Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Belajar dari Orang Miskin
12 Juni 2020 5:36 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Siapapun tak ingin jatuh miskin. Meski negeri ini angka kemiskinannya turun, Periode Maret 2019 mencapai 25,14 juta orang (9,41%) dan September 2019, yakni 24,79 juta orang (9,22%), disparitas kemiskinan antar desa dan kota masih tinggi. Tercatat, persentase kemiskinan kota sebesar 6,56%. Sementara, persentase penduduk miskin pedesaan mencapai 12,6%.
ADVERTISEMENT
Salah satu cara pemerintah mencegah kemiskinan menjadi gendut dengan mengucurkan bantuan dana desa sejak 2014 dan setiap tahun gelontoran dana itu selalu naik. Sejak sangat awal, diekspektasikan dana seksi tersebut mampu membalik kemiskinan desa.
Jangan sampai desa menjadi reservoir anggaran bantuan. Sense of crisis terhadap desa memang baik, ketika bantuan dana sekurangnya disertai bantuan pelatihan atau teknologi pun pembiayaan usaha. Karena acap, bantuan ke desa yang hanya semusim, tanpa berkelanjutan termasuk pendampingannya.
Selain bantuan dari supra desa, acap desa menerima bantuan dari korporasi, lembaga, NGO, dll. Kadang tak mengusulkan, absen proposal mereka banjir bantuan. Lagi-lagi, desa bisa jadi kedodoran karena over budget. Hal ini berdampak pada program tambahan atau berdalih pengembangan maupun revisi ajuan, saking dana menggunung.
ADVERTISEMENT
Hal lain paska distribusi dana desa, kita bisa membaca desa yang semakin hari terus menjadi target pasar produk dan atau jasa tertentu. Dari sembako, bahan bangunan, teknologi informasi, konsultan, bahkan menjadi lalu lintas bagi para makelar atau calo proposal dan kasus, termasuk ekspor TKI.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah masyarakat yang selalu menggantungkan hidup kepada pemerintah dianggap miskin. Bagaimana dengan masifnya kaum muda yang berebut nasib dan masa depannya dalam tes CASN atau pegawai honorer kita yang merengek minta diangkat menjadi ASN.
Terpisah, bagaimana jika desa selalu dimanja, dipasok bantuan secara terus menerus kapan mereka menjadi sosok bertanggung jawab. Patut menjadi contoh atas apa yang dilakukan sejumlah 256.224 penerima manfaat program keluarga harapan (PKH) Jawa Tengah yang mengundurkan diri karena sudah tidak miskin lagi dan menolak bantuan dari pemerintah lagi (jatengprov.go.id, 19/11/2019).
ADVERTISEMENT
"Maaf saya tidak miskin lagi, sudah mandiri dan bantuan ini lebih baik untuk mereka yang membutuhkan," Ini sikap yang benar-benar membuat kita bangga dan hormat pada mereka. Inilah bagian tugas profetik yang tergelar di level akar rumput, selalu gagah dalam kesederhanaan.
Pada pandemi COVID-19 ini, ritus kesalehan orang miskin menjelma pada sekujur Salomi nenek miskin dari NTT, Kakek miskin bernama Sareong Demmanapa (70) dari Mamasa Sulbar, Bambag-Siswati petani miskin dan istri menderita kanker di desa Pengkoljagong Blora, M Raikhan penjual kerupuk rambak dari desa Sumberduren Kediri, kemudian secara bertubi-tubi menyusul orang-orang mampu yang terdaftar BLT dan sadar dan rela mengembalikannya.
Tak ada gundah dan cemas apalagi takut nantinya menjadi miskin. Ini dia indikator keberhasilan sebenarnya tanpa tipu daya. Ini juga bagian lesson learn hidup tanpa keculasan dan keserakahan. Etika dan rasa sosial tergelar mekar. Pemandangan yang kontras dengan para koruptor di negeri ini (yang belum tertangkap KPK) yang hanya sibuk mencuri harta rakyat.
ADVERTISEMENT
Kultural Bukan Inkremental
Membaca dan melihat dana desa dan bantuan lainnya, tentu butuh edukasi ke warga, sehingga ada kesiapan masyarakat untuk sewaktu-waktu atau aliran dana berkurang karena keterbatasan anggaran pemerintah. Optimalisasi program-program bantuan ke desa yang sedang berjalan (on going performance) semestinya tidak lantas semata-mata terpaku pada pengukuran-pengukuran konvensional yang memuja ukuran secara kuantitatif.
Misalnya, untuk program pasca pembangunan jalan lingkungan permukiman atau sarana prasarana air bersih yang seharusnya pemerintah tidak menganggarkan pada 1-2 tahun ke depan, tetapi sudah saatnya giliran masyarakat dan swasta, akan terasa sayang jika pengalaman beberapa termin tersebut satu masa berhenti begitu saja tanpa ada follow-up nya.
Jadi, yang terpikirkan adalah “beyond” di luar termin-termin tahun tersebut dan leadership desa mampu melampaui batas-batas alokasi anggaran untuk menggerakkan seluruh potensi lokal wilayah dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bagi kelompok masyarakat mundur dari PKH dan mereka yang mengembalikan BLT COVID-19, tentu akan sangat membantu melakukan transformasi pada penerima manfaat atau bantuan dana lain yang mengarus ke desa agar menjadi mandiri.
Darah Sisipus menjalar bersama yang bergiat tanpa menyerah dan itu bukan kesia-siaan. Rhenald Kasali dalam bukunya, “ChaNge” pernah menyerukan, Get started, get into the game, get into the playing field, Now. Just do it!
Pesan ini semakin menguatkan bahwa transformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekadar struktural apalagi hanya inkremental. Inilah transformasi sosial budaya sesungguhnya di level akar rumput.