Anjay Jangan Jadi Berhala Baru

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
3 September 2020 15:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Media Sosial. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Media Sosial. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Anjay belakangan menjadi viral akibat larangan ketua KPAI, Merdeka Sirait baru-baru ini yang disinyalir menurutnya lebih pada perendahan martabat. Seorang anggota DPR kita bahkan mengomentari pelarangan bahkan pemidanaan atas kata anjay, itu lebay dan tak lebih bahasa candaan, ngopi dan ngeteh.
ADVERTISEMENT
Hemat penulis, diksi anjay adalah kekayaan bahasa kita. Barangkali hingga hari ini kita tak pernah bisa menelusuri sejak kapan tatanan aksara anjay digunakan masyarakat dalam percakapan sehari-hari.
Atau mulai kapan istilah anjay kita labeli sebagai bagian meniarapkan harga diri dan martabat. Ataukah seberapa sakti rangkaian suku kata anjay mampu membuli lawannya bahkan sejauh mana sebutan anjay bisa negasi urusan pemartabatan.
Sebaliknya mungkinkah “Anjay,” dapat menyatukan kaum muda yang berselisih, apalagi sekarang tak sedikit, “Anjay,” berseliweran di depan, belakang, samping, atas, bawah bahkan di dalam sekujur kita sendiri.
Ungkapan Anjay sendiri tak pernah salah. Mungkin penggunaan dan pengguna kata anjay saja yang bermasalah. Meski dianggap bersalah pun, sesungguhnya tak perlu memicu lahirnya “Anjay-anjay,” yang binal, kasar maupun anomali. Kita bisa menetralkan Lalulintas “Anjay,” dengan rembugan, diskusi, ngobrol santai dan bersilang itikad bersih, tabayun.
ADVERTISEMENT
Rasanya kita juga turut bersalah saat memangkas dan mematahkan kata “Anjay,” dalam catatan buku tabungan bahasa kita. Memang, “Anjay,” bisa hadir kapan saja. Kala ia di kavling pada domain positif dan punya derajat kala untuk kepentingan kekaguman, pujian, dll. Dan, sebaliknya saat anjay menjadi sesuatu yang dicap miring, kampungan, rendahan dan pinggiran.
Inilah bagian standar ganda moralitas kita. Kala “anjay,” ditiupkan dengan sesama kawan atau komunitas tak pernah menjadi problem, lha menjadi soalan ketika “Anjay,” dihembuskan ke orang-orang yang tak familiar atau asing dengan rerupa anjay dan bahkan merasa tertindas derajatnya.
Ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang krusial dan tak harus menjadi perdebatan publik. Biarlah “anjay,” mengalir apa adanya, tapi jangan pernah membiarkan anak-anak dan generasi kita berperilaku laksana”anjay.”
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, “anjay,” boleh mengarus, biarlah mereka yang suka bercakap dengan “anjay,” barangkali satu masa akan ketemu batunya sendiri. Terpenting di sini adalah bagaimana kita mengedukasi kaum muda kita menempatkan atau memproporsionalkan diksi “anjay,” tadi tepat peruntukannya. Artinya konten sopan santun, tatakrama, unggah-ungguh, saling menghormati dan atau menghargai mesti selalu dikemas secara riang dan tidak memberatkan, sehingga mereka dengan awareness-nya menggunakan kata tersebut lebih hati-hati.
Patut menjadi perhatian bersama, bahwa harus diakui bahasa turut menerbitkan kekerasan, perselisihan, salah paham bahkan konflik horizontal yang berlarut, hanya gegara kata-kata yang kurang senonoh atau berkesan semena-mena, “Anjay,” misalnya.
Beberapa kasus kekerasan antar kelompok atau geng acap dipicu seperti tatapan mata dan satu hal lainnya adalah faktor Bahasa. Bahasa-bahasa yang mungkin bagi sebagian kalangan dianggap urakan dan murahan. Adaptasi memang perlu, namun tak semua harus ditelan mentah-mentah. Kita masih dikarunia akal dan budi yang mampu memfilter mana kata atau diksi nakal, liar bahkan bengal.
ADVERTISEMENT
Meski sebagian lagi menilai “anjay,” lebih pada dialek maupun gaya hidup kaum muda, tapi lagi-lagi jangan sampai hanya karena “Anjay,” kita lantas menjadi korban. Penyebutan satu kata “Anjay,” itu, menunjukkan betapa bahasa tampak dominan dalam aksi kekerasan. Kekerasan yang melibatkan unsur bahasa disebut kekerasan verbal.
Jenis kekerasan ini, disadari atau tidak disadari, sering dimulai dari lingkungan keluarga. Seorang Kakak yang suka marah-marah kepada adiknya, tanpa sadar, sering mengucapkan : “Dasar Anjay!, “Jelek!, “Goblok, “Kakak kecewa punya adik seperti kamu,” dan lainnya.
Ibarat, kata Anjay itu mirip rantai. Jika rantai itu tidak dikontrol, diputus pemakaiannya, bisa jadi kekerasan, konflik dan atau kesalahpahaman akan bertubi-tubi datang bahkan sanksi hukum dan sosial bakal menghantam. Begitu pula dengan kasus kelompok remaja yang acap meresahkan warga.
ADVERTISEMENT
Inovasi
Kasus geng pirang atau geng motor, misalnya, perlu ditangani secara komprehensif. Artinya, pihak orang tua, sekolah, dan masyarakat harus ikut peduli terhadap nasib anak-anak muda, di tengah kurusnya empati maupun sense of crisis. Ngelus dada kita.
Bagaimana jalan keluarnya? Penulis mengusulkan dua jalan. Pertama, mari kita tumbuhkan (kembali) bahasa kasih sayang di antara kita, Bahasa yang santun dan santuy. Bahasa itu universal, dapat digunakan oleh siapa pun. Orang tua menggunakan bahasa kasih kepada anak-anaknya, begitu pula sebaliknya.
Perlu dihindarilah bahasa-bahasa yang menyulut ke arah kekerasan atau konflik, dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Jika itu terwujud, Insya Allah kasus tawuran kelompok atau geng berkurang dan absen bahkan nihil.
ADVERTISEMENT
Kedua, kaum muda itu harus inovatif. Mereka memiliki ide-ide segar dan fullpower untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Sayang, pihak keluarga dan sekolah belum sepenuhnya memahami potensi itu. Akibatnya, mereka menyalurkan ide dan hasratnya itu melalui geng dan aksi vandalisme.
Mari kita inovasi program yang dapat menampung gagasan, kreasi dan inovasi dari kaum muda. Dengan begitu, pupuslah haru-biru anjay, sekurangnya akan menekan angka perselisihan, kekerasan dan atau konflik maupun perasaan direndahkan.Inilah tantangan kita bersama, bagaimana mengawinkan tren, mode dan pedagogi. Namun begitu, gelombang “Anjay,” jangan sampai menjadi berhala baru apalagi di pusaran pandemi ini.