Asa Baru Sertifikat Baru

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
2 Maret 2021 9:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo berpidato dalam acara penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Samosir, Sumut. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo berpidato dalam acara penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Samosir, Sumut. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Punya tanah tapi belum ada sertifikatnya, rasanya belum bisa ayem. Tanah itu modal dan dapat diuangkan. Kadang kita membaca atau mendengar, di beberapa daerah terjadi praktik mafia tanah dengan beragam modusnya, seperti penggelapan tanah, tanah berpindah tangan tanpa setahu pemilik sah.
ADVERTISEMENT
Ada pula tanah yang diserobot maupun tanah orang lain yang dijualbelikan. Juga ada perebutan tanah warga dengan warga atau dengan pemerintah maupun yayasan. Harap diingat, kalau ada sengketa menyangkut tanah soal sertifikat tak sedikit mau melakukan apa pun hingga ujung dunia atau bahkan toh pati, karena sertifikat tanah itu jimat (barang siji sing dirumat).
Hal itu muncul lebih karena belum atau tidak adanya sertifikat tanah kepemilikan atas namanya. Coba kalau masyarakat punya atau pegang sertifikat kita pastikan akan lain kisahnya. Kita akui, sertifikat tanah tentu sangat berharga, terlebih lagi bagi warga yang kurang mampu. Setidaknya, mereka memiliki kejelasan status tanah yang mereka miliki dari sertifikat tersebut.
Kita tahu berbagai program sertifikat tanah telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program prona, proda, kemudian baru-baru ini ada program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang dicanangkan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Sebelum adanya program PTSL, jumlah sertifikat tanah yang dikeluarkan dalam satu tahun hanya 500.000 sertifikat. Pada tahun 2016, pemerintah telah menerbitkan 1,1 juta sertifikat, tahun 2017 jumlah itu meningkat menjadi 5,4 sertifikat, tahun 2018 mencapai 9,3 juta sertifikat, dan tahun 2019 berjumlah 11,2 juta sertifikat. Pada tahun 2020, pemerintah hanya menerbitkan 6,8 juta sertifikat karena terhambat pandemi COVID-19 (beritasatu, 5/1/2021).
Meski beragam program pemerintah menyangkut pertanahan, pensertifikatan digelar, namun di lapangan tak sedikit bidang tanah yang belum disertifikatkan. Sertifikat tanah penting sebagai bukti sah kepemilikan tanah tersebut.
Bahkan tak sedikit masyarakat yang punya tanah tak bisa mendapatkan sentuhan program pemerintah karena tersandung karena nihilnya sertifikat tanah dimaksud di genggamannya. Sayang, kala program bantuan dikucurkan deras oleh pemerintah, seperti perbaikan rumah tidak layak huni, program bedah rumah, dll, masyarakat tak bisa akses gegara tak punya sertifikat tanah. Itulah kemudian betapa pentingnya sertifikasi tanah.
ADVERTISEMENT
Karena dengan sertifikat tanah, kita bisa “sekolah,” kan ke lembaga keuangan dan atau perbankan yang sanggup mengalirkan dana sesuai kebutuhan. Terpenting dana tersebut bukan untuk keperluan konsumtif, foya-foya, atau membeli yang hanya sekadar keinginan bukan kebutuhan prioritas.
Dan, tahun ini pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mengusung program sertifikat tanah elektronik atau sertifikat digital.
Sertifikat tanah model ini dijamin lebih tahan lama, karena anti rusak, anti rayap, anti hilang dan lebih aman ketimbang sertifikat fisik (analog) yang kita pegang selama ini.
Dengan sertifikat dengan atau tanpa elektronik bagi penulis sama-sama dapat menekan angka sengketa tanah. Persoalannya, barangkali hanya pada segi waktu dan biaya.
Kita cukup optimistis kebijakan pemerintah diproyeksikan pada tujuan yang baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Sebut saja program sertifikasi tanah digital. Sebelumnya, soal kepemilikan sudah terhubung dengan satu bundel sertifikat tanah dalam bentuk fisik atau analog atau konvensional.
ADVERTISEMENT
Ketika sertifikat tanah di tangan, artinya tersimpan secara baik di rumah: di lamari, dalam map atau terkunci pada satu dokumen penting, sekurangnya masyarakat merasa ayem, bungah dan tenang.
Yang berlaku di masyarakat masih saja ada anggapan, jika ngurus sertifikat itu lama, biaya tak sedikit dan rumit. Pemahaman demikian sebetulnya bisa dikuras dengan kawan-kawan ATR/BPN, Pemda hingga Pemdes bergiat melakukan sosialisasi tentang sertifikasi tanah.
Jadi masyarakat akan memahami secara langsung terkait mekanisme, syarat, biaya, berkas pendukung, proses pengerjaan, kegunaan. Atau soal pemerolehan sertifikat dari warisan, oper kredit, pembelian, hibah, bahkan hingga soal terakhir sertifikat tanah elektronik, dll.
Peraturan Desa
Harapannya, masyarakat tak buta soal pengurusan sertifikat tanah (analog dan digital). Menjadi mimpi masyarakat miskin yang banyak tinggal di pedesaan, jika membuka barcode sertifikat elektronik tidak berbayar alias bebas biaya.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi lainnya, semoga masyarakat segera dan mendapatkan jaminan kepastian jika sertifikat tanah elektronik ini bisa digunakan untuk agunan pinjaman di lembaga permodalan dan keuangan. Mudah-mudahan lembaga-lembaga tersebut sudah satu bahasa dengan institusi ATR/BPN.
Kemudian, tatkala terjadi sengketa tanah, tumpuan harapan terdalamnya lagi adalah sertifikat elektronik ini bisa dijadikan alat pembuktian. Atau buktinya kita hanya cukup akan bisa dilihat di internet.
Ketika sertifikat tanah analog (fisik) ada distribusi sertifikat tanah gratis dari Pak Presiden, maka kemudian jika tahun ini sudah mulai diberlakukan sertifikat-el, harapannya nanti program strategis sertifikat tanah akan berlanjut pada pembagian sertifikat digital ini.
Maka kemudian, seluruh jajaran pemerintah daerah harus siap mensukseskan program sertifikat ini hingga mencapai target yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT
Di sini Pemerintah desa bisa membantu pemerintah menerbitkan peraturan desa (perdes) yang mencantumkan klausul pengurusan sertifikat tanah dengan atau bebas pembiayaan dengan disesuaikan pada kearifan lokal masing-masing desa.
Ini semua tentu telah melalui rembug desa antara Pemerintah Desa bersama seluruh tokoh masyarakat, dan elemen desa yang lain. Jika sudah demikian, aksesibilitas pemohon makin mudah dan semuanya sudah transparan dan diatur secara jelas dalam regulasi desa.