news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Orang-orang Stadion: Di Bawah Pohon dan Lindungan Penjual Kopi

Marini Dewi Anggitya Saragih
Tidak suka beres-beres. Tidak mau makan tauge dan durian.
Konten dari Pengguna
9 Juli 2018 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marini Dewi Anggitya Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari luar gerbang Istora yang memanas, ada kesejukan samar-samar yang bisa dinikmati dari seorang penjual kopi di bawah pohon.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir merengkuh tiket final Indonesia Open 2018 membuat orang-orang Jakarta bergegas. Memenuhi Istora, berjejal di depan kios penjualan tiket, bahkan lima jam sebelum dibuka secara resmi.
Sesuai jadwal, penjualan tiket resmi baru akan dibuka pukul 10:00, tapi kesibukan para (calon) penonton bahkan sudah dimulai sejak pukul 05:00. Setidaknya, itulah yang dikeluhkan mereka yang kalah cepat untuk membeli tiket final.
Mereka yang menggenggam tiket masuk sudah sibuk empat jam sebelum laga final Owi/Butet dimulai, lima jam sebelum pertandingan puncak Marcus/Kevin. Sepasang balon panjang berwarna biru terang menjadi senjata kebanyakan mereka, lengkap dengan ikat kepala putih bertuliskan Indonesia.
Mereka berfoto-foto di sana-sini, memenuhi sudut-sudut cantik di depan gelanggang dengan gaya yang rupanya macam-macam. Ada yang berpose jenaka, ada yang tak ingin kehilangan elegansi, berlagak tak melihat kamera sambil memanfaatkan angin sebagai bumbu terbaik untuk efek dramatis. Aih, sedap, Kakak!
ADVERTISEMENT
Mereka yang kebingungan karena tak kebagian tiket sibuk mencari-cari juru selamat dengan mata yang awas. Orang-orang bilang, yang dicari itu adalah calo. Rentenir laga-laga akbar. Tadinya, mereka dicemooh karena menjual tiket dengan harga selangit mesra, dihindari karena membuat iri mereka yang bekerja siang dan malam demi mengejar untung yang tak seberapa.
Tapi, selalu ada pengecualian untuk segala sesuatu. Serupa Robin Hood yang menjadi pahlawan karena berani menjadi bandit, calo-calo ini menjadi penyelamat karena membukakan pintu-pintu yang kadang tertutup.
Ini laga final, Indonesia punya dua wakil hebat yang punya kesempatan tinggi untuk merebut gelar juara di rumah sendiri. Apa boleh buat, kesempatan untuk melihat momentum dramatis itu lahir kembali berkat para calo.
ADVERTISEMENT
Persetan dengan harga selangit, peduli setan dengan kebencian kemarin lusa. Yang penting bisa menonton langsung, yang paling utama bisa larut dalam atmosfer laga. Semua mata tertuju pada laga Owi/Butet dan Marcus/Kevin, kecuali mata si penjual kopi.
Tontowi Ahmad dan Liliana Natsir. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Apa yang terjadi di atas arena tak pernah menjadi urusan si penjual kopi. Di balik gerobak berodanya ia sibuk sendiri, karena yang menjadi urusannya adalah kami, para penonton, dan mereka yang tak bisa masuk arena karena harus beradu kuat dengan tuntutan merebut rupiah di luar gelanggang.
Namun, urusannya juga bukan perkara sepele. Ini menyoal perut dan tenggorokan yang panjangnya memang cuma beberapa jengkal, tapi menjadi perkara hidup dan mati yang diperjuangkan setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Jakarta sedang panas-panasnya. Panasnya jahat minta ampun, menyengat hingga membikin pening sampai ke ubun-ubun. Kebanyakan yang duduk dan menghampiri si penjual kopi bersimbah keringat, berteman karib dengan lelahnya masing-masing. Mulai dari penjaga parkir, pekerja lepas di sekitar stadion, dan buruh proyek, duduk di atas bangku plastik yang disediakan si ibu.
Mereka menunggu pesanan sambil mengaduh, membersihkan keringat, dan mengisap rokok. Kabar baiknya, si ibu mengambil tempat di bawah pohon yang tidak cuma rindang, tetapi juga berjarak cukup jauh dari keriuhan yang tak selesai-selesai.
