Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Belenggu Media Sosial Terhadap Jati Diri
7 Maret 2025 14:01 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Maria Magdalena Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali membuka Instagram atau TikTok, seolah-olah semua orang memiliki kehidupan yang sempurna wajah glowing, gaya berpakaian selalu tampil keren, bepergian ke tempat-tempat menarik, dan sukses di usia muda. Sementara itu, kita masih berkutat dengan tugas sekolah, memikirkan masa depan, atau sekadar bingung ingin menjadi apa.
ADVERTISEMENT
Media sosial membuat standar hidup menjadi sangat tingi. Tidak cukup hanya berprestasi di sekolah, tetapi juga harus punya feeds Instagram aesthetic, harus tau tren terbaru, harus bisa FYP di TikTok, dan harus ikut challenge biar tidak ketinggalan. Lama-lama, kita jadi kehilangan diri sendiri. Kita kita lagi ngelakuin hal yang benar-benar kita suka, tapi lebih ke hal yang bisa diterima orang lain.
Dulu, kita mungkin bisa lebih bebas menjadi diri sendiri. Kita tidak perlu repot-repot memikirkan apakah unggahan kita akan mendapat banyak likes atau apakah outfit kita cukup Instagrammable. Sekarang, standar yang ditetapkan media sosial membuat kita sulit membedakan antara apa yang benar-benar kita inginkan dan apa yang kita lakukan hanya demi eksistensi di dunia maya.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri pernah terjebak dalam pola ini. Mengunggah sesuatu bukan karena saya suka, tetapi karena saya ingin mendapat validasi. Membeli pakaian yang sedang tren meski sebenarnya tidak nyaman hanya demi terlihat ‘masuk’ ke dalam standar yang ada. Dan jujur saja, itu melelahkan. Rasanya seperti harus terus memakai topeng, menampilkan sisi terbaik yang belum tentu mencerminkan diri sendiri.
Lalu, pertanyaannya: apakah kita harus selalu menyesuaikan diri dengan standar media sosial? Apakah kita harus terus-menerus berusaha memenuhi ekspektasi yang tidak ada habisnya? Kenyataannya, tidak ada akhir dari perlombaan ini. Akan selalu ada orang yang lebih keren, lebih sukses, dan lebih diakui. Jika kita terus membandingkan diri dengan mereka, kita tidak akan pernah merasa cukup.
ADVERTISEMENT
Mungkin kita bisa mulai perlahan dengan mengunggah sesuatu karena benar-benar kita sukai bukan karena tekanan dari luar. Mengenakan pakaian yang nyaman, bukan hanya karena sesuai tren. Mengurangi waktu scroll media sosial saat kita mulai merasa diri ini ‘tidak cukup’ dibandingkan orang lain.
Perjalanan menemukan jati diri memang tidak instan, dan setiap orang punya jalannya masing-masing.
Daripada sibuk mengejar ekspektasi orang lain, mengapa tidak mulai fokus pada apa yang benar-benar membuat kita bahagia? Saya sendiri masih belajar untuk itu, tapi satu hal yang pasti: menjadi diri sendiri jauh lebih melegakan daripada terus-menerus berusaha menjadi versi yang diinginkan orang lain.