film animasi “Nussa” yang ditayangkan di bioskop di seluruh Indonesia pada Oktober 2021. Film yang mendapatkan penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI) 2021 sebagai film animasi terbaik ini juga dapat dinikmati melalui saluran streaming pada Desember 2021. Selanjutnya, terdapat film “Tarian Lengger Maut” yang disutradarai oleh sineas Yongki Ongestu. Berbeda dengan film animasi Nussa yang ditayangkan di bioskop dan saluran streaming, film bergenre thriller dengan mengangkat tema budaya tarian lengger budaya Banyumas ini hanya ditayangkan di bioskop di seluruh Indonesia pada bulan Mei 2021. Pada genre drama, terdapat film “Losmen Bu Broto” yang merupakan bentuk adaptasi dari serial televisi yang cukup terkenal di tahun 80-an. Film ini bercerita tentang keseharian keluarga Broto dalam mengelola losmen dan berbagai dinamika di dalamnya. Film ini tercatat memiliki jadwal tayang di bioskop pada November 2021. Sebagaimana film “Tarian Lengger Maut”, film ini hanya dapat dinikmati melalui tayangan di bioskop, tanpa alternatif pilihan untuk dinikmati melalui saluran streaming.
ADVERTISEMENT
Masih terdapat beberapa judul film Indonesia lainnya yang memiliki jadwal tayang di bioskop sepanjang tahun 2021. Tercatat tidak kurang dari 15 judul film dari berbagai genre, baik animasi, horor, drama, hingga komedi yang diproduksi oleh rumah-rumah produksi dan sineas Indonesia Film-film ini mendapatkan sambutan hangat dari penonton dan penikmat film Indonesia. Hal ini juga nampaknya sedikit banyak juga dipicu oleh mulai berkembangnya saluran dan layanan streaming sehingga masyarakat dapat menikmati film tanpa harus mendatangi bioskop. Kondisi pandemi Covid 19 dan sejumlah kebijakan pembatasan yang diakibatkannya tidak serta merta membatasi dan membelenggu kreativitas dan kreasi dari rumah produksi dan sineas Indonesia.
Film Indonesia yang Memperoleh Penghargaan
Salah satu film karya sineas Indonesia yang meraih pengakuan internasional adalah “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” (“Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash”), yang menjadi film terbaik dalam Festival Film Locarno ke-74 di Swiss dan dianugerahi Pardo d’oro alias Golden Leopard. Film yang disutradarai oleh Edwin ini berkisah tentang perjalanan seorang jagoan bernama Ajo Kawir, yang merasa terusik kejantanannya karena impotensi. Untuk menutupi kelemahan tersebut, Ajo terobsesi bertarung tanpa mengenal batas. Suatu ketika, ia berhadapan dengan seorang petarung perempuan tangguh bernama Iteung, yang habis menghajarnya hingga babak belur. Sebagai laki-laki jantan, hal ini tentu menjatuhkan martabatnya, namun Ajo justru jatuh hati kepada Iteung. Menghadirkan Marthino Lio dan Ladya Cheryl sebagai Ajo Kawir dan Iteung, film ini diadaptasi dari novel dengan judul sama karya Eka Kurniawan yang diterbitkan pada tahun 2014. Tidak hanya mendapatkan penghargaan tertinggi di Festival Film Locarno, karya ini pun meraih penghargaan sinematografi terbaik (Akiko Ashizawa) dalam Festival Film Internasional Valladolid ke-66 di Spanyol.
ADVERTISEMENT
Edwin tidak sendirian, satu lagi sineas berbakat Indonesia dengan karyanya yang membanggakan di Festival Film Locarno adalah Monica Tedja. Filmnya yang diberi judul “Dear to Me” memenangkan Junior Jury Award Special Mention untuk kategori film pendek. Monica mengangkat isu identitas minoritas melalui kisah Tim yang sedang berlibur bersama keluarganya di sebuah pulau, di mana ada sebuah mitos mengenai keberadaan seekor rusa yang bereinkarnasi. Masyarakat setempat percaya bahwa melihat rusa tersebut merupakan pertanda seseorang akan bertemu dengan belahan jiwanya. Tim berharap menemukan rusa tersebut, tetapi pada saat yang bersamaan harus menutupinya dari orangtuanya yang merupakan penganut Kristen yang taat. Film yang dibintangi oleh Jourdy Pranata dan Jerome Kurnia ini sebelumnya juga mendapat penghargaan First Step Awards untuk kategori film pendek dan animasi. First Step Awards merupakan penghargaan yang didedikasikan untuk para lulusan mahasiswa film di Jerman, Austria, dan Swiss.