Beberapa dari mereka bertanya tentang acara apa yang sedang berlangsung. Si ibu mengangkat bahu sambil berkata; “Mbuh.” Saya bilang pada mereka, ada final bulu tangkis, Indonesia berhasil sampai ke partai puncak. Orang-orang di sana lantas menjawab; “Oooh…” lalu kembali sibuk dengan penat yang dibawa sejak pagi.
ADVERTISEMENT
Laga Indonesia masih akan berlangsung dua jam lagi. Pada awalnya, di jadwal resmi, mereka akan bertanding sekitar pukul 16.00. Namun, seperti pertandingan bulu tangkis lainnya, saya kelewat percaya, jadwal akan kembali berubah.
Saya mengalihkan pandangan ke tangan ibu penjual kopi. Pergelangan tangannya tertutup lengan kemeja kotak-kotak oranye pupusnya. Ia bergerak ke kiri dan ke kanan, mengambil es batu dan gelas plastik di tempat penyimpanannya.
Gerakan tangannya cekatan, tapi tak terburu-buru. Sesekali ia melirik ke arah cucu laki-lakinya yang tenggelam dalam kejenakaannya sendiri. Lantas tertawa, lalu membawa minuman yang sudah dipesan oleh kami yang menunggu dalam diam dan malas berbicara.
Ilustrasi minum kopi (Foto: dok. Unsplash)
Saya bilang kepada si ibu, saya mau kopi dengan es yang banyak. Pikir saya, tak masalah kalaupun sedikit hambar. Yang penting hausnya hilang. Saya duduk-duduk tenang saat menunggu, lalu batuk berkali-kali dengan suara payah minta ampun.
ADVERTISEMENT
Di depan saya ada pria tua. Rambutnya hampir tak ada lagi yang berwarna hitam. Namun, perutnya tak buncit seperti kebanyakan orang di usia senja. Ia memakai baju serupa rompi warna biru gelap.
Ia berkata bahwa saya masuk angin. Biarpun penyakit sepele, jangan dibiarkan karena temannya mati oleh persoalan serupa. Saya meringis ngeri, tapi kengerian ini cuma bertahan sebentar.
Sambil mengisap kretek yang bungkusnya bergambar rel kereta api, si bapak berkata kepada saya dalam bahasa Jawa campur-campur, saya harus dipijat. Ia berkata demikian sambil menunjuk punggung saya.
Sehabis dipijat, katanya, minum anggur merah di malam hari. Jangan banyak-banyak, dua gelas saja. Sehabis itu biasanya akan muntah. Tapi, itu pertanda baik karena anginnya sudah keluar semua. Besok paginya, saya pasti merasa segar.
ADVERTISEMENT
Saya tertawa, lalu bertanya balik kepada si bapak; “Kalau tidak muntah, gimana, Pak?”
“Berarti Mbak-nya sudah sehat. Anggurnya boleh tambah segelas lagi!” Seisi lapak si ibu tertawa renyah. Seketika, itu menjadi saran medis terbaik yang pernah saya terima.
Kopi buatan si ibu sudah jadi. Gelas plastik yang menjadi wadahnya saya tempelkan di kening berkali-kali. Dinginnya menyenangkan. Ia menjadi lawan yang tepat buat terik Jakarta yang kurang ajar.
Saya memperhatikan wadah plastik itu. Tak ada nama saya di sana. Biasanya, barista kedai kopi ternama itu selalu menanyakan nama saya. Hanya buat ditulis di bagian luar gelas, supaya pembeli yang lain tak keliru dan meminum kopi itu karena rupa sajiannya mirip-mirip. Upaya mengetahui nama di beberapa tempat memang hanya berfungsi sebagai prosedur, bukan usaha untuk menjadi karib.
ADVERTISEMENT
Empat-lima menit setelahnya saya menyesap kopi itu. Pertama pelan-pelan, lalu saya tancap gas. Ya, mau bagaimana lagi? Rasanya enak walau harganya tak seberapa. Nikmatnya tepat walau tak bernama aneh-aneh. Saya suka sensasi minum minuman dingin di hari yang terik. Tenggorokan menjadi sejuk dalam sekejap. Kopi itu tak terlalu pahit, tak juga hambar akibat kebanyakan air.
