Konten dari Pengguna

Jas Merah, Jas Hijau dan Sejarah Kita

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
5 Oktober 2020 16:03 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana penghapusan pelajaran sejarah adalah tidak benar, kata Nadiem Makarim, Mendikbud. Dia pun menjamin, tidak akan ada penyederhanaan kurikulum hingga tahun 2022. Kini, bukan saatnya kita meributkan soal mapel sejarah yang memberikan berkah bagi negeri ini mencapai kemerdekaan hingga sekarang. Pertanyaannya, bagaimana mengajak para siswa itu kemudian tertarik pada mapel sejarah.
ADVERTISEMENT
Ini sebetulnya yang mesti menjadi pemikiran bangsa ini. Sekurangnya para guru sejarah, dosen sejarah, sejarawan dan pihak-pihak yang care atas rumah besar yang bernama sejarah. Barangkali selama ini pelajaran atau program studi sejarah dipandang sebelah mata. Hal ini sesungguhnya bisa kita runut sejarah ke belakang. Bagaimana tidak, satuan pendidikan level SMA sendiri sudah sejak lama mengklasifikasi jurusan IPA dan IPS. Terbitnya 2 jurusan itu, secara implisit sudah berimpresi pada munculnya kelas sosial di bangku sekolah.
Anak-anak IPS diasumsikan subordinat ketimbang kawan-kawannya yang kebetulan bisa masuk di diding IPA. Kemudian beberapa lowongan kerja pun masih saja mensyaratkan pendidikan yang hanya terbatas bagi rakyat berlatarbelakang kelas IPA. Meski tak sedikit anak-anak IPS yang bisa melampaui kemampuan rekan-rekan IPA. Kondisi kecil ini barangkali turut menyokong mapel sejarah hanya menjadi nomor 2 (dua), bukan utama. Beberapa lembaga maupun perusahaan pun juga kerap memberikan standar gaji yang berbeda bagi lulusan IPA dan IPS. Hal ini pun juga mendorong penilaian atas “sejarah,” yang berlainan.
ADVERTISEMENT
Harus kita akui, kita mempelajari sejarah bangsa sejak bangku SD hingga SMA, itu bukan waktu yang pendek. Namun, sepanjang itu pula belum sepenuhnya anak-anak kita memahami dan memaknai sejarah secara baik apalagi merawat bahkan mengembangkannya
Diakui atau tidak diakui, sejarah adalah cara kita mencintai negeri, cara kita merasa memiliki republik ini, Dan, sejarah adalah bagian nasionalisme atau bela negara kita. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita tentu tidak ingin nasionalisme kita menjadi nasionalis-me burung". Kata Emha, “Nasionalisme bukanlah burung yang dibikinkan sangkar oleh tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang setiap pagi, lalu diturunkan dan dimasukkan ke kandang besar lagi pada sore harinya.” Maka kemudian, nasionalisme tidak boleh naik-turun alias moody based. Nasionalisme juga tidak boleh hadir hanya pada waktu-waktu tertentu. Nasionalisme harus senantiasa terjaga tinggi sepanjang usia bangsa.
ADVERTISEMENT
Titus Livius, seorang sejarawan termashur Romawi, mengatakan bahwa mempelajari sejarah merupakan penawar terbaik untuk penyakit pikiran. Ketika belajar melalui sejarah, manusia akan mendapatkan beragam catatan tak terhingga mengenai pengalaman manusia yang diperkenalkan secara tersusun untuk dipahami dan dimaknai. Di dalam catatan sejarah, manusia dapat melihat dirinya sendiri dan negerinya, baik sebagai cerita maupun sebagai suatu peringatan. Melalui sejarah, manusia dapat mencari sesuatu yang baik untuk dijadikan teladan dan mengambil nilai-nilai luhur untuk masa mendatang.
Tak sedikit influencer dunia yang membawa sejarah ke dalam orasi berkelasnya. Mulai dari sejarawan itu sendiri, filsuf, politikus, dan lain sebagainya. Di Indonesia, ada ungkapan “Jas Merah” yang merupakan julukan bagi judul pidato Soekarno pada peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang ke-21 di tahun 1966. Pidatonya berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah! Ketua PKB, Muhamimin Iskandar pernah berujar, Jas Hijau, jangan sekali-kali meninggalkan jas ulama.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kita menuju Sjahrir yang menuliskan sebuah renungan tentang pentingnya sejarah dalam keberhasilan misi diplomatiknya ke PBB pada Agustus 1947 itu: "Hanja orang jang telah sanggoep menindjaoe ke belakang dengan hitoengan abad, dengan lain kata, jang memang berpengertian tentang sedjarah dan masjarakat, akan dapat berhadapan dengan soeasana sedjarah jang beroepa revoloesi dengan pengertian serta kepastian tentang arah dan toedjoean sedjarah."
History Magistra Vitae Est
Dalam konteks sederhana sekarang, coba kita sorongkan kuesioner kepada siswa atau mahasiswa kita tentang simbol-simbol pola batik yaitu, nama, makna, waktu, peruntukan pengguna, saat yang tepat dalam pemakaian pola batik. Barangkali hasil atau pemahaman sejarahnya akan berbeda antara kaum muda dan generasi 40-50 tahun.
Kita kembali ke awal, bagaimana membalik metode penyampaian guru atau dosen sejarah bagi sebagaian kalangan masih dianggap monoton, satu arah, tidak kreatif, semakin memperkuat stigma. Maka manakala anak muda kita mengabaikan pelajaran sejarah, mengikuti dengan terpaksa, kecenderungan ke depan mungkin bakal muncul generasi yang lupa atau alpha atas sejarah bangsa sendiri. Maka jika kemudian barangkali mapel sejarah hanya menjadi pelajaran pilihan bukan wajib, bagaimana kita membangun pulau harapan itu. Karena pelajaran sejarah hanya sekadar pelengkap saja.
ADVERTISEMENT
Memahami sejarah merupakan pondasi dalam memahami perubahan budaya di masa mendatang. Pengajaran sejarah pada generasi muda, selayakan harus dilakukan sejumlah perbaikan. Mempelajari sejarah sebaiknya melibatkan seluruh peserta didik, dua arah, melakukan rekonstruksi, melakukan adegan-adegan sejarah yang melibatkan siswa (Jurnal Puitika, September, 2019).
Sejatinya, untuk mengetahui sejarah tidaklah harus selalu melalui buku-buku teks sejarah resmi yang tebal, dokumen-dokumen yang tercabik, atau naskah-naskah kuno atau purba. Kendala menemukan sumber primer, juga kerapkali penulisan (historiografi) sejarah itu sendiri. Sejarah juga dapat dibaca melalui sumber-sumber sekunder dan melalui kisah-kisah kecil yang pernah terjadi dimasa lalu di berbagai tempat. Menelusuri sejarah juga dapat melalui tutur sejarah (oral history).
History Magistra Vitae Est, sejarah adalah guru kehidupan. Sebagai guru kehidupan, budaya dan sejarah sarat dengan nilai-nilai. Peristiwa masa lampau, baik kejayaan ataupun kejatuhan, dapat memiliki makna. Peristiwa-peristiwa tersebut bukan tanpa nilai sama sekali. Hari ini di masa lalu ada cerita yang layak untuk dikenang. Ada kebajikan yang bisa dipetik. Ada sejarah apa (kita) hari ini?
ADVERTISEMENT