Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Kemana Bantuan Hukum ke Desa
23 April 2021 17:37 WIB
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desa yang adhem ayem dan nyaris tak ada gejolak, sebenarnya menyimpan duka yang membuat kita ngelus dada, seperti sengketa tanah atau lahan, intrusi pasar modern, KDRT, kasus kriminal ringan bahkan belakangan juga dihebohkan dengan banyaknya desa atau kepala desa (kades) yang terlibat kasus korupsi anggaran desa, tepatnya dana desa.
ADVERTISEMENT
Sekarang desa juga sambangi KPK, Saber Pungli, TP4D, juga tak hentinya pemeriksaan keuangan dari Inspektorat maupun kontrol bertubi-tubi dari badan permusyawaratan desa (BPD). Pengawasan organik dari ribuan pasang mata warga desa juga turut mengawal dana desa. Namu, lagi-lagi semua itu tidak cukup efektif memundurkan perangai dan perilaku korup para Kades atau perangkatnya.
Kasus-kasus Kades korupsi yang dipolisikan bahkan dimejahijaukan dibeberapa wilayah lantas kita mengibaratkan seperti bumi dan langit. Artinya apa. Jika kasus-kasus korupsi besar yang menimpa pejabat, elit, politisi atau pengusaha bahkan artis, tanpa dikomando bantuan hukum segera merapat mengalir bak air bah dari gunung,.
Lihat saja, kasus korupsi besar melibatkan public figur, berapa jumlah pembelanya. Hal yang bertolak belakang ketika warga miskin desa atau Kades yang tersangkut pencurian kecil maupun korupsi, boleh dibilang sepi. Mereka berjuang keras sendirian mempertahankan kebenaran dan keyakinannya tanpa hadirnya bantuan hukum.
ADVERTISEMENT
Padahal di negeri ini tak sedikit LSM, Pemda, Perguruan Tinggi, Asosiasi atau Lembaga profesi hukum yang mendeklairkan dan melabelkan dirinya untuk membantu mereka yang lemah. Namun apalah daya memunguti nasib Kades.
Pemandangan ini mengingatkan, salah mengelola dana desa bisa menjadi tersangka. Itulah kemudian pentingnya kita untuk tertib, transaparan dan akuntabel dalam menggunakan dana desa yang besarannya tidak main-main sehingga resikonya pun tidak kalah main-main.
Tak dipungkiri, alih-alih peningkatan kualitas pembangunan, sejumlah Kades justru berurusan dengan aparat penegak hukum. Mungkin, kue dana desa cukup empuk dan manis diperebutkan para penggelap desa.
Kurun enam tahun terakhir, memang desa sedang merenda kisah dengan dana desa yang tidak sedikit dengan harapan, mampu membalik kemiskinannya. Anggaran untuk desa atau dana desa (DD) baik dari pusat maupun daerah, setiap tahun besarannya selalu bervariasi. Itu baru dari satu pos pusat, belum ditambah dengan pos anggaran bantuan dari Pemda, Provinsi, CSR maupun PADesa sendiri. Cukup besar, bukan.
ADVERTISEMENT
Sebetulnya, desa itu kurang apa? Bantuan dana tak henti-hentinya mengucur, bantuan peralatan atau teknologi juga kerap mengalir, pendampingan usaha, jejaring pasar pun sudah dilakukan, tapi masih ada satu yang barangkali masih langka atau jarang, dinanti bahkan hampir tak pernah hadir yang namanya bantuan hukum bagi desa atau Kades yang sedang berperkara hukum.
Kalau dalam bahasa Kemendesa PDTT acap disebut bantuan paralegal. Paralegal itu bertugas untuk mendorong kesadaran hukum masyarakat serta mendorong demokrasi dalam hal ini masyarakat desa. Model bantuan ini pernah diinisiasi oleh Kemendesa dan kemenkumham melalui Dirjen PPMD dan Kepala badan pembinaan hukum nasional (BPHN).
Sungguh, kita merindu hadir dan datangnya bantuan hukum itu ke pelosok desa. Pertanyaannya kemudian, yakni siapa yang akan membiayai, apakah menginduk dana desa ataukah menjadi tanggungan pusat atau pemda. Atau bantuan hukum ini betul-betul gratis atau memang sukarela dari para lawyer. Harus dipahami, selama ini pemanfaataan dan desa selalu terbuka sesuai dengan kebutuhan maupun kearifan desa.
ADVERTISEMENT
Ambtenar
Untuk mengantisipasi uang negara yang hilang di desa, maka sosialisasi program bantuan paralegal ini perlu digencarkan ke seluruh wilayah pedesaan setidaknya para Kades sehingga bisa sejak dini dilakukan upaya pencegahan ketimbang penindakan. Di sinilah, peran-peran profetik dari tenaga expert bidang hukum selalu ditunggu, dengan atau tanpa MoU sekalipun, untuk memberikan pencerahan hukum kepada desa, perangkat desa juga Kades sehingga bantuan yang mengalir ke desa tidak menguap.
Hal ini cukup strategis mengingat beberapa hal, seperti belum semua warga maupun Kades melek hukum, meskipun tak sedikit Kades yang bergelar hukum, perangkat desa pura-pura tak mengerti hukum, atau sengaja melanggar hukum, bahkan ada juga yang sedang belajar mencari celah hukum dan siapa tahu lolos dari jerat hukum.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian, perlu perhatian lebih terhadap kerentanan masyarakat desa terkait permasalahan hukum. Akses bantuan hukum kepada masyarakat desa melalui pembentukan dan pembinaan kelompok masyarakat desa yang sadar hukum, rasanya sekarang ini diperlukan sebagai langkah penguatan masyarakat agar tidak terkontaminasi atau terlibat dalam urusan hukum karena korupsi dana desa, misalnya.
Hasil temuan LSM Jaringan Paralegal Indonesia (JPI), sebagian kasus korupsi di tingkat desa bukan karena niat kejahatan Kades, melainkan karena ketidakpahaman para mereka soal hukum. Pak Kaplori, Tito dan Pak Menteri, Eko Sanjoyo saat itu bicara serupa. Itu semua berujung pada pentingnya penyederhanaan tata pelaporan sistem pelaporan.
Pada domain ini, aplikasi sistem informasi desa (SID) maupun SPM desa, pasokan pengetahuan ketrampilan dan sikap dapat dioptimalkan secara serius. Kepala desa hebat itu, sosok yang cakap mengurus desa bukan menguras desa. Maka kemudian barangkali perlu redefinisi Kades : Ambtenar, Pamong atau Aparatur.
ADVERTISEMENT