Saya mendiamkan kopi itu sejenak. Dinginnya bertahan lumayan lama. Si ibu penjual kopi masih mondar-mandir. Tangannya yang keriput tetap lihai meracik kopi.
Ia menghitung uang kembalian para pembelinya tanpa alat bantu, lantas mencatat penjualan dalam buku panjang yang sampulnya berwarna hijau tua.
Saya melirik pada catatannya. Tulisannya yang kecil-kecil miring, tapi rapinya minta ampun itu menjadi olok-olok sempurna bagi tulisan tangan saya yang rupanya mirip cakar ayam.
ADVERTISEMENT
Seketika, si ibu mengingatkan saya pada 'barista tribun timur' yang pernah saya jumpai di Soreang, yang membiarkan saya menikmati kesegaran yang menyenangkan tanpa harus kehilangan banyak rupiah yang saya upayakan berjam-jam setiap harinya.
Pertandingan final semakin dekat, tapi belum satu pun dari kami yang berbicara tentang smes dan servis para petarung. Di bawah pohon itu, siapa pun yang menang tak menjadi soal, bendera mana pun yang dikibarkan di akhir laga tak akan menjadi masalah, asalkan kopi-kopi dalam kemasan itu terjual dan berubah bentuk menjadi rupiah.
Jakarta, kata orang-orang, bermakna kemenangan. Setidaknya itulah yang muncul dalam tulisan Willard A. Lanna yang berjudul Hikayat Jakarta. Sebuah kota, kata Seno Gumira Ajidarma, dibangun oleh makna. Katanya, adalah makna yang membuat suatu tempat mempunyai nama.
ADVERTISEMENT
Istora kemarin sore penuh dengan orang-orang yang mendamba kemenangan. Tak punya hubungan darah dengan para petarung tepok bulu, mereka tetap merasa kemenangan kedua ganda itu bakal menjadi kemenangan mereka juga. Kalau mereka kalah, maka kekalahan keduanya akan menjadi nelangsa yang dibawa pulang dan diperam lewat pembicaraan yang umurnya bertahan sampai beberapa minggu.
Namun, di luar gerbang Istora, di sudut luar gelanggang para petarung, orang-orang juga sibuk mengupayakan kemenangannya masing-masing. Walau bukan kemenangan yang dipuja-puja karena ini menjadi persoalan hidup sendiri, yang terpenting mereka juga bertanding.
ADVERTISEMENT
Jakarta adalah arena pertandingan yang terbuka. Bila kita memindahkan pandangan mata dari gelanggang-gelanggang olahraga dan menyuruk ke sudut-sudut kota, maka kita juga akan menemukan pertandingan dalam bentuknya yang lain. Pertandingan sebagai bentuk perjuangan hidup, pertandingan sebagai bentuk penolakan untuk tunduk pada ketidakberdayaan, pertandingan yang kelahirannya dibidani oleh pergulatan konkret dengan kehidupan.
Kopi gelas kedua saya habiskan cepat-cepat. Saya menghitung-hitung berapa gelas kopi yang saya minum setiap harinya. Banyak juga.
Tapi, tak masalah. Toh, mengutip puisi Pak Joko*, kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi. Dan karena setiap hari rezeki saya bentuknya macam-macam, jadi bolehlah saya meminum kopi lebih dari segelas.
Dua pertandingan puncak saya saksikan lewat layar raksasa di luar arena. Ya, itulah akibatnya kalau datang ke pertandingan besar dengan bertaruh kelewat naif.
ADVERTISEMENT
Tapi, bertaruh memang menyenangkan. Ia mempersiapkan kita untuk menyikapi kejutan, baik atau buruk, dengan sikap yang terhormat. Tak merengek saat kalah, tak besar kepala saat menang.
Seketika, saya ingat pertandingan saya. Yang sudah lewat dan yang masih akan saya lalui. Tentang hasilnya, itu persoalan lain. Lagipula, kalah atau menang, akan selalu ada hal-hal yang tersisa untuk dicintai.**
====
*Pak Joko yang saya maksud adalah Joko Pinurbo. Puisi yang saya maksud berjudul Surat Kopi.
** Mengutip kalimat Gabriel Garcia Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian.