Konten dari Pengguna

Perempuan Fatamorgana

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
8 April 2021 15:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan di museum. Foto: Unsplash @gilberfranco
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan di museum. Foto: Unsplash @gilberfranco
ADVERTISEMENT
Ayahmu, terlebih ibumu, barangkali tak pernah sekalipun bercita-cita anak-anaknya menjadi sosok yang sempit otaknya, apalagi hanya cakap membanggakan kebenaran dari mimbar dalam lingkarannya. Bendera jihad selalu kau bawa ke mana-mana, tak pernah ada damai di dadamu. Kenapa engkau terus menyalakan api kebencian. Bukankah republik kita lahir dari keragaman.
ADVERTISEMENT
Rupanya, engkau perempuan yang belum cakap mengikat hidupmu dengan ilmu, hingga sampailah kau terhempas ke titik DO dan lebih memilih menyelami keliaran gairah yang menjadi sempalan baru bersama angin surga.
Kamu melewati jalan yang sunyi, dilarang orang melewatinya, karena jalur itu terlampau terjal, berisiko dan ratusan juta pasang mata mengawasimu. Mengapa kau gadaikan cita-citamu hanya lebih pada mulut manis yang berbusa selaksa fatamorgana di siang terik.
Penghujung Maret 2021 rupanya menjadi ujung atas usiamu. Engkau relakan hidupmu terbenam di ujung senapan. Entahlah yang terbersit dari pikiran dan nurani perempuan sepertimu.
Jika engkau berdiri pada framing femisnis sekalipun, tak pernah ada yang mengamini langkahmu, kau pun terlampau kurus menopang sekujurmu, terlalu kusut dengan matematika kehidupanmu. Dan, kamu menjadi martir yang selalu ditolak, dilawan, dan dikutuk segala orang.
ADVERTISEMENT
Melihat dan membaca rekamanmu, menyaksikan riwayatmu, kau memang sangat kering atas pasokan nilai sosial kemanusiaan yang digelar universal. Lagi-lagi, kau hanya mengikuti jejak di luar nalar publik.
Lalu, di mana kesalehah-anmu yang engkau agungkan, di mana lagi hati perempuan yang menjadi raja tega, melepas pelatuk senjata. Tak ada agama apa pun yang sepakat dengan aksimu.
Kepada siapa kau berguru, ke mana kau menimba ilmu yang keliru? Apa yang telah kau sumbangkan pada bumi pertiwi? Mengapa juga engkau cuma bisa mengolok-olok, menghina dan mencari kambing hitam.
Maka kemudian, membunuh dan menjadi teroris adalah profesi keputusasaanmu, itu keliru. Sangat keliru. Kalau pun engkau mau meralat, nasi sudah menjadi bubur, kau telah terbujur beku dalam kepingan nyinyir. Dan kau tak pernah membuat harum bau tanah pertiwi kala tubuh rapuhmu tak mampu merasakan kelu (lagi).
ADVERTISEMENT
Dunia tahu, perempuan itu calon ibu dan ibu itu perempuan. Surga di telapak kaki ibu, tapi teladan apa lagi yang ingin kau sampaikan kepada para perempuan negeri ini. Keberanian tanpa aturan? Terlampau eman, seluruh waktumu hanya kau habiskan dengan menjadikan dirimu sosok halu. Halu atas surga dengan caramu? Kartini, Rohana Kudus, Tjut Nya’ Dien atau Dewi Sartika menangis dan menyesalkan atas lakumu jika masih hidup. Bahkan Mbah Minto ngelus dada mendengar kisah keruhmu.
Lawan!
Kepergianmu tak pernah dirindukan oleh sesama kaummu apalagi para di luar kaummu. Apa yang hendak kau bisikkan pada adik-adik perempuan yang di majelis pengajian? Surat wasiat saja tak cukup membalikkan namamu pada halaman kelam. Kau menyisakan abu susah bagi seisi rumah besar yang bernama Indonesia. Dan, tentu saja engkau menggemukkan catatan gusar dalam lingkaran massa.
ADVERTISEMENT
Kau mengeklaim memerangi ketidakadilan, kesalahan dan penyimpangan, namun apa yang engkau lakukan hanya menujukkan kelemahanmu, bahwa kau sungguh-sungguh tak bisa berpikir jenih, tak mampu memilah mana kebajikan dan mudarat, tak cakap menerjemahkan atas ajaran, didikan, spirit dan nilai agama. Kau memberi tafsir lain atas keberagamaan dan keragaman. Jalan pikiranmu benar-benar sudah dilabeli, dibasahi dan dicuci.
Kami tak habis pikir, zaman gini masih saja ada orang yang gampang terpedaya dengan adu rayu dalam kemenangan, pada kenangan dan dijanjikan janah dalam bungkus kepalsuan. Otak sehatmu nampaknya sudah dipelintir kuat hingga engkau mau saja dijadikan manusia robot, atau seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Itukah mimpimu?
Mengapa kau menuntut kebaikan, sedangkan engkau sendiri tak pernah memberi jejak kebaikan sesungguhnya. Gedang woh pakel dan jarkoni, kata Mbak Yem saat membalas tweet dari seorang kawannya di Kampung seberang sungai yang berkisah insiden perempuan muda teroris mati di atas senja Jakarta.
ADVERTISEMENT
Makassar dan Mabes Polri juga Ibu Pertiwi bersaksi, cukuplah senjakala perempuan muda Indonesia. Autokritik menjadi penting. Siapa kau, perempuan: aktor, korban atau tumbal? Terhadap terorisme hanya ada satu frasa: Lawan!