ADVERTISEMENT
Film berprestasi selanjutnya adalah “Yuni” yang merupakan hasil karya sutradara Kamila Andini. Karakter utamanya adalah seorang gadis SMA bernama Yuni (diperankan oleh Arawinda Kirana) yang bermimpi besar untuk masa depannya, namun menghadapi tekanan dari keluarga dan lingkungan budayanya yang lebih konservatif untuk menerima lamaran berumah tangga. Karya ini memenangkan Platform Prize di Festival Film Internasional Toronto di Kanada. Platform Prize sendiri mengambil nama dari film terobosan karya sutradara Jia Zhang-ke berjudul “Platform” dan menyoroti film-film yang memiliki nilai artistik tinggi dengan visi penyutradaraan yang kuat. “Yuni” juga mendapat 20 nominasi dalam berbagai kategori di festival-festival film internasional lainnya, serta berhasil memenangkan antara lain penghargaan Castell de Peralada untuk kategori Best Score pada Festival Film Internasional Barcelona-Sant Jordi, Honorary Distinction Award pada Festival Internasional Cyprus Film Days, dan Young Cineastes Award pada Festival Film Internasional Palm Springs.
ADVERTISEMENT
Tumpal Tampubolon juga tak kalah dengan karyanya “Laut Memanggilku” (“The Sea Calls for Me”) yang memenangkan penghargaan Sonje di Festival Film Internasional Busan. Penghargaan ini diberikan kepada film-film pendek Asia terbaik beserta hadiah uang sebesar sepuluh juta won (setara 8.500 dollar AS atau 125 juta rupiah) bagi setiap sutradara untuk memproduksi film mereka berikutnya. “Laut Memanggilku” menceritakan kehidupan Sura (Muhammad Umar), seorang bocah yang hidup seorang diri di sebuah desa nelayan sembari menunggu kembalinya sang ayah. Suatu hari Sura menemukan sebuah boneka seks rusak, yang kemudian menjadi sosok teman dan pengganti kehadiran orangtuanya. Tetapi, kedekatan emosional Sura dengan boneka tersebut terancam dengan kehadiran Argo (Dikky Takiyudin) yang ingin mengambilnya dari Sura. Sang sutradara, Tumpal, mengatakan bahwa film ini lahir dari rasa kehilangan atas hal sederhana yang hilang karena pandemi, terutama sentuhan dari orang-orang dan makhluk hidup lainnya.
ADVERTISEMENT
Pemanfaatan Film untuk Diplomasi
Film Indonesia merupakan aset efektif untuk diplomasi budaya karena memiliki kemampuan untuk memperkenalkan Indonesia secara lebih luas kepada dunia. Film memiliki kekuatan sendiri untuk mendorong diplomasi budaya karena memiliki jangkauan yang luas, termasuk bagi penonton luar negeri. Film tidak hanya akan hadir sebagai sarana hiburan namun juga pendidikan, pemahaman lintas budaya, promosi tujuan wisata dan hal-hal menarik dari suatu negara. Sebagaimana halnya dengan musik, pesan yang disampaikan dalam film akan bersifat universal dan dapat diterima di mana saja. Lebih penting lagi, akses menikmati film juga semakin mudah. Dengan perkembangan teknologi digital dan media sosial, film telah menjadi bentuk hiburan yang mudah diakses melalui gawai masing-masing dari berbagai penjuru dunia.
ADVERTISEMENT
Negara yang telah terbukti sukses menggunakan film untuk menarik hadirnya wisatawan asing adalah Selandia Baru, yang merupakan lokasi utama trilogi Lord of The Ring. Selandia Baru mencatatakan kenaikan jumlah wisatawan asing sebesar 50% dari sejak film tersebut pertama kali diluncurkan pada tahun 2001. Korea Selatan juga merupakan negara yang aktif memanfaatkan film sebagai bagian dari diplomasi budaya. Korean Wave yang bermula pada tahun 2000, telah menjadi fenomena global atas kesuksesan industri film dan musik Korea Selatan dalam merebut hati publik internasional.
Berbagai penghargaan yang telah diterima film-film Indonesia menunjukkan kualitas dan kapasitas yang dimiliki Indonesia untuk terus berkembang dan menghadirkan karya-karya terbaik. Dengan prestasi dan potensi ini, Indonesia punya kesempatan besar untuk terus memanfaatkan film sebagai sarana diplomasi. Sebagaimana diamati oleh sutradara ternama Riri Reza, selalu terdapat pesan khusus yang diusung oleh sineas Indonesia dalam menampilkan jati diri bangsa. Sutradara Hollywood asal Indonesia, Livi Zheng, dalam sejumlah wawancara, menyatakan rasa bangganya untuk terus memasukkan elemen budaya Indonesia dalam karya-karyanya. Oleh karena itu, momentum kebangkitan film Indonesia perlu terus dijaga dengan terus mendorong lahirnya film-film berkualitas dan berdaya saing internasional. Dalam kaitan ini, penting untuk dipertahankan sinergi yang baik mulai dari hulu hingga hilir antara pemerintah dengan pelaku industri film nasional. Tidak kalah penting juga adalah upaya untuk terus menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan dalam negeri atas film-film Indonesia.
ADVERTISEMENT