Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ora Memper...!
17 Juni 2020 15:12 WIB
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ora memper (tidak pantas/tidak layak). Begitulah kalimat yang paling pantas disematkan pada orang-orang kaya yang berebut bantuan langsung tunai (BLT) covid-19 bagi orang miskin. Praktik kelam itu hanya akan memperpanjang deretan kemiskinan di negeri ini. Dalih bagi rata pun tak pernah terampuni pada situasi pandemi sekarang ini. Ia sudah merendahkan mutu sekujur dirinya serendah-rendahnya, karena sampai hati memakan sesuatu yang bukan haknya. Ia bahkan tega mendaulat dirinya sebagai si kurus jiwa.
ADVERTISEMENT
Ora memper, lagi-lagi sangat tidak layak disebut-sebut sebagai orang mampu yang sama sekali tak mau peduli dengan warga lain yang sedang berkesusahan di saat pandemi. Ia lebih menggenggam hartanya yang kelewatan tinggi hanya untuk tujuan menjaga kekayaannya. Jika ia berpaku pada prinsip hemat, sederhana, bukanlah pose yang tepat, karena pada titik-titik kritis sekarang ini malah jauh lebih tepat atas perilakunya tersebut dilabeli pelit. Barangkali masih saja ada orang-orang yang hanya berdiam dan masa bodoh dalam kemuraman terdampak covid-19. Sungguh ia menempatkan dirinya sebagai sosok yang bebal hatinya.
Ora memper, jika saja ada orang yang bersedia merogoh kantongnya memberi bantuan pada kawan-kawan yang terbelit covid-19, hanya untuk satu harapan, namanya masyur di desa atau dielu-elukan pada sudut-sudut kampung atau di setiap tikungan jalan desa maupun saat pergelaran seremonial desa. Maka, sejatinya ia hanya lips service belaka. Orang seperti ini tak pernah mendapatkan apapun, kecuali kebahagiaan, kebanggaan dan kehormatan sesat (semu dan instan).
ADVERTISEMENT
Sewaktu anggota keluarga ada yang sakit dan ditengarai ODP, keluarga dengan seenaknya membentak-bentak, menyangkal bahkan menampar petugas medis yang menangani keluarga yang baru terbaring tersebut.
Kala warga ada yang sedang sakit, apalagi harus rawat inap di rumah sakit, dengan mudahnya ia hembuskan berita bahwa tetangganya itu tertimpa covid-19, memprovokasi warga untuk mengucilkan dari aktivitas sosialnya. Menjelek-jelekkan, menghina, mengolok-olok. Pelabelan negatif secara cepat tanpa rekam medik merupakan aksi sepihak yang manusia tanpa perikemanusiaan.
Ora memper, akibat covid nyaris semua orang menjaga kesehatan diri dan keluarga maupun warga secara ekstra, jangan sampai terjadi hal terburuk dari pandemic covid-19. Namun, ketika ada pasien positif covid-19 yang meninggal dengan ada saja mereka yang semau sendiri menolak pemakaman jenazah covid-19. Nalar kemanusiaannya terbujur kaku dan menjadi si pandir. Mereka ini barusan manusia tanpa perikemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Saat pandemi seperti ini sebagian orang kerjanya hanya mengerjai orang lain. Seperti orang, keluarga, lokasi/desa tertentu disiarkan sebagai sentrum covid-19 atau dengan merasa tak berdosa berkisah-kisah kabar burung dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Tak ada sadar-sadarnya untuk tobat.
Ora memper, agresi covid-19 ini tak sedikit melahirkan orang-orang yang jagonya menyalahkan pemerintah, dan orang lain. Sosok demikian ini merasa paling baik, benar, berjasa, berguna, superior, dll, sementara orang lain selalu divonis pada posisi yang salah dan lemah. Arogansi ini harus ditiarapkan dan sebaliknya perlu membumikan jiwa caring dan atau sense of crisis.
Di saat orang-orang berjibaku menegakkan dispilin protokol kesehatan, malah ada orang maupun kelompok yang ngeyel tak bermasker, tak mau menjaga jarak, tak mencuci tangan, dll. Mereka ini merasa soal mati hanya di tangan Tuhan. Mereka tak takut mati, tapi jangan selekas ini (mungkin).
ADVERTISEMENT
Pandemi kok malah membutakan mata hati, dengan menimbun dan menjual masker, handsanitizer, desinfektan atau APD dengan harga tak wajar. Mengambil marjin keuntungan yang terlampau berat bagi masyarakat. Apakah mereka ini tega larane ya tega patine.
Pager Mangkok
Jika saat pandemi, ada orang-orang yang mengancam, meneror tenaga medis karena keluarganya dianggap covid-19, maka seluruh masyarakat menjauhinya. Ini perilaku yang bisa membawanya berperkara hukum.
Ora memper babar blas. Semua paham, pandemi acap membawa kita pada seluruh doa dan upaya kita lakukan untuk melawan covid-19, tapi semua mesti dilakukan dengan cermat, tenang, waspada dan hati-hati. Bukan grusa-grusu bahkan memaksakan kehendak dengan kekerasan atau aksi bar-bar mengambil paksa pasien maupun jenazah covid-19 dari rumah sakit. Tak pernah mereka sadari aksi tak popular ini tak menakan angka penyebaran covid-19 tapi justru sebaliknya mempercepat, dan kita tahu risiko terburuk dan efek dominonya.
ADVERTISEMENT
Hari-hari kemarin mereka sudah berebut dengan warna-warni yang membuat kelamnya langit negeri ini dalam menangani covid-19, dan semoga berhenti di sini saja, tak menjulur ke mana-mana.
Memper banget. Maka, hari ini dan selajutnya kita menyiapkan diri menjemput new normal dengan cara beradaptasi dengan tata kehidupan maupun budaya baru yang tetap merawat protokol kesehatan.
Dengan keriangan baru menjulurkan rasa kemanusiaan kita, merangkul, merawat, dan membebaskan warga dan tetangga dari amukan corona. Kita dorong dan gelorakan gerakan pager mangkok, untuk saling berbagi dan membantu warga yang terdampak covid-19. Pager mangkok jauh lebih kokoh ketimbang pager tembok
Memper sememper-mempere, kita memberi bantuan kebutuhan pokok atau makan minum kepada warga yang terdampak corona atau yang sedang dikarantina menjadi lebih bernyawa dalam situasi yang serba sulit ini. Inilah intimitas pager mangkok di level akar rumput.
ADVERTISEMENT