Konten dari Pengguna

Mengatasi KDRT: Tanggung Jawab Bersama Pemerintah dan Masyarakat

Marinda Putri Ketieriella
Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Surabaya
22 Oktober 2024 12:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marinda Putri Ketieriella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini berita tentang kekerasan yang menimpa perempuan semakin terdengar. Baik itu kekerasan keluarga, rumah tangga, maupun kekerasan seksual. Semua orang bisa menjadi korban kekerasan tidak peduli usia,jenis kelamin,status sosial ekonomi,atau latar belakang budayanya. Namun, perlu dicatat bahwa perempuan lebih cenderung mengalami kekerasan daripada laki-laki. Berdasarkan jumlah kasus kekerasan di sepanjang tahun 2024 menurut data real time Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tercatat 15.173 hingga 11 Agustus 2024, dimana di dominasi oleh perempuan sebanyak 80,1%.
ADVERTISEMENT
Kasus KDRT yang viral baru-baru ini menarik perhatian netizen. Seorang selebgram Bernama Cut Intan Nabila menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Armor Toreador. Dalam berita yang beredar, ibu tiga anak itu dianiaya bagian kepala dan punggungnya. Usut punya usut penyebab terjadinya KDRT yang dilakukan oleh suami Cut Intan karena ketahuan menonton film porno dan tega menganiaya istrinya sendiri. Selain itu, memang sudah berulang kali juga menjadi korban KDRT.
Dilansir dari Direktorat Jenderal Kemenkumham yang dikutip pada (15/06/2023), banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena adanya pola dominasi dan kontrol tertentu yang kuat dari pelaku kekerasan terhadap korban. Di mana kekerasan fisik, emosional, dan psikologis digunakan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. (Istockphoto/PeopleImages)
Adanya hubungan kekuasaan yang tidak stabil dapat menyebabkan lingkungan yang tidak nyaman dan aman bagi korban. Ini sering menyebabkan cedera fisik dan emosional yang parah. Selain itu, Lidwina menegaskan bahwa kelompok rentan yang menjadi korban dapat dialami oleh siapa saja, tanpa mempertimbangkan aspek tertentu.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian lalu apa yang menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan terbanyak jika dibandingkan dengan laki-laki?. Pertama, budaya patriarki yang masih kuat. Dalam budaya patriarki, seringkali perempuan selalu dianggap lebih rendah dan harus tunduk pada laki-laki. Sementara itu laki-laki dianggap memiliki lebih super power, sehingga kuasa lebih ada di pihak laki-laki, dalam kata lain kuat secara fisik dan memiliki hak untuk mendominasi perempuan. Kedua, adanya victim blaming yang berarti ketika korban berusaha mendapatkan haknya tetapi dianggap sebagai pihak yang menyebabkan tindak kejahatan. Misalnya, dalam kasus ini, pakaian yang dikenakan perempuan dianggap sebagai pemicu kekerasan seksual ketika terjadi kekerasan seksual, tetapi korban yang mengenakan pakaian tertutup tetap menjadi korban kekerasan seksual. Akibatnya, perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan meskipun sebenarnya mereka adalah korban, dan tanggapan negatif dari masyarakat memperlemah posisi perempuan. Ketiga, ketidak pedulian masyarakat. Orang-orang di sekitar kita sering kali enggan membantu ketika terjadi kekerasan seksual di ruang publik mereka bahkan mungkin menahan diri atau berpura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi di hadapannya. Selain itu, terkadang mereka merasa takut jika mereka menolong malah membahayakan diri mereka sendiri. Bahkan orang yang menyaksikan kejadian tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Keempat adanya faktor psikologis seperti rasa cemburu berlebihan dan rendahnya kontrol emosi.
ADVERTISEMENT
Maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor sosial seperti budaya patriarki,victim blaming,ketidakpedulian masyarakat,dan faktor psikologis masih menjadi penyebab tingginya kasus KDRT yang dialami perempuan. Hal itu juga berdampak yang paling terlihat banyak perempuan mengalami luka berat,trauma emosional,dan gangguan mental seperti depresi dan kecemasan. Selain itu, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan juga beresiko mengalami gangguan perkembangan dan perilaku agresif di masa depan.
“Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga merupakan hal serius yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan aparat penegak hukum,” ungkap Puan yang disampaikan kepada Parlementaria, di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Ia menegaskan bahwa tidak ada toleransi sama sekali bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak. Pelaku harus diberikan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi KDRT, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama. Ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak dapat ditoleransi dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Kebijakan ini adalah bagian dari upaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Selain itu, sistem hukum harus diperkuat untuk memberikan penegakan hukum yang tegas terhadap individu yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Untuk melindungi korban, undang-undang yang kuat dan sistem pengadilan yang sensitif harus dibuat. Saat ini, Indonesia memliki peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sejak 16 tahun lalu dan telah diimplementasikan dalam pencegahan dan penanganan perempuan korban kekerasan. Undang-Undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga [UU No.23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)].
ADVERTISEMENT
Dan bagi pasangan di luaran sana juga dapat meminimalisir dan menghindari KDRT dengan menjaga keharmonisan rumah tangga dan meningkatkan komunikasi. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya usaha semua anggota keluarga. Tidak diragukan lagi upaya untuk mencegah KDRT harus dibarengi dengan penerapan nilai-nilai agama dalam setiap keluarga. Selain itu, berkumpul bersama kelurga dengan memanfaatkan waktu yang menyenangkan seperti mengobrol,makan bersama,berlibur,dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas untuk menghilangkan kepenantan, juga merupakan cara yang bagus untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